Bunga di Jambangan Retak

Muhamad Yusuf

Ketika daun pintu sudah dibuka oleh Laila. Bukan main terkejutnya Laila. Di hadapannya, berdiri tegak seorang lelaki setengah baya berperawakkan sedang. Meskipun, sebagian wajahnya tertutup oleh kumis dan jambang yang lebat, Laila masih dapat mengenalinya dengan baik. Lelaki itu menatap Laila dengan tatapan layu. Warna topinya yang hitam senada dengan warna jaketnya yang lusuh.

“Katakan, di mana anakku sekarang?” Tanyanya sambil mendekat selangkah ke arah Laila.

Pertanyaan  lelaki itu tidak dijawab oleh Laila. Laila justru menutup pintu rumahnya. Laila lalu bersandar di daun pintu sambil memegang gagang pintu. Kedua kakinya gemetar.

“Ju…Jumadi, dia telah bebas,” ucap Laila lirih.

Laila terduduk dan masih bersandar di pintu. Sesaat, Laila hanya bisa memeluk erat kedua lututnya. Setelah merasa sanggup berdiri, barulah Laila beranjak dari duduknya. Dengan tertatih, Laila masuk kamarnya. Laila menutup pintu kamarnya rapat-rapat.  Ia berharap, tamunya itu segera pergi.

[iklan]

Di pembaringannya, Laila dilanda kekhawatiran. Sekejap pun ia tak terlelap. Padahal, perjalanan waktu telah tiba di pertigaan malam. Bayangan Jumadi mengorek-ngorek pelupuk matanya. Kedatangan lelaki yang tidak disangka-sangkanya itu, telah mengapungkan kembali dalam ingatannya  sebuah peristiwa buruk yang sudah cukup lama tenggelam.

***

            Sebelas tahun yang lalu.

Laila heran dan bertanya-tanya akan perubahan sikap,  salah satu peserta didiknya, yakni Bunga. Sifat ramah dan periang yang melekat dalam diri Bunga, tidak tampak lagi. Bunga menjelma menjadi sosok pemurung dan pendiam. Ia lebih banyak menyendiri. Ia tidak mau lagi berkumpul dan bersenda gurau dengan teman-temannya. Sehari-harinya, gadis belia yang duduk di kelas delapan itu terlihat bersedih. Bahkan, menurut keterangan dari teman-teman sekelasnya, Bunga kerapkali menangis di kelas. Nalurinya sebagai seorang wali kelas,  meyakini jika anak didiknya yang  cerdas juga santun itu tengah didera masalah. Hal ini diperkuat oleh,  keterangan beberapa guru yang mengajar di kelas Bunga.  Bunga dinilai tidak bersemangat lagi belajar.

Tak ingin keadaan Bunga kian memburuk, hari itu juga, setelah jam pelajaran berakhir, Laila memanggil Bunga. Laila dan Bunga bertemu di ruang tamu, di samping ruang guru. Mereka duduk berdampingan di sofa panjang. Keadaan di sekolah  sudah sepi. Semua guru dan siswa sudah pulang. Hanya penjaga sekolah yang masih terlihat menutup pintu-pintu kelas.

Ketika Laila mulai angkat bicara, Bunga tertunduk dalam. Laila dapat memirsa ada kabut di wajah anak didiknya  itu. Laila mengusap lembut kepala Bunga yang berbalut jilbab sembari bertanya, perihal kemurungan Bunga. Akan tetapi, pertanyaan Laila dijawab langsung oleh Bunga dengan tangisan yang mengiba. Laila memeluk Bunga dengan erat. Dalam pelukannya, tubuh Bunga bergoncang-goncang. Cukup lama Laila membiarkan Bunga larut dalam isaknya. Di saat tangisan Bunga berangsur-angsur mereda, Laila mengajak Bunga pulang bersama. Laila merasa, saat itu bukan saat yang tepat untuk mengorek keterangan dari Bunga. Laila akan membonceng Bunga sampai ke rumahnya, karena jalan menuju rumah mereka searah.

Akan tetapi, di saat Laila beranjak dari duduknya, dengan cepat Bunga meraih tangan Laila.

“Bu, Bunga akan berterus terang. Tetapi, Ibu harus berjanji, orang lain tidak boleh tahu.”

Laila mengangguk dan duduk kembali di samping Bunga. Laila memeluk Bunga yang terlihat semakin rapuh. Dalam pelukan Laila, Bunga mulai bercerita. Isaknya terdengar  halus. Tidak lama kemudian, Laila merasakan ulu hatinya bagai dihantam sebuah palu besar setelah mendengar penuturan Bunga. Dadanya bergemuruh. Laila melepas pelukannya. Lalu mencengkeram kedua bahu Bunga. Laila menatap wajah Bunga dalam-dalam untuk memastikan kebenaran pengakuan Bunga. Bunga mengangguk lemah. Laila mempertajam tatapannya, berharap anak didiknya itu hanya berpura-pura. Bunga mengangguk-anggukkan kepalanya berulang-ulang. Tangis Bunga meledak lagi. Kali ini, tangisan dan rintihannya lebih menyayat hati.  Air matanya tumpah membasahi jilbab dan roknya.

