Dilarang Membunuh
Aljas Sahni H
Kendati kau sahabatku, tak sepantasnya kau menyuruhku berhenti membunuh. Kau terlalu rewel, seperti polisi yang yang kubunuh. Kau menghujaniku pertanyaan-pertanyaan menjebak, sehingga aku terpojok, seperti anak-anak yang selalu menurut kepada ibu dan bapak. Bah, kau telah menyudutkanku, lama-lama kau seperti bos, istri, dan anak-anakku yang telah kubunuh.
Kau tahu membunuh adalah hobiku, jadi kumohon jangan melarangku. Hobi adalah kesenangan, dan dengan membunuhlah aku mendapat kesenangan. Semua orang berlomba-lomba mendapat kesenangan, tak terkecuali aku. Kesenangan akan kuraih, setelah aku berhasil membunuh. Kalau tidak, kembalilah aku pada jurang kesedihan yang curam dan gelap gulita.
Dari dulu aku tak punya hobi—aku manusia penurut—seperti mesin aku ada untuk bekerja, kerja, dan kerja lagi. Kalau tak bekerja aku makan apa? istriku mau masak apa? dan dengan apa kubayar uang sekolahan anakku? Ah, tuntutan-tuntutan semacam itulah yang membuatku menemukan jati diri sebagai pembunuh.
Hobi membunuh pun muncul, setelah aku berhasil membunuh satu ayam betina. Kau tahu, ayam itu sungguh mengganggu, apalagi mengganggunya sungguh tidak tepat. Ayam itu menggangguku, kala aku pusing memikirkan pekerjaan. Ketahuilah, pekerjaan memang kerap membuatku pusing.
Kepalaku pening sungguh pening, mendengarkan kotek ayam yang tanpa izin memasuki rumah. Ayam itu terus berkotek, tak mengindahkan aku yang sudah pusing tujuh keliling. Tak ada yang mau mengusir ayam itu, semua sibuk pada pekerjaan masing-masing. Lagi-lagi karena pekerjaan.
Kalau begitu, pikirku kala itu, biarkan aku yang mengusir ayam itu dari muka bumi ini. Ayam itu sungguh membuatku kesal, apalagi ketika ia mengeluarkan kotoran sembarangan dan tanpa izin. Aku menangkap ayam itu, memotong lehernya tanpa ampun, mencabik-cabik bulu dan dagingnya, kugoreng, dan kuhidangkan pada keluargaku di malam hari.
“Makanlah,” ucapku pada mereka. “Makanlah hasil pembunuhanku ini.”
Mereka serempak memandangku, perihal itu membuatku sedikit malu. Mereka lantas terkekeh-kekeh, seperti mengejek hasil pembunuhan yang susah payah aku lakukan. Dan salah satu anakku pun berkata dengan tawa tak kunjung berkesudahan, “Kalau tak dibunuh, bagaimana cara kita menikmati?”
Cerdik! Aku beruntung memiliki anak seperti dia. Anakku itu telah menyadarkanku dengan kata-katanya. Kata-katanya selalu kuingat, kata-katanya kerap bergentayangan dalam tempurung kepalaku. Kalau tak membunuh, bagaimana cara kita menikmati? ya, aku harus membunuh untuk menikmati hidup ini.
Semenjak itu, aku dahaga akan membunuh. Kalau tak membunuh, rasanya ada yang lain, dan itu sungguh menyiksaku. Bila aku bersedih, aku akan membunuh, dan aku pun merasa senang dengan sendirinya, namanya juga hobi.
Bos telah membuatku sedih, tiap hari ia kerap memarahiku. Matanya melotot, mulutnya mulai menilai hasil pekerjaanku. Puncaknya ia memecatku, katanya aku kerja tidak becus, masalah ini saja tidak bisa.
Wahai bosku, masalah itu memang tak bisa kukerjakan sebab itu bukan hobiku. Hobiku adalah membunuh. Kata anakku, bunuhlah lalu nikmati. Lah, untuk merasa nikmat terpaksa aku harus membunuh bosku.
Bosku sungguh baik hati, ia memecatku ketika kantor lagi sepi, sehingga leluasa untukku membunuhnya. “Sebelum aku pergi dari kantor ini, izinkan saya melakukan pengabdian terakhir,” mohonku. Ia pun dengan senang hati mempersilahkan.
Aku juga mohon untuk pergi ke belakang punggungnya, dan dengan senang hati pula ia mempersilahkan. Aku memijiti kepala botaknya, persis seperti yang kulakukan sebelum-sebelumnya. Kepala botak dan bulat seperti bola basket, karena itu pula aku mendorong kepala itu layaknya bola basket hingga menghantam komputer di hadapannya.
Bos merintih kesakitan, kepala botaknya berdarah. Aku ingin membantunya, sungguh, dengan senang hati akan kuredakan sakit itu. Aku mencekik lehernya hingga tewas, dengan begitu ia tak perlu lagi bersusah-susah merintih kesakitan. Ya, ini adalah hobi yang sungguh terpuji.
Oh iya, kau tahu yang aku temui, bosku mati dengan mata melotot persis seperti ketika ia memarahiku. Cih, aku benci mata itu, maka kucongkel mata itu.
Di rumah, aku bilang pada istriku bahwa aku telah dipecat. Kupikir ia akan senang, sebab dengan begitu aku lebih banyak waktu bersamanya, dan bersama anak-anak kita. Atau dengan berakhirnya pekerjaanku, aku dan istriku bisa membuat anak lagi. Dengan begitu anak kita bisa menjadi tiga, bukankah angka ganjil angka yang bagus.
Ya, ya, itu hanya harapanku semata. Istriku malah ikut-ikutan seperti bosku, ia memarahiku. Apa jangan-jangan aku hidup memang untuk dimarahi? Bajingan sungguh bajingan.
Aku diam saat istriku memarahiku. Aku juga diam-diam mengambil pisau di dapur. Ketika kutikam ia dengan pisau itu, giliran istriku yang diam, sedikit pekik, sih.
Kau tahu, aku suka dengan angka ganjil, karena itulah aku membunuh istriku. Dengan matinya istriku, aku bisa hidup bertiga dengan anak-anakku, angka yang ganjil, bukan? Tapi sialnya, anak perempuanku malah melihat semua kejadian itu. Adegan di mana aku menikam istriku, istriku memekik, hingga istriku mati, ia melihat semua.
“Ayah jahat!” serunya. Hujan jatuh dari matanya begitu deras. Aku tahu, ia bersedih.
Oh, anak perempuanku yang jelita, Ayah tak mau melihatmu bersedih. Tak ada orang tua yang mau anaknya menangis. Hati orang tua akan teriris melihat anaknya menangis, begitu pun denganku. Tenang saja anakku, aku akan menghentikan kesedihanmu.
Dengan tangan masih berlumur darah aku menghampiri anak perempuanku, ia menggigil ketakutan, matanya terlalu jujur menganggapku sebagai pencabut nyawa. “Ke sini anakku, aku bukan malaikat, apalagi malaikat maut. Aku manusia, aku ayahmu, akan aku lenyapkan kesedihanmu. Takkan sakit, kok,” bujukku dan terus melangkah ke arahnya.
Ia malah semakin menangis menjadi-jadi, menggeleng-gelengkan kepala, dan mundur menghindariku. Ia takut padaku, ayahnya sendiri. Sebagai seorang ayah, aku tak tega melihat itu semua. Aku mempercepat langkahku, agar semakin cepat pula ia menyusul ibunya ke surga.
“Salam ke ibumu, Ayah akan selalu rindu,” bisikku pada anak perempuanku yang jantungnya tak lagi berdegup.
Aku sudah membahagiakan istri dan anak perempuanku, barangkali mereka sedang cekikikan di surga sana. Aku juga mendengar suara istriku yang tiga puluh menit lalu baru mati, bahwa di sana jauh lebih indah daripada di bumi dengan derita tiada habis.
Akan tak adil, bila aku tak mengirim anak bungsuku pula. Kalau ia bangun, pasti ia akan merengek minta ikut ke surga. Ia lelap sekali dengan mimpi-mimpinya, sehingga tak mendengar pekikan ibunya dan kakaknya. Tapi tenang, Nak, akan kubuat kau tak bangun dari mimpi-mimpimu.
Namun, sungguh berat aku melakukan ini, sebab kau yang memotivasiku dengan kata-katamu. Bunuhlah lalu nikmati, begitu kan maksudmu. Tapi aku hanya tahu kenikmatan ketika membunuh, aku tak tahu dibunuh nikmat pula atau tidak. Ah, sudahlah, nanti kau bilang saja pada ayahmu ini, dibunuh itu nikmat atau tidak?
Bermodal bantal yang kutekan pada wajah anak bungsuku, ia segampang itu merenggang nyawa. Anehnya ia tak pernah bilang, bahwa dibunuh itu nikmat atau tidak? Ia malah membisu tak berkata-kata apa pun.
Perihal ini yang membuatku panik, semua sudah mati dan aku seorang diri. Aku sungguh panik, sehingga aku menelepon polisi.
Tak butuh waktu lama, polisi itu pun datang. Polisi itu menghujaniku pertanyaan-pertanyaan, seperti kotek ayam yang telah kubunuh. Polisi itu juga melihatku dengan saksama, matanya melotot seperti mata bosku yang juga kubunuh. Karena tak menjawab, ia memarahiku seperti marah istriku yang telah kubunuh. Karena ia telah mengingatkan aku pada beberapa orang yang telah kubunuh, kubunuh pula ia sebagai pelengkap koleksi pembunuhanku.
Kau tahu, sebelum aku menghampirimu, aku dengan lihai mengambil pistol polisi itu. Jari telunjukku sangat cakap menekan pelatuk, lantas peluru pun menembus dahi polisi itu. Amazing
***
“Cukup kegilaan ini! Kau tak boleh membunuh lagi,” kilahmu. Kau memang sahabatku, namun kau tak pantas melarangku membunuh. Membunuh adalah hobiku, caraku mencari kesenangan, dan seperti kata mendiang anakku, agar kudapatkan sebuah kenikmatan.
Dalihmu telah membuatku geram, barangkali aku juga akan membunuhmu. Kau sahabat baikku, dan sahabat baik akan memasukkan sahabatnya ke surga. Namun, baru kusantap kau dengan mataku, kau sudah gemetaran. Sudahlah, aku hanya butuh beberapa menit, dan ini takkan sakit, kok.
“Cukup!” kau menghentikan langkahku untuk sejenak. “Kau mau membunuhku?! Aku sahabat baikmu.”
“Sahabat baik akan membuat sahabatnya bahagia.”
“Lantas, dengan membunuhku, aku dapat bahagia?”
“Tentu, sebab aku akan mengirimmu ke surga.”
“Sinting!” bentakmu. “Sepertinya ada iblis di dalam tubuhmu.”
Iblis? Aku baru kepikiran makhluk itu. Jangan-jangan semua ini memang karena iblis. Iblis telah merasuki tubuh ayam hingga berkotek tiada henti dan membuang kotoran tanpa izin. Iblis telah merasuki tubuh bosku sehingga ia memarahiku tiap waktu. Sialan! Iblis juga telah merasuki tubuh istriku dan anak-anakku dan polisi.
Kalau begitu, berarti aku tak membunuh ayam, bosku, istriku, anak-anakku, bahkan polisi. Aku telah membunuh iblis. Ya, aku telah membunuh iblis yang ada di dalam tubuh mereka.
Aljas Sahni H, lahir di Sumenep, Madura. Kini bergiat di Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta. Anggota literasi IYAKA serta salah satu pendiri Sanggar Becak.