Pagi ini Amir terlihat begitu bersemangat untuk berangkat ke sekolah, ditambah lagi dengan raut wajah yang selalu memancarkan senyuman manis khas anak muda yang tengah berbahagia. Sebelum berangkat ke sekolah, Amir terlebih dahulu menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh ibunya di meja makan. Dengan lahap Amir segera menghabiskan hidangan yang terdiri dari nasi, sayur, serta ikan ayam goreng dan sambal, lalu meminum teh hangat sebagai penutup menu sarapan paginya. Setelah selesai sarapan, Amir bergegas menghampiri ibunya yang saat itu sedang berada di dapur untuk meminta ijin sebelum berangkat ke sekolah. Amir mencium tangan kanan ibunya kemudian mengucapkan salam, lalu segera berangkat ke sekolah. Ibunya hanya bisa memandang Amir berangkat ke sekolah dengan seulas senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Ibunya merasakan ada sesuatu yang telah membuat anak kesayangannya berubah lebih rajin belajar, lebih bersemangat untuk pergi ke sekolah akhir-akhir ini.
Saat ini Amir sedang duduk di bangku kelas tiga SMA. Ini adalah tahun perjuangan bagi seluruh siswa kelas tiga, karena tidak lama lagi akan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Amir seolah tidak ambil pusing dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan ujian akhir. Karena saat ini pikiran dan hati Amir tengah terbuai oleh sebuah perasaan yang telah membuat hidupnya berubah, yang pada gilirannya membuatnya lebih bersemangat untuk datang ke sekolah. Tidak terkecuali pagi ini, Amir begitu bersemangat untuk segera sampai di sekolah dan yang lebih penting supaya dapat bertemu dengan teman satu kelasnya yang telah mengubah hidupnya akhir-akhir ini. Setelah sampai di sekolah, Amir segera memarkir motornya di tempat parkir, lalu berjalan santai seolah tanpa beban menuju ke ruang kelas yang berada di lantai dua.
Ketika berjalan di halaman sekolah yang nampak bersih dan asri itulah tanpa sengaja pandangan mata Amir melihat seorang wanita cantik dengan kulit seputih kapas sedang berjalan anggun ke arahnya. Seketika Amir hanya bisa berdiri diam seolah seluruh energi dalam tubuhnya terhisap masuk ke dalam tanah, pandangan mata Amir seolah tak bisa lepas dari pesona cantik wanita yang telah membuat hatinya berbunga-bunga selama ini. Ketika jarak Amir dengan wanita cantik itu semakin dekat, tanpa diduga tatapan mata Amir bertemu dengan tatapan mata si wanita cantik. Tidak ada kata yang terucap, hanya sebuah senyum ramah dan anggukan sopan. Tetapi bagi Amir, kejadian kecil yang baru saja terjadi telah membuat jiwanya meleleh bagaikan lilin yang terbakar oleh api cinta.
Ketika berada di dalam kelas, Amir seolah tidak bisa fokus dengan mata pelajaran yang sedang disampaikan oleh seorang guru. Pikiran dan hati Amir selalu tertuju kepada wanita cantik yang duduk di sebelah kanan Amir. Hingga terdengarlah sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada Amir yang saat itu terlihat sedang melamun.
“Amir, tolong engkau jelaskan kembali materi yang baru saja disampaikan?” tanya Pak Samsul dari depan ruang kelas.
Amir yang seakan baru tersadar dari lamunan indahnya terlihat bingung dan tanpa pikir panjang langsung menjawab.
“Ehm … tadi itu membahas tentang sebuah teori …” Amir tidak tahu harus menjelaskan apa dan akhirnya hanya bisa diam dengan senyum lucu menghiasi wajahnya.
Seketika ruang kelas menjadi riuh dengan suara tawa dari murid-murid lainnya karena tingkah konyol Amir pagi ini. Tidak terkecuali Fatimah juga ikut tertawa dengan senyum cantiknya.
Jam pelajaran pagi itu ditutup dengan sebuah tingkah konyol Amir yang membuat seisi kelas menjadi gaduh. Tetapi Amir tidak ambil pusing dengan itu semua, karena saat ini Amir sedang merasakan perasaan jatuh cinta kepada Fatimah yang telah meluluh-lantahkan hatinya bagaikan angin tornado yang memporak-porandakan suatu daerah.
Pada jam istirahat, Amir sedang berada di dalam ruang perpustakaan sekolah yang ada di lantai tiga. Amir terlihat begitu larut dengan buku yang dibacanya tetapi pada kenyataannya pikiran dan hati Amir sedang berada di tempat lain. Akhirnya sebuah kejutan yang tak terduga dialami oleh Amir pagi itu. Fatimah tanpa diduga juga sedang berada di dalam ruang perpustakaan dan saat itu sedang berdiri di deretan rak buku yang berada di tengah ruangan. Setelah menemukan buku yang dicarinya, Fatimah langsung menuju ke meja kosong yang ada di depannya. Amir masih belum mengetahui siapa wanita yang duduk di seberang mejanya. Setelah selesai membaca buku, Amir mendongak untuk melihat sekeliling ruang perpustakaan dan alangkah terkejutnya saat mengetahui Fatimah sedang duduk seorang diri sambil serius membaca buku di seberang mejanya.
Karena tengah diliputi oleh perasaan jatuh cinta kepada pujaan hatinya. Amir segera bangkit dari tempat duduknya dan berpindah ke tempat Fatimah yang saat itu terlihat sedang membaca buku. Setelah berdiri di depan meja Fatimah, tiba-tiba Amir merasa tidak percaya diri dan bingung. Namun karena perasaan jatuh cintanya yang sudah membuncah di dalam hati begitu tinggi, maka momen langka seperti ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Bisa jadi momen berdua dengan pujaan hatinya seperti pagi yang cerah ini tidak akan bisa terulang kembali. Akhirnya dengan memberanikan diri dan sedikit nekat Amir berkata.
“Maaf sebelumnya Fatimah jika aku menggangu waktu membacamu. Apakah aku boleh duduk di sini?” Sambil tangan Amir menunjuk kursi kosong yang persis berada di depan Fatimah.
Mendengar ada orang yang memanggilnya. Fatimah lalu mendongak dan melihat siapa orang yang berbicara kepadanya. Setelah mengetahui orang itu adalah Amir, kemudian Fatimah menjawab.
“Silahkan Amir, kalau kamu mau duduk di situ.”
Mendengar jawaban dari Fatimah, Amir segera menarik sebuah kursi dan langsung duduk dengan hati berbunga-bunga di depan pujaan hatinya yang terlihat begitu cantik.
“Kalau boleh tahu, buku apa yang sedang kamu baca Fatimah?” kata Amir membuka percakapan sambil mengusir kegugupan yang berkecamuk di dalam dirinya.
“Ini buku novel yang sedang aku baca Amir,” jawab Fatimah. “Karena aku begitu menyukai buku-buku novel, apalagi novel yang bergenre horor. Kalau kamu sendiri sedang apa di perpustakaan Amir?” tanya Fatimah.
“Aku sedang memikirkanmu Fatimah sepanjang pagi ini. Karena dirimulah aku bisa bersemangat datang ke sekolah dan juga giat belajar di rumah.” Jawaban yang keluar dari mulut Amir adalah ungkapan perasaan yang menemukam jalannya, sehingga semua berjalan secara otomatis tanpa bisa dikontrol. Kata demi kata yang terucap menggambarkan betapa Amir begitu mencintai Fatimah hingga ia rela berubah.
Jawaban dari Amir yang apa-adanya dan langsung mengutarakan isi hatinya membuat Fatimah tersipu malu dan tidak tahu harus berkata apa lagi. Setelah mendengar jawaban dari Amir, terjadi keheningan di antara Amir dan Fatimah yang seolah berjalan begitu lama. Hingga akhirnya Amir yang memecah keheningan dengan berbicara terus terang.
“Fatimah, ijinkan aku berkata jujur kepadamu. Namun sebelumnya aku mohon maaf jika apa yang akan aku katakan ini adalah salah,” Amir berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. “Dari hati kecilku yang paling dalam, aku begitu mencintaimu dengan tulus Fatimah. Maukah engkau menjadi kekasihku?” tanya Amir sambil memandang wajah cantik Fatimah bagaikan seorang bidadari yang turun dari kayangan.
Amir hanya mendapati kebisuan dari Fatimah dan pada saat yang sama Fatimah malah terlihat menggigiti bibir bawahnya sambil memejamkan mata, seolah-olah permintaan Amir yang baru saja disampaikan telah menggoncang jiwa Fatimah. Amir menjadi takut dan merasa bersalah jika ucapannya telah menyinggung dan membuat Fatimah marah kepadanya. Setelah merasakan keheningan yang seolah telah berlangsung selama berjam-jam, kemudian terdengar suara Fatimah berkata kepada Amir.
“Hari ini aku sungguh begitu terkejut mendengar engkau mengutarakan isi hatimu kepadaku secara terus terang Amir. Aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa dengan pertanyaan yang baru saja kamu sampaikan. Karena baru pertama kali ini dalam perjalanan hidupku ada seorang lelaki yang berkata seperti itu kepadaku. Jujur saat ini aku belum bisa menjawabnya Amir dan aku perlu waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu,” jawab Fatimah dengan berterus terang sambil menjelaskan situasinya kepada Amir.
“Baiklah Fatimah tidak apa-apa engkau tidak bisa menjawabnya sekarang. Tetapi aku mohon kepadamu, setelah engkau pikirkan masak-masak semua ini, tolong berilah aku jawaban. Supaya hati dan pikiranku bisa tenang setelah mendengar jawaban darimu dan tidak berkecamuk seperti saat ini.”
“Insyaallah secepatnya aku akan beri jawaban kepadamu Amir,” pungkas Fatimah.
Setelah itu Fatimah segera bangkit dari tempat duduknya dan langsung berjalan meninggalkan Amir yang tengah duduk termenung di dalam ruang perpustakaan yang mulai sepi. Terdengar bunyi bel masuk tanda jam pelajaran akan segera dimulai kembali. Amir segera bangkit dari tempat duduknya lalu mengembalikan buku yang tidak pernah ia baca ke tempatnya semula dan berjalan kembali ke ruang kelas dengan hati dan pikiran yang semakin tak karuan.
***
Ternyata menunggu jawaban dari Fatimah telah membuat Amir semakin gelisah dan tidak sabaran. Bahkan ketika berada di dalam kelas, ingin rasanya Amir mendatangi Fatimah dan langsung menanyakan jawaban dari pertanyaannya kemarin. Jika situasinya terus berjalan seperti ini, bisa-biasa Amir menjadi gila karena penantian yang tidak pasti. Ternyata satu minggu waktu yang dibutuhkan Fatimah untuk memberi jawaban kepada Amir. Dengan secarik kertas beserta tulisan tangan Fatimah yang dilipat rapi, Fatimah meminta tolong kepada teman sekelasnya yang duduk di sebelahnya untuk memberikan sobekan kertas kecil itu kepada Amir. Sobekan kertas kecil itu tiba di meja Amir dan dengan penasaran Amir segera membukanya lalu membaca isi yang ada di dalamnya. Setelah membaca isi yang ada di dalam kertas itu, wajah Amir seketika berubah ceria.
Saat jam istirahat, Amir segera bergegas menuju ke ruang perpustakaan untuk bertemu dan mendengar jawaban dari Fatimah yang telah dengan sabar ditunggunya selama ini hingga hampir membuatnya setengah gila dan putus asa. Amir dengan hati yang berbunga-bunga dan penuh percaya diri berjalan masuk ke dalam ruang perpustakaan dan alangkah terkejutnya ketika melihat Fatimah sudah berada lebih dulu di dalam ruang perpustakaan mendahuluinya. Amir segera menghampiri meja Fatimah lalu menarik sebuah kursi dan duduk dengan senyum bahagia yang selalu terhias di wajahnya. Kemudian tanpa basi-basi dan menunggu lebih lama lagi, Amir segera bertanya kepada Fatimah karena dorongan dalam hatinya sudah tak bisa dibendung lagi.
“Fatimah kalau boleh tahu apa jawaban kamu tentang pertanyaanku yang kemarin?”
Terjadi keheningan sebelum Fatimah menjawab pertanyaan Amir yang membuat situasi di dalam ruang perpustakaan memancarkan aura ketegangan yang semakin lama semakin tinggi.
“Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu yang kemarin Amir. Apa pun jawaban yang akan aku berikan kepadamu Amir, engkau harus menerimanya, mengerti!” jawab Fatimah dengan tegas dan tanpa basa-basi.
“Baiklah Fatimah. Apa pun jawaban yang akan engkau sampaikan kepadaku. Aku akan menerimanya,” imbuh Amir dengan tersenyum kepada Fatimah seolah begitu yakin cintanya akan diterima oleh Fatimah.
“Aku mohon maaf sebelumnya kepadamu Amir,” kata Fatimah mulai memberi jawaban apa adanya kepada Amir. “Untuk sekarang aku belum bisa menerima cintamu kepadaku Amir. Engkau tidak perlu mengetahui apa alasan aku menolak cintamu, tetapi engkau cukup mengetahui jawabannya, karena engkau hanya menginginkan jawaban dariku bukan alasannya.”
Mendengar jawaban yang baru saja disampaikan oleh Fatimah yang ternyata menolak cintanya, membuat perasaan Amir bagai disambar petir di siang bolong, ditambah lagi dunia impiannya tentang cinta dan kasih saat itu juga berbalik seratus delapan puluh derajat. Semua peristiwa ini tidak sesuai dengan apa yang Amir harapkan dan bayangkan, dan sekarang semua pengorbanan yang telah Amir lakukan selama ini berubah menjadi berantakan dan mulai hancur berkeping-keping menuju jurang yang dalam tanpa ada tempat untuk kembali. Dengan suara bergetar dan tidak percaya dengan semua peristiwa ini Amir berkata.