Laila menyandarkan punggungnya di sandaran sofa sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hati nuraninya sebagai perempuan, remuk redam. Begitu berat beban luka yang menindih Bunga. Seandainya apa yang dialami Bunga, menimpa pada dirinya, belum tentu ia setegar Bunga. Laila  berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia harus terlihat  tegar di hadapan Bunga.

Laila mendekap Bunga lagi. Kini, lebih erat. Dalam pelukannya, Laila mendengar napas  Bunga mengembuskan kepedihan yang sangat dalam. Sungguh luka berlapis luka. Laila tidak menyangka, jika selama ini Bunga tumbuh di jambangan yang retak.

“Bunga malu dan takut, Bu.” Suara Bunga terdengar serak.

Laila berdiri sembari memapah Bunga agar berdiri juga. Laila mengusap-usap pipi Bunga yang halus dan sembab. Dikecupnya kening Bunga.

“Kau tak perlu malu, sebab kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Kau adalah perempuan kecil yang memiliki kehormatan tertingggi dan kelak akan kau raih.  Jangan takut ya, sekali lagi jangan takut. Kau juga memiliki kekuatan tak tertandingi. Ibu akan melindungimu. Dan akan banyak orang yang akan melindungimu.”

“Tapi Bu!”

“Dengar ya sayang, dengarlah kata-kata ibu ini. Percayalah, kebahagiaan akan menyapamu setelah air mata duka ini mengering.” Ucap Laila diplomatis sambil menyeka air mata Bunga.

***

Hanya berselang tiga hari setelah pengakuan Bunga, beberapa petugas dari kepolisian menangkap Jumadi, ayah kandung Bunga. Laila melaporkan Jumadi ke polisi atas persetujuan Bunga dan pamannya yang tinggal di luar kota. Perbuatan tak termaafkan  Jumadi, sepatutnya diungkap. Sebulan kemudian, Jumadi divonis bersalah oleh majelis hakim. Atas dosa-dosanya, Jumadi harus merasai pengapnya tinggal di bui selama sebelas tahun.

Ketika dua orang petugas menggandengnya meninggalkan ruang putusan, Jumadi berpaling ke arah Laila. Di saat itulah, Laila sempat menangkap sorot kebencian Jumadi kepadanya.

“Kau telah memadamkan cerahnya dunia Bunga.  Kau reguk madunya, tanpa berbelas kasih. Seharusnya,  kau lindungi Bunga agar ia dapat tumbuh dan berbunga.  Kau pantas mendekam di penjara, walau sebenarnya tidak ada tempat yang layak di bumi ini  bagi seorang ayah seperti dirimu,” batin Laila tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Jumadi yang berjalan gontai.

***

Tujuh tahun setelah berpisah dengan Bunga, Laila tidak menduga sama sekali menerima sepucuk surat dari Bunga. Memang sejak  Jumadi dipenjarakan, Laila tidak pernah lagi bertemu dengan Bunga. Di tempat yang dirahasiakan, Bunga dalam asuhan para petugas dinas sosial perlindungan anak, serta dalam pengawasan satu lembaga bantuan hukum di kota ini. Hal ini dilakukan, agar peristiwa pahit yang dialami Bunga tidak menjadi mimpi buruk yang akan membayangi hari-harinya di masa depan. Siapa pun tidak diperkenankan menemui Bunga, tidak terkecuali Laila.

Gemetar tangan Laila memegang secarik kertas berwarna putih gading. Dengan lahap, kedua mata Laila mencernai kata demi kata yang ditulis oleh Bunga. Laila terharu. Tak kuasa dibendungnya, air matanya menetes. Bunga mengatakan, ia telah merengkuh titel sarjananya.

Ingatan Laila tentang Bunga, tiba-tiba memudar. Karena, didengarnya lantunan azan subuh dari corong masjid di depan gang. Seruan suci itu menggerakkan hati Laila. Lekas-lekas Laila menanggalkan selimutnya dan beranjak menuju kamar mandi.

Laila bermaksud pergi ke masjid. Ketika akan membuka pintu pagar halamannya, Laila terperanjat bukan kepalang. Di bawah temaramnya cahaya bulan, ia melihat sesosok bayangan yang sangat dikenalinya, mengadangnya. Hampir saja jantungnya berhenti berdenyut. Namun, beberapa saat kemudian, seulas senyum manis mengembang di bibir Laila.

Muhamad Yusuf, S.Pd. Lahir di Banjarmasin, 13 Januari 1971. Pengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Banjarmasin. Lebih dua puluh cerpennya dimuat pada harian lokal. Memiliki dua buku kumpulan cerpen. Pernah meraih juara pertama dalam Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Tingkat Guru SMP/Mts se-Kalsel 2013 yang diadakan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, pernah diraihnya. Dalam semarak Bulan Bahasa Oktober 2015 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, penulis juga meraih juara pertama dalam Lomba Penulisan Teks Kebahasaan Guru SMA/SMK/MA se-Kalimantan Selatan. (Hp 081349379313)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *