Cerpen di Imaji Retak

Nana Sastrawan

Menulis cerpen yang ringkas, padat dan lugas tidak mudah diterapkan oleh pengarang. Ya, seperti yang diketahui umum bahwa cerita pendek atau cerpen biasanya terbentur dengan keterbatasan jumlah kata dan halaman, khususnya pada media massa atau media daring (dalam jaringan). Sering kita mendengar suara-suara yang berkeluh kesah dan berkilah bahwa keterbatasan itu menghambat kreativitas; membatasi ruang eksplorasi untuk menguak banyak hal. Tetapi, bagaimanapun, tentulah kita mesti menjawab sinyalemen itu: benarkah pembatasan itu menghambat ruang kreativitas; membatasi ruang eksplorasi? Jangan-jangan keluh kesah itu hanyalah kamuflase dari ketidakmampuan mereka mengembangkan kreativitas atau kegagalan menemukan cara penyiasatannya.

Perlu diketahui menulis cerpen bukan sekadar berkisah. Kesadaran pengarang akan tehnik penyampaian kisah pun diuji, misalnya penggunaan alur, pemunculan konflik dan mengakhiri cerita dapat dikemas dengan lentur. Bagaimanapun juga, cerpen (sastra) bukanlah sastra popular yang sekali baca, lenyaplah sentuh kritik kita pada karya itu. Cerpen dapat memperlihatkan kecerdasan penulisnya. Ada siasat yang diciptakan dan coba diterapkan penulis, dan itu tentu saja lahir lantaran penulis itu tidak kehilangan kreativtas. Dari sudut cerpen itu sendiri, kita berjumpa dengan semacam karakteristik khas. Lalu, apakah cerpen berjudul ’Bunga di Jambangan Retak’ karya Muhamad Yusuf  yang dimuat di www.mbludus.com pada 7 Juli 2019 memiliki unsur itu semua. Mari kita perlahan mendedahnya.

[iklan]

Muhamad Yusuf yang lahir dan bermukim di Banjarmasin adalah seorang guru. Tentu saja, melihat aktivitasnya seorang guru, dia tidak lepas dengan pengamatannya tentang lingkungan sosial sekolah, murid, dan kehidupan keluarga dari murid-muridnya sehingga tidak heran jika cerpen ini pun menggambarkan fakta dalam realitas sosial di lingkungannya. Fakta dalam suatu karya sastra mengalami pemilahan, pemilihan, dan seleksi. Tentunya sudah mengalami proses evaluasi dan pemaknaan. Muhamad Yusuf memilih fakta yang baru-baru ini muncul ke permukaan tentang penyimpangan seksual dan pelecehan kepada anak di bawah umur. Akan sangat mengerikan jika itu kita bayangkan, bagaimana seorang anak dijadikan bulan-bulanan hawa nafsu seorang dewasa. Apalagi, jika itu dilakukan oleh orang tuanya sendiri.

Muhamad Yusuf seolah sedang memberikan sinyal kepada setiap orang untuk menjaga kelangsungan perkembangan anak yang sehat, dan dia juga seakan memberikan sikap semangat kepada anak-anak yang pernah atau sedang mengalaminya untuk berani bercita-cita, berani melawan bahkan berani melaporkan kepada hukum. Sebab, bagaimanapun juga, perbuatan itu sudah jelas-jelas melanggar, dan dapat membunuh karakter anak.

Cerpen ini boleh jadi adalah sebuah gugatan kepada para pelaku secara moral. Kehadiran Laila, sebagai seorang guru yang dengan keberaniannya melaporkan tindakan seorang dewasa yang melakukan tindakan seksual kepada muridnya yang masih anak-anak adalah  suatu simbol untuk masyarakat agar berani melawan dengan hukum, dan peduli terhadap anak-anak. Sebab, anak-anak bukanlah obyek untuk kemarahan, kepuasaan atau alat permainan untuk orang-orang dewasa. Anak-anak memiliki dunianya sendiri; bermain, belajar dan berkarya. Sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang dewasa.

Sementara Bunga, tokoh yang menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan ayahnya, Jumadi menjadi sosok seorang anak yang dapat bertahan, tabah meskipun hari-harinya menyakitkan. Ketabahan dan kegigihannya membuahkan hasil, Bunga menjadi seseorang yang sukses di masa depan. Ini seolah menggambarkan bahwa setiap korban yang pernah mengalami itu semua, dapat bangkit dan menjadikan dirinya sama, bahkan lebih tinggi derajatnya dari orang lain. Kuncinya, adalah pantang menyerah dan dukungan dari berbagai pihak. Begitulah semangat cerpen ini yang dihadirkan oleh penulis.

Namun, tentu saja suatu tema yang menarik belum tentu dapat dinikmati oleh pembaca jika penyajiannya tidak sempurna. Inilah yang ditemukan pada cerpen karya Muhamad Yusuf. Cerpen ini seolah kurang data, kurang eksploasi dari berbagai elemen cerpen, seperti alur, konflik dan pengakhirinya. Di awal cerita penulis sudah memberikan sinyal bahwa cerpen ini menggunakan alur mundur.

Ketika daun pintu sudah dibuka oleh Laila. Bukan main terkejutnya Laila. Di hadapannya, berdiri tegak seorang lelaki setengah baya berperawakkan sedang. Meskipun, sebagian wajahnya tertutup oleh kumis dan jambang yang lebat, Laila masih dapat mengenalinya dengan baik. Lelaki itu menatap Laila dengan tatapan layu. Warna topinya yang hitam senada dengan warna jaketnya yang lusuh.

            “Katakan, di mana anakku sekarang?” Tanyanya sambil mendekat selangkah ke arah Laila.

            Pertanyaan  lelaki itu tidak dijawab oleh Laila. Laila justru menutup pintu rumahnya. Laila lalu bersandar di daun pintu sambil memegang gagang pintu. Kedua kakinya gemetar.

            “Ju…Jumadi, dia telah bebas,” ucap Laila lirih.

            Laila terduduk dan masih bersandar di pintu. Sesaat, Laila hanya bisa memeluk erat kedua lututnya. Setelah merasa sanggup berdiri, barulah Laila beranjak dari duduknya. Dengan tertatih, Laila masuk kamarnya. Laila menutup pintu kamarnya rapat-rapat.  Ia berharap, tamunya itu segera pergi.

Di pembaringannya, Laila dilanda kekhawatiran. Sekejap pun ia tak terlelap. Padahal, perjalanan waktu telah tiba di pertigaan malam. Bayangan Jumadi mengorek-ngorek pelupuk matanya. Kedatangan lelaki yang tidak disangka-sangkanya itu, telah mengapungkan kembali dalam ingatannya  sebuah peristiwa buruk yang sudah cukup lama tenggelam. 

Dari pembukaan cerpen ini sesungguhnya pembaca sudah ditarik imajinya masuk ke dalam peristiwa yang menegangkan, sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan? Siapakah Laila dan Jumadi? Lalu apa yang sebenarnya terjadi sebelumnya? Mengapa Laila begitu ketakutan? Tentu saja, pembuka cerita yang memiliki daya kejut membuat pembaca semakin penasaran untuk masuk lebih dalam ke dalam cerita selanjutnya. Di sinilah selanjutnya kecakapan penulis diperlukan untuk membangun narasi yang dapat menghidupan imaji pembaca. Muhamad Yusuf mengantarkan cerita selanjutnya kepada pembaca dengan kalimat:

Sebelas tahun yang lalu.

Setelah itu, deskripsi-deskripsi peristiwa yang digambarkan oleh penulis selanjutnya terasa dapat menghidupkan cerita. Bagaimana pembaca digiring kepada cerita sesungguhnya, yaitu seorang anak yang mengalami pelecehan seksual. Rasa getir dan haru disajikan oleh penulis sehingga pembaca semakin gelisah ingin mengetahui cerita selanjutnya. Namun, dalam pemunculan konflik tidak begitu kuat mewakili perasaan pembaca. Gregetnya tidak sampai ke hati pembaca. Setelah narasi deskripsi dan perasaan getir, haru, menyakitkan, menyedihkan dikeluarkan oleh penulis untuk mengaduk-ngaduk perasaan pembaca. Justru konfilk yang dibangun begitu ringan, dampaknya harapan pembaca dikecewakan oleh cerita yang dibacanya. Mari kita simak, di sini terasa sekali kreativitas imaji penulis yang retak, seolah dia kelelahan untuk meneruskan ceritanya.

Hanya berselang tiga hari setelah pengakuan Bunga, beberapa petugas dari kepolisian menangkap Jumadi, ayah kandung Bunga. Laila melaporkan Jumadi ke polisi atas persetujuan Bunga dan pamannya yang tinggal di luar kota. Perbuatan tak termaafkan  Jumadi, sepatutnya diungkap. Sebulan kemudian, Jumadi divonis bersalah oleh majelis hakim. Atas dosa-dosanya, Jumadi harus merasai pengapnya tinggal di bui selama sebelas tahun.

Ketika dua orang petugas menggandengnya meninggalkan ruang putusan, Jumadi berpaling ke arah Laila. Di saat itulah, Laila sempat menangkap sorot kebencian Jumadi kepadanya.  

“Kau telah memadamkan cerahnya dunia Bunga.  Kau reguk madunya, tanpa berbelas kasih. Seharusnya,  kau lindungi Bunga agar ia dapat tumbuh dan berbunga.  Kau pantas mendekam di penjara, walau sebenarnya tidak ada tempat yang layak di bumi ini  bagi seorang ayah seperti dirimu,” batin Laila tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Jumadi yang berjalan gontai.

Penulis tidak ingin atau tidak bisa mengeksplorasi, mengelaborasi dan mengeksekusi peristiwa penting dari keseluruhan cerpen untuk menghasilkan suatu akhir cerita yang klimak. Sebegitu mudah cerita ini berakhir dan tidak menimbulkan kesan yang mendalam. Meskipun di akhir ceritanya penulis mencoba memunculkan kembali sosok Bunga yang telah dewasa, namun ini suatu kegagalan. Sebab, ketidakkonsistenan alur yang dihadirkan penulis membuat karya ini gagal untuk menghadirkan cerita yang utuh dan sempurna. Pondasi yang dibangun oleh penulis masih sangat rapuh.

Seperti yang telah disebutkan bahwa keterbatasan pada cerpen bukanlah suatu hambatan untuk penulis mempersingkat cerita sehingga berakhir prematur. Cerpen dapat berakhir dengan mengejutkan atau melalui metafora, merupakan siasat ampuh untuk memperkuat daya gelitik. Aturan main pada cerpen yang diterapkan justru melahirkan imaji dan kreativitas lain. Meskipun demikian, untuk suatu apresiasi, cerpen ini layak untuk diapresiasikan dan dijadikan bahan perenungan untuk kita semua, bahwa cerpen yang berkualitas bukan sekadar tema yang sedang mencuat, atau sedang menjadi buah bibir. Tetapi, bagaimana kita mengolahnya menjadi cerita yang dapat hidup pada pikiran dan meninggalkan kesan yang dalam. Selamat Berkaya.

Juli 2019

Silakan baca untuh cerpennya klik di sini https://mbludus.com/cerpen/bunga-di-jambangan-retak/

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *