
Azan subuh pun berkumandang. Suaranya yang parau dan pelan terlontar dari speaker tua di atap musala. Menyebar ke sudut-sudut dusun, menelusup rimbunan daun, pohon-pohon, dan lubang angin tembok-tembok rumah beku. Mencoba membangunkan anak-anak manusia dari indahnya mimpi dan selimut hangat. (Penjaga Subuh, hlm. 108)
Begitulah suasana subuh di sebuah kampung di wilayah Purwokerto, aku pun menarik selimut, cuaca sangat dingin. Semalam hujan mengguyur sangat deras, ditambah badan masih letih setelah melakukan perjalanan dari Cirebon. Suara azan terngiang-ngiang di telinga, mencoba menghancurkan rasa kantuk yang terus menyerang. Aku berusaha melawan, namun sia-sia, suara azan terkalahkan oleh suara dengkur yang semakin keras.
Saya yakin, peristiwa terlelap di waktu subuh pasti pernah dialami oleh setiap orang di muka bumi ini. Bahkan oleh Ryan Rachman, seorang cerpenis dari daerah Banyumas yang baru-baru saja menerbitkan buku kumpulan cerpennya berjudul ‘Penjaga Subuh’. Dalam cerpennya itu, ia sedang mewartakan suasana salat subuh di mesjid, di sebuah kampung, bisa jadi itu adalah di kampungnya sendiri.
Ki Mad, seorang tokoh utama dari cerpen tersebut mempresentasikan banyak kiyai-kiyai serupa di kampung-kampung di Indonesia. Dan suasana musala yang sederhana, dengan peralatan-peralatan tua dan butut. Penggambaran suasana itu dalam cerpennya mengajak pembaca masuk ke dunia realitas. Ya, Cerpen sesungguhnya adalah sebuah potret sosial. Ia diciptakan tidak sekadar sebuah kisah fiksional belaka. Tetapi, bisa jadi cerpen ditulis sebagai sebuah refleksi, evaluatif, pantulan dari persoalan sosial dan budaya. Dunia fiktif tidak semata-mata cerita saja, terkadang memiliki keterikatan dengan kehidupan sosiologis penulisnya. Ia memotret atau merekam fakta sosial di sekitar kehidupannya.
Potret tentang kehidupan masyarakat di perkampungan dicerminkan kembali pada cerpen ‘Para Penggali Kubur’, di sini Ryan menceritakan kehidupan salah seorang penggali kubur yang hidupnya sederhana, ia memiliki seorang anak dan ingin merayakan malam tahun baru di alun-alun yang setiap malam pergantian tahun selalu ramai. Namun, keinginannya itu sirna ketika pada malam tahun baru ada seorang warga di kampungnya meninggal.
Cerpen-cerpen yang ditulis oleh Ryan Rachman dalam buku ini hampir memiliki kesamaan nama-nama tokoh; seperti Ki Mad, Dul Komed kerap kali dimunculkan atau menjadi tokoh di judul-judul cerpen lainnya. Ryan seolah ingin mengajak pembaca untuk masuk ke wilayah dunia cerita yang ia ciptakan. Bahwa, dalam cerpen-cerpennya, cerita-cerita itu memiliki ikatan satu dengan yang lainnya dengan diperjelas dengan nama tokoh yang sama.
Misalnya pada judul ‘Dul Komed Tiba-Tiba Ingin Menjadi Seekor Monyet’ yang menceritakan tentang Dul Komed sebagai seorang penyadap nira untuk dibuat gula kelapa. Berbeda dengan cerpen ‘Para Penggali Kubur’ dimana Dul Komed muncul sebagai satu di antara yang ikut berperan sebagai penggali kubur.
Pada cerpen ini, Dul Komed kesal kepada monyet-monyet yang mengganggu kerjanya. Ia pun memutuskan untuk memburu monyet-monyet itu dengan peluru. Namun, di akhir cerita Dul Komed malah ingin menjadi monyet yang bisa berloncatan dari pohon kelapa satu ke yang lainnya. Keinginan itu muncul ketika ia jatuh, melayang, terlepas dari pohon kelapa. Ya, sifat manusia memang kerap kali labil, di satu sisi membenci sesuatu, tetapi pada saat-saat tertentu ingin menjadi seperti yang ia benci.
Tokoh Dul Komed pun lanjut di cerpen ‘Pahingan’ sebagai penyadap nira dengan cerita berbeda, ia harus membayar uang pahingan kepada si pemilik kebun. Ya, beberapa cerpen Ryan memang memberikan gambaran masyarakat Jawa dengan keberagaman aktivitasnya, meskipun terkadang akhir dari ceritanya terkesan datar, tidak memiliki daya hentak pada imaji pembaca, akan tetapi Ryan seolah sengaja mengajak pembaca untuk merenung tipis-tipis; membawa pembaca baca dunia realitas. Pembaca tidak diajak untuk melakukan perjalanan imajinasi yang jauh; masuk pada wilayah filsafat.
Beberapa mitos, atau kepercayaan masyarakat yang dikenal oleh Ryan dihadirkan pada cerpen-cerpennya, misalkan ‘Ular di Kamar Las’.
Atau mungkin, kedatangannya menjadi pertanda buruk? Akan ada musibah atau bahaya yang mengintai? Kesialan akan datang? Ah, Las tak mau mempercayai hal-hal jelek mitos seperti itu. Melihat seekor ular di tempat tidurnya, itu sudah kesialan baginya. Las merasa tidak nyaman berdekatan dengan hewan apa pun. Entah itu ayam, kucing, kelinci, burung atau ikan. Geli-geli bagaimana begitu. Terlebih lagi ular. Bisanya dapat membunuh orang yang terpatuk. (hlm. 133-134)
Peristiwa ular masuk ke kamar Las ternyata oleh Ryan dijadikan suatu simbol atau pertanda untuk akhir dari cerita Las. Ia harus menerima kenyataan menjadi seorang istri dari laki-laki yang tidak pernah ia cintai, atau bisa jadi yang ia benci. Seolah laki-laki yang menjadi suaminya ini adalah ular yang di hari-hari sebelum pernikahannya datang ke kamar.
Cerpen-cerpen Ryan sangat mudah ditebak; alur yang runut, dan konflik yang datar. Beberapa tema pada cerpen-cerpennya justru hampir berbicara pada wilayah dirinya sendiri, misalkan sebagai penulis, atau seorang suami yang wartawan. Judul cerpen ‘Masih Kucium Aroma Teh yang Kau Seduh’, seolah sebuah isyarat bahwa karakter penulisnya ikut terlibat pada proses penciptaan cerpen-cerpen pada buku ini.
“Kapan kau kan kembali?” tanyamu
“Ah, tunggulah barang sebentar,” sahutmu
“Iya, tapi aku butuh kepastian.”
“Kira-kira tiga belas purnama lagi, aku sudah berada di samping tidurmu. Membangunkanmu dengan ciuman terdahsyat yang kumiliki.”
“Ah, dasar penyair palsu!” katamu sambil tertawa kecil, “baiklah, aku akan menunggumu di sini, di tepi ranjang ini sambil membaca tulisan-tulisanmu di surat kabar. Aku cinta kau.”
Beberapa penulis terkadang memang terhipnotis dengan imajinasi sendiri dalam berproses menulis cerita; seolah dunia imajinasi yang diciptakannya adalah dunia realitas, atau mungkin bisa sebaliknya. Dan itu sah dalam proses kreatif menulis cerpen.
Cerpen biasanya ringkas, padat dan lugas, dan itu tidak mudah diterapkan oleh pengarang. Sering kita mendengar suara-suara yang berkeluh kesah dan berkilah bahwa keterbatasan pada ruang cerpen menghambat kreativitas; membatasai ruang eksplorasi untuk menguak banyak hal. Tetapi, bagaimanapun, tentulah kita mesti menjawab sinyalemen itu: benarkah pembatasan itu menghambat ruang kreativitas; membatasi ruang eksplorasi? Jangan-jangan keluh kesah itu hanyalah kamuflase dari ketidakmampuan mereka mengembangkan kreativitas atau kegagalan menemukan cara penyiasatannya.
Keterbatasan pada cerpen bukanlah suatu hambatan untuk penulis mempersingkat cerita sehingga berakhir prematur. Cerpen dapat berakhir dengan mengejutkan atau melalui metafora, merupakan siasat ampuh untuk memperkuat daya gelitik. Aturan main pada cerpen yang diterapkan justru melahirkan imaji dan kreativitas lain. Tetapi, bagaimana kita mengolahnya menjadi cerita yang dapat hidup pada pikiran dan meninggalkan kesan yang dalam.
Ryan telah dan terus berusaha menghadirkan kejutan-kejutan pada cerpen-cerpennya, sebut aja pada ‘Lelaki Tua dan Piano’, ‘Suatu Petang di Peron Stasion Gmit’, Ia berusaha menghadirkan tema yang lain, warna yang lain, yang jika diamati dari keseluruhan cerpen-cerpen dalam buku ini, pada judul dua cerpen di atas Ryan berusaha meninggalkan warna lokalitasnya. Eksperimen tema tersebut tentu perlu diapresiasikan, meskipun masih terkesan tidak stabil dan datar. Namun demikian, keseluruhan cerpen-cerpen pada buku ‘Penjaga Subuh’ sangat dapat dinikmati sebagai buku cerpen, apalagi membacanya di dalam mobil bis dari Purwokerto menuju Cirebon.
Tiba-tiba, suara amin yang serempak kembali terdengar dalam tidurku. Loh, ini kan ada dalam dunia tidur, mengapa orang-orang salat subuh dalam tidurku. Jelas terlihat wajah-wajah cerah berpakaian putih, kain putih juga menutupi kepala mereka, seperti warna pada selimutku. Ini subuh yang asing, tidur yang aneh.
“Kami sudah menunggumu,” kata seorang sosok itu, jelas terdengar di telinga, padahal aku masih tidur, masih mendengkur.
Tiba-tiba kamar tidur ini berubah menjadi istana megah yang sangat indah dan sejuk. Aku sangat bahagia, tidurku di waktu subuh seperti berada di dalam surga yang paling indah.
Desember 2022
Nana Sastrawan, seorang penulis, peraih Penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Selain menulis cerpen, novel dan puisi, beberapa karyanya berupa artikel pendidikan, kebudayaan dan sastra sering dimuat di media cetak dan digital.