Ludruk – Seni Pentas Tradisi Jawa Timur

Jula-juli bintang tujuh, arek-arek suroboyo
Wong tuwane gak setuju, banjur anake digowo lungo

Jika masyarakat Jawa Tengah punya Ketoprak sebagai  tontonan hiburan, dan Betawi punya Lenong, masyarakat Jawa Timur juga punya seni teater tradisional yang namanya Ludruk.

Ludruk adalah kesenian drama tradisional asli Jawa Timur yang konon katanya  berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran yang unik. Dalam perkembangannya,  Ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti  Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat.

Dalam pementasannya, Ludruk menggunakan perangkat alat musik yang terdiri dari: kendang, cimplung, jidor, dan gambang.  Selain itu sering juga ditambah alat musik lainnyayang tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Lagu (gending) yang menjadi ciri khas Ludruk adalah Jula Juli yang  biasanya selalu dinyanyikan oleh penari Ngremo pada saat pembukaan pertunjukan Ludruk.

[iklan]

Seluruh pemain Ludruk adalah lelaki.  Bila dalam cerita yang dimainkan ada peran wanita maka yang memainkannya adalah lelaki. Hal ini merupakan ciri khas dari Ludruk, karena pada masa kemunculannya dulu, wanita tidak diperbolehkan tampil di depan umum.

Sebagai seni tradisional yang asli Jawa Timur, Ludruk wajib menggunakan Bahasa Jawa logat atau dialek Surabaya atau Malang yang lugas unik. Karena itulah maka pertunjukan ludruk mudah diserap oleh semua kalangan. Cerita yang disajikan dalam pertunjukan Ludruk umumnya tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, atau cerita-cerita lainnya, yang hampir di setiap adegan selalu disisipi dengan lawakan dan ditambah dengan iringan musik (gending) dan lagu (tembang). Sungguh sangat menghibur.

Walau fungsinya sama-sama menghibur, tapi ada perbedaan mencolok antara ludruk dengan ketoprak dari Jawa Tengah . Salah satu perbedaan tersebut adalah dalam penyajian cerita. Dalam setiap pertunjukannya,

Ludruk mengangkat cerita kehidupan sehari-hari, cerita perjuangan, dan  sebagainya. Latar waktu cerita yang dibawakan adalah keadaan saat ini. Sementara, Ketoprak membawakan kisah yang terjadi di masa lalu (berdasarkan sejarah atau dongeng).

Karena cerita yang dibawakan merupakan cerita sehari-hari, yang dekat dengan kehidupan masyarakat, Ludruk pun digemari oleh semua kalangan masyarakat. Selain itu, walau menggunakan bahasa Jawa Timur, guyonan yang dilontarkan para pemain Ludruk pun dapat dimengerti oleh orang dari luar Jawa Timur. Ini dikarenakan para pemain tidak hanya mengandalkan guyonan dalam bentuk perbincangan, tapi juga dalam gerak.

Tidak ada pakem yang pasti dalam pertunjukan ludruk, baik mengenai jumlah pemain, jumlah babak, dan sebagainya. Begitu pula dengan cerita yang dibawakan. Biasanya, dalam pertunjukan ludruk, sangat dipentingkan kemampuan para pemain untuk dapat berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat.

Pemain Ludruk harus pintar berimprovisasi karena setiap pementasan tidak menggunakan naskah. Penampilan mereka biasanya diiringi musik gamelan dan tembang khas jula-juli. Kostum yang dipakai pun menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari.

Pementasan Ludurk biasanya dibagi menjadi beberapa babak, dan setiap babak juga dibagi lagi menjadi beberapa adegan. Di sela-sela bagian ini biasanya diisi selingan yang berupa tampilan seorang penampil  dengan menyajikan satu tembang jula-juli.

Asal Usul Istilah Ludruk
Mengenai istilah atau nama Ludruk ada beberapa pendapat.  Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya mengatakan bahwa istilah Ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk (Lo Drug). Gela gelo artinya geleng-geleng, gedrag-gedrug artinya menghentak lantai. Kedua gerakan ini (geleng-geleng dan gedrak–gedruk) adalah gerakan yang menjadi ciri khas penari ngremo dan juga para pemain ludruk lainnya ketika masuk ke pentas pertunjukan. Menurut Dukut Imam Widodo dalam bukunya, Soerabaia Tempo Doeloe, istilah Ludruk berasal dari bahasa Belanda. Leuk en druk,” yang artinya : yang penting enjoy, happy. Kata-kata tersebut diucapkan oleh anak-anak muda Belanda yang suka bersenang-senang nonton kesenian Ludruk pada masa itu. Sedangkan menurut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan, istilah ludruk itu berasal dari kata molo-molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang pemain ludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak lantai gedrak – gedruk. Dan masih banyak lagi versi lain mengenai asal-usul mengenai istilah Ludruk.

Sejarah Kesenian Ludruk
Sejarah seni tradisional Ludruk ini cukup panjang. Sejak awal kelahirannya di sekitar tahun 1900an sampai jaman Orde Baru, Ludruk tetap eksis dan telah mengalami banyak perubahan dalam penyajiannya. Berikut ini adalah periode perkembangan kesenian Ludruk dari awal kelahiran hingga masa Orde Baru

Periode Lerok
Lerok adalah cikal bakal kesenian Ludruk yang hidup pada tahun 1907 – 1915 di Jombang, Jawa Timur. Pelopornya adalah Pak Santik dari desa Ceweng, kecamatan Goda, kabupaten Jombang dan temannya, Pak Amir dari desa Lendi.

Istilah Lerok berasal dari kata lorek yang artinya penuh coretan. Wajah pemain lerok penuh dengan coretan. Lerok disebut juga Kledek Lanang , yaitu seni pertunjukan yang mengutamakan nyanyi-nyanyian dalam bentuk kidung dan pantun (parikan) yang mempunyai tema sindiran.

Lerok yang dipelopori oleh Pak Santik dan Pak Amir memulai karirnya dengan ngamen menggunakan peralatan kendang, berkeliling dari desa ke desa. Kemudian, agar pertunjukannya menarik dan lucu,  Pak Santik mengajak Pak Pono untuk mengenakan busana wanita yang disebut wedokan, Jumlah pemain lerok yang tadinya dua kini menjadi tiga orang.

Periode Besut
Kesenian Ludruk Besut berkembang pada tahun 1915 – 1920-an dengan jumlah pemain yang telah menjadi empat, yaitu Pak Santik, Pak Amir, Pak Pono dan Marpuah. Pelaku utama selalu mengenakan kain panjang (bebed putih) yang menjadi lambang kesucian dan bertugas menyampaikan maksud. Pelaku utamanya disebut Besut. Inilah yang merubah sebutan Lerok menjadi Besut.

Pementasan ludruk besutan diawali dengan upacara pembukan berupa saji-sajian atau persembahan atau penghormatan kepada empat penjuru mata angin. Setelah itu pertunjukan dimulai dengan menampilkan sebuah cerita yang dirangkai dalam bentuk sindiran, lawakan, kidungan dan pantun-pantun yang disusun dalam suatu kerangka cerita yang telah ditentukan dan tetap.

Periode Lerok Besut
Periode ini berlangsung tahun 1920–1930 dengan masih mempertahankan model besut. Setelah upacara persembahan, dilanjutkan dengan tarian yang bertujuan menghaturkan perasaan kepada Tuhan. Penarinya digambarkan sebagai seorang satria dengan gerakan yang bermacam macam sehingga disebut tari reno-reno. Penarinya menggunakan sampur dipundaknya, maka disebutlah penari ngremo .