“Kenapa engkau menolak cintaku Fatimah? Apa alasannya tolong beri tahu aku,” pinta Amir.
“Apa kamu sudah lupa Amir dengan kesepakatan yang telah kita buat di awal tadi? Kamu tidak perlu mengetahui apa alasannya dan cukup kamu mengetahui jawabannya. Apa itu kurang jelas Amir?” tanya Fatimah dengan suara sedingin es.
“Aku tidak mau tahu Fatimah. Pokoknya aku tetap ingin mengetahui apa alasan kamu menolak cintaku,” suara Amir semakin meninggi karena amarah dan frustasi dengan situasi yang sedang dialaminya saat ini.
“Cukup Amir! Hentikan semua usahamu yang sia-sia itu. Aku tetap tidak akan pernah memberi tahu apa alasannya kepadamu, karena itu tidak penting untukmu,” jawab Fatimah diplomatis dan tak mau mengalah dengan permintaan Amir.
“Kenapa kamu begitu tega berbuat seperti itu kepadaku Fatimah? Aku begitu mencintaimu dengan tulus dan apa adanya,” ucap Amir menjelaskan kepada Fatimah.
“Simpan cinta tulusmu itu untuk wanita lain dan pastinya bukan untukku. Karena aku tidak butuh cintamu Amir. Dan satu hal lagi, jika kamu sudah selesai dengan urusan cinta yang tidak berguna ini, aku mau pergi dari sini sekarang. Dan satu hal lagi, tolong jangan pernah ganggu hidupku lagi mulai sekarang, karena aku ingin fokus mempersiapkan diriku menghadapi Ujian Akhir Nasional nanti.”
Setelah mendengar jawaban dari Fatimah yang lugas dan tegas, Amir hanya bisa duduk diam di tempatnya dan tidak meneruskan perdebatan ini yang pada akhirnya akan menimbulkan keributan di dalam ruang perpustakaan. Amir hanya bisa memandang tanpa daya ketika pujaan hatinya Fatimah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan pergi meninggalkan ruang perpustakaan dengan langkah yang penuh percaya diri dan seperti tidak terjadi apa-apa. Sambil duduk termenung seorang diri di dalam ruang perpustakaan yang mulai sepi, Amir masih tidak bisa percaya dengan kejadian yang baru saja ia alami. Bagaimana bisa cintanya kepada Fatimah yang tulus ternyata ditolak dengan mentah-mentah dan tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Padahal yang ada dalam pikiran Amir selama ini adalah cintanya akan diterima dan ia akan bisa menjadi kekasih Fatimah, wanita yang sangat cantik, murid berprestasi di sekolah, juga anak seorang yang terpandang dan kaya. Tetapi apa daya, kenyataan pahit yang Amir terima tidak seindah harapan yang selalu ia bayangkan. Amir hanya bisa mengepalkan ke dua tanganya di atas meja serta ditambah dengan rasa sakit di dalam hati yang belum pernah Amir rasakan sebelumnya. Amir menyadari tidak ada lagi yang dapat ia lakukan untuk merubah keadaan yang menyakitkan ini. Mulai hari ini, Fatimah wanita yang ia cintai dengan tulus akan lepas untuk selamanya dan akan menjadi milik orang lain suatu hari nanti. Amir tidak akan pernah sanggup melihat Fatimah duduk di atas pelaminan dengan pria pujaan hatinya dan itu akan menjadi mimpi buruk di sepanjang sisa perjalanan hidupnya.
Ruang perpustakaan sekolah yang ada di lantai tiga akan selalu menjadi kenangan pahit dan saksi bisu bagi perjalanan kisah cinta Amir dengan Fatimah yang kandas bahkan sebelum memulai. Sampai kapan pun, Amir akan selalu mengingat momen di mana hari itu adalah hari yang telah menggoreskan luka yang begitu dalam di hati Amir. Luka itu tidak akan pernah benar-benar sembuh dan hanya waktu yang akan bisa menjawabnya.
Achmad Fahad, lahir di Jombang 37 tahun silam dan menyukai dunia literasi. Saat ini sedang serius menekuni dunia tulis-menulis supaya dapat menghasilkan karya-karya tulis yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Cerpen yang berjudul “Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan” merupakan salah satu karya saya. Bagi para pembaca yang memiliki ulasan atau kritik bisa disampaikan melalui akun media sosial saya. Karena kritik dan masukan akan sangat berguna bagi saya untuk bisa menghasilkan karya yang lebih baik lagi.