Seiring dengan perkembangan kesenian lerok di berbagai daerah, maka munculah versi tari remo Jombangan (gaya Jombang) dan tari remo Suroboyoan (gaya Surabaya). Pada masa itu penari remo telah memiliki ciri khas tersendiri pada tata busananya. Biasanya mereka tampil menari dengan baju putih memakai topi hitam dan kadang-kadang memakai dasi hitam. Ciri lainnya adalah kaki kanan penari mengenakan Gongseng, gelang kaki yang mengeluarkan suara kencrang kencring sebagai pengatur irama gending, dan pada telinga kirinya dipasang anting-anting. Gerakan tariannya cukup menggerakan kepala (bahasa Jawanya gela gelo) dan gerakan kaki yang dinamis dihentak-hentakkan (bahasa Jawanya gedrak-gedruk).

Jadi, inti dari tarian remo (ngremo) adalah sirah gela gelo, sikil gedrak gedruk . Kepala geleng-geleng, kaki dihentakkan. Maka lahirlah lahirlah istilah Ludruk. Gela-gelo dan gedrak-gedruk

Pementasan Ludruk Besutan terdiri dari tandhakan (tarian), dagelan (lawakan) dan besutan. Dalam pementasannya belum menampilkan cerita secara utuh, melainkan dialog yang dikembangkan secara spontan. Sekitar tahun 1922-1930 dalam pementasan ludruk mulai dimasukkan cerita didalamnya. Ludruk yang memasukkan unsur cerita didalamnya disebut Ludruk Sandiwara

Periode Lerok & Ludruk
Periode ini berlangsung tahun 1930 – 1945 dengan bermunculannya kesenian ludruk diberbagai daerah di Jawa Timur. Nama lerok dan ludruk tetap berdampingan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat menggunakan nama ludruk.

Sekitar tahun 1933 Cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk ini terkenal dengan tembang Jula Juli-nya yang menentang pemerintahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, ludruk berfungsi sebagai sarana perjuangan. Salah satu syair Jula-Julinya adalah seperti berikut:

Bekupon omahe doro, melok Nippon soyo soro
(Bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara)

Gara-gara syair tersebut, Cak Durasim ditangkap oleh pemerintah Jepang, dimasukkan penjara hingga meninggal dunia.

Periode setelah Proklamasi
Periode ini berlangsung tahun 1945- 1965 dimana mulai muncul seniman urban (dari desa pindah ke kota). Pelawak Astari Wibowo dan Samjudin mendirikan Ludruk Marhaen pada tanggal bulan Juni 1949. Setelah berdirinya Ludruk Marhaen di Surabaya, muncul perkumpulan ludruk lain, seperti ludruk Tresna Tunggal, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk Marikaton, dll. Sekitar tahun 1960an ada beberapa kelompok Ludruk yang dijadikan alat oleh PKI untuk menggalang massa. PKI memanfaatkan ludruk untuk menanamkan pengaruhnya di masyarakat.

Periode Orde Baru
Antara tahun 1965-1968 terjadi masa vakum bagi kesenian Ludruk karena ada beberapa grup Ludruk yang menjadi organisasi terlarang binaan PKI, yaitu Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), membubarkan diri, sedangkan perkumpulan Ludruk yang tidak terlibat PKI tidak berani melakukan pementasan.

Pada tahun 1967 Pemerintah Orde Baru berusaha membangkitkan kembali kesenian Ludruk. Perkumpulan ludruk yang telah diseleksi dari pengaruh Lekra dibina oleh KODAM Brawijaya Tahun 1968-1970 terjadi peleburan Ludruk yang dikoordinasi oleh KODAM Brawijaya. Perkumpulan Ludruk di berbagai daerah dibina oleh ABRI hingga tahun 1975. Pembinaan tersebut mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia bahwa ludruk adalah teater tradisional khas Jawa Timur yang harus dilestarikan kehadirannya.

Ludruk, seni tradisi asli Jawa Timur, lepas segala kelebihan dan kekurangannya, mampu bertahan selama lebih dari 100 tahun sebagai ikon budaya bangsa, adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Salut. Dua jempol buat ludruk. (AY)

Referensi:
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/ludruk
https://id.wikipedia.org/wiki/Ludruk. https://www.kompasiana.com/
https://blogkulo.com/kesenian-ludruk-jawa-timur/

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *