
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan (Pramoedya Ananta Toer)”.
Perspektif Novel dan Film
Novel dan film adalah dua bidang karya yang sangat berbeda. Novel mengandalkan bahasa sebagai teknik penyampaian jalan cerita, sedangkan film mengutamakan visualisasi gambar dengan performa pemeran. Keduanya tidak pernah berjalan setara dan seimbang meskipun berasal dari adaptasi tema, alur cerita, dan penokohan yang sama, tetapi tetap saja memiliki sisi yang tidak akan pernah bisa disatukan dan dipertemukan. Tentu saja, alasan tersebut berangkat dari kondisi perbedaan bahasa dan gambar sebagai alat utama di antara keduanya. Bahasa tulisan yang tidak pernah bisa diterjemahkan secara sempurna ke dalam bahasa gambar secara utuh, juga teknik bahasa yang mustahil sampai pada visualisasi gerak adalah alasan mendasar ketidakmungkinan menyamakan keduanya, sehingga akan selalu ada kekurangan dan kelebihan yang muncul ketika novel sudah rilis menjadi film.
Bahasa yang selalu berurusan dengan estetika linguistik, inovasi dialektis, dan pengembangan literatur akan bertolak belakang dengan filmisasi yang cenderung mengarah ke properti, hal-hal yang bersifat komoditas. Dalam hal ini, bisa melihat keduanya dari segi publikasi dan marketing sehingga ada tolok ukur untuk membedakan dari kacamata publik sebagai lapangan luas tempat kedua bidang karya tersebut lahir. Pada bentuknya yang mediatif, novel dan film mempunyai arah yang sama, yaitu pembaca dan penonton (baca: publik) sebagai bagian penting tak terpisahkan. Masing-masing sudah memiliki jalur ke mana mereka didistribusikan.
Novel sebagai produk selalu memperhitungkan pencapaian aspek fisik – baik bahasa, desain linguistik dan sistem tata bahasa, maupun nonmateri – terkait kebenaran kolektif, riset/hipotesis mengenai kultur, adat-istiadat, kebudayaan, agama, ekonomi, dan komunitas sebagai latar belakang. Sementara film mempunyai banyak sensor dalam menghadirkan realitas secara objektif karena ia hanya memperhitungkan sampainya pesan, pelajaran, dan hikmah yang sudah disaring. Tentu saja, hal ini bisa dibilang menyimpan kepentingan tertentu, terkait dengan surplus dan persetujuan pasar secara umum (public approval).
Novel hadir ke hadapan pembaca bisa menyajikan apa saja, termasuk otokritik, maslahat, dan kontroversi yang pernah atau sedang berlangsung. Ia bisa hadir dengan bentuknya yang frontal, terbuka, dan blak-blakan. Sementara film, “sekali lagi” akan lebih memperhitungkan utilitasnya yang justru menyebabkan realitas hadir tidak lagi otentik. Hal lain yang tidak mungkin dilampaui film adalah realitas sosial, setting, alur, suasana, dan latar kehidupan yang sudah berbeda dari zaman ke zaman. Film dengan durasinya mempersempit waktu dan alur. Maka bukan hanya nilai historis yang hilang, melainkan juga penandanya yang mungkin tidak terlalu diperhitungkan atas dasar ketidakmungkinan untuk menyamakannya. Di sini kemudian, posisi seorang penulis dan film maker juga membuktikan diri, mana yang lebih perfeksionis.
Setidaknya pembahasan dari awal sudah memberikan gambaran bahwa seorang penulis adalah pelaku dari sejarahnya, sedangkan sutradara hanya seorang pencuri insiden dan penjiplak peristiwa dalam sejarah yang cenderung manipulatif dan politis dalam merekayasa dan merebut simpati publik. Karena keberhasilan seorang film maker berada di atas kuantitas penontonnya, hal tersebut menjadi kesadaran terdalam ketika harus berjuang mengadaptasi sebuah novel sejarah ke dalam film masa kini. Tentu saja, cara dan strategi apa pun bakal dibangkitkan demi tercapainya high viewers dan economil profits.
[iklan]
Novel Bumi Manusia dan Rekayasa Marketing
Selanjutnya secara fokus, mari membicarakan buku novel Bumi Manusia dan kabar yang akhir-akhir ini viral, terkait dengan kembali diangkatnya novel tersebut menjadi film oleh Falcon Pictures! Meski sebenarnya kabar pemfilman novel itu sudah tersiar sejak enam tahun lalu, tetapi rupanya baru-baru ini yang paling ramai. Baik jagad kesusastraan atau para pengagum artis pemainnya. Sebagaimana publik sastra ketahui bahwa novel Bumi Manusia adalah salah satu novel legendaris dan fenomenal dari seorang tokoh sastrawan terkemuka tanah air, Pramoedya Ananta Toer (6 Pebruari 1925 – 30 April 2006), bahkan dikabarkan tetralogi novel tersebut pernah mengantarkan penulisnya beberapa kali menjadi kandidat penerima penghargaan Nobel Sastra. Perjalanan panjang proses kreatif Pram dan buku-bukunya melalui pelarangan/pembredelan masa kolonial sampai menerima banyak penghargaan dan penerjemahan ke dalam puluhan bahasa, setidaknya tetap menjadi cerita “keramat” mengenai penokohan sosoknya sebagai sastrawan terdepan Indonesia.
Hampir belum ada satu pun tokoh sastra Indonesia yang proses berkarya dan pencapainya melampaui Pramoedya Ananta Toer. Kisah tragis dan dramatis yang berlangsung selama hidup dalam pemenjaraan Orde Baru atas tuduhan terlibat G30S sampai ke kandidat penghargaan Nobel Sastra yang hampir diterimanya tahun 2005, menjadi semacam keagungan dan menambah angker karya-karyanya. Tentu saja, hanya orang yang tidak memahami bahwa kesakralan sebuah karya itu harus dicapai melalui proses dan keterlibatan penulisnya dengan kisah yang dikarangnya sehingga keutuhan karya tersebut tidak hanya menjadi penting ketika sudah sempurna menjadi novel, tetapi juga bisa menjadi mitos atas berbagai perjalanan melawan perkembangan zamannya sebagai mahakarya yang tetap utuh dengan status, citra, dan aura dokumen historisnya.
Setidaknya, itulah alasan mendasar mengapa pemfilman novel Bumi Manusia menjadi kontroversial di kalangan sastrawan dan budayawan Indonesia, terutama para pengagum karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Karya-karya Pram yang dibuat berdasarkan catatan sejarah, statistik, riset detail, dan kompleks tentu tidak sebanding dengan versi film yang analisisnya sudah dipastikan serba dangkal, baik melihat akurasi waktu, alur cerita, maupun penyajiannya. Setidaknya dari pengalaman-pengalaman projek ekranisasi novel tersebut sebelumnya sudah dapat dilihat kegagalannya, sejak Garin Nugroho tahun 2004, Riri Reza melalui produksi Miles Films 2012 sampai ke Anggy Umbara 2015 selalu menemukan halangan terkait dana dan setting yang memungkinkan film tersebut hadir secara maksimum.
Tentu saja, kegagalan tersebut mempertimbangkan munculnya kekecewaan dan protes keras manakala kehadiran film tidak searah dengan esensi novelnya. Dan setidaknya, Hanung Bramantyo selaku sutradara juga menyadari hal tersebut, juga kontroversi yang sedang berlangsung atas kembali diangkatnya novel Bumi Manusia ke dalam bentuk film oleh dirinya. Pengalamannya datang langsung menemui Pramoedya semasa hidup demi memohon izin membuat versi film Bumi Manusia yang tidak direspon menjadi salah satu gambaran penolakan sang novelis terhadap niat baiknya ini. Tentu saja, kengototan Hanung juga perlu disikapi optimis sebagai salah satu cara mengenalkan karya agung tersebut ke publik penonton/penikmat film, namun juga patut dicurigai sebagai rekayasa manipulatif demi memungut economical profits atas diangkatnya Iqbaal Ramadhan, seorang artis muda yang dikenal melalui sosok Dilan dalam film Dilan 1990 sebagai pemeran utamanya, hanya untuk memenuhi hasrat laku jual, nafsu komersil.
Kita menyadari bersama bahwa tidak lama sebelum ini peran Iqbaal sebagai Dilan benar-benar menguntungkan produksi film dengan pencapaian statistik sekitar tujuh juta penonton. Pilihan Hanung sebagai sutradara jatuh ke Iqbaal untuk menjadi pemeran utama, tentu saja tidak murni sesuai dengan penyampaiannya dalam jumpa pers (25/5). Menurutnya, Iqbaal layak memerankan sosok Minke karena sama-sama millenial, padahal kenyataannya waktu dan ruang mereka hidup berbeda satu sama lain. Memang waktu berjalan secara dinamis, tetapi karakter sangat menentukan. Iqbaal adalah anak mantan boyband Coboy Junior yang impresinya lekat dengan anak ABG romantisme, apalagi sejak pamor dengan sosok Dilannya menjadi pujaan banyak kaum cewek alay-lebay. Sementara Minke sosok anak sekolah HBS bernasab keluarga Ningrat Jawa abad ke-20 di masa kolonial Hindia Belanda yang berkarakter progres, intelek, idealis, dan dewasa. Meski, karakter dalam film bisa dibuat-buat sesuai sensasi dan ekspektasi dengan estimasi sama antara keduanya, tetapi bukankah dengan rekayasa tersebut malah menghapus esensi karya dan menodai kebenarannya dengan tidak menghargai tujuan penulisnya sebagai referensi sejarah dan dokumentasi?
Mengaitkan konteks kehidupan remaja kolonial dengan generasi millenial dalam segala aspeknya, adalah sesuatu yang naif. Realitas sosial yang membentuk karakter keduanya pun sangat berbeda. Sudah jelas bahwa spirit lahirnya tetralogi Bumi Manusia bermuasal pada citra simbolis sosok jurnalis kritis R.M. Tirto Adi Soerjo pendiri Medan Priyayi 1907, yang berkarakter tegas, keras, dan teguh pendiriannya diabadikan Pramoedya secara tersirat dalam karakter Minke. Itu adalah esensi utama novel tersebut, yakni berisi penyemaian, perjuangan, pergerakan nasiolisme dan bangsanya. Dan tentu, sangat dikotomis dengan pernyataan Hanung Bramantyo dalam wawancaranya bersama CNNIndonesia.com (25/5) bahwa novel tersebut hanya novel percintaan biasa, sangat remaja, sangat ABG, hubungan biasa tentang anak muda yang lagi galau dengan dunianya, bahkan secara terang-terangan memperbandingkannya dengan novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang hanya berkisah lakon rumah tangga yang sakinah, mawadah-warahmah.Menurutnya, masih lebih berat novel spirit romantis AAC dibanding Bumi Manusia yang pernah dicekal Kejaksaan Agung 1981 lantaran diduga mempropagandakan ajaran-ajaran marxisme-leninisme dan komunisme.
Anda bisa membayangkan sendiri sudut pandang seperti apa yang digunakan Hanung melihat karya Bumi Manusia dan merendahkannya demi hasrat filmisasi. Atau Anda bisa mempertanyakan: bagaimana mungkin Bumi Manusia sampai dilarang cetak dan membuat pengarangnya ditahan dan diasingkan rezim Orde Baru jika itu hanya novel percintaan biasa yang cuma membuat pembacanya baper-an? Bukankah hanya karya penting dan besar yang menyimpan musibah bagi kolonialisme sehingga dianggap membahayakan dan direpresi pemerintahan kala itu? Tentu saja, kaum budayawan dan pemikir lebih memahami status Bumi Manusia sebagai karya agung daripada sekadar film maker yang ambisius memungut profit melalui sosok Iqbaal untuk mendekati generasi millenial. Cara pandang Hanung demikian manipulatif dan politis. Alasan apa pun bisa sutradara lontarkan demi mencapai niat komersilnya.
Selain itu, beberapa ketidaksetaraan Minke dan Iqbaal juga mencolok dari segi fisik/selira. Minke sendiri berasal dari lontaran simbolis monkey orang Belanda terhadap sosok jeleknya sebagai anak pribumi sehingga kapasitasnya tidak sesuai dengan Iqbaal yang rupawan, manis, cakep, dan ganteng. Hanya sebuah kebetulan mereka (baca: Minke & Iqbaal) seumuran, dan itu menjadi modal Hanung mengelabuhi banyak pendapat, termasuk kelayakan Reza Rahadian sebagai sosok yang lebih pantas memerankan Minke, karena sebelumnya sudah pernah memestaskan pertunjukan Bunga Penutup Abad secara terbatas hasil adaptasi kedua buku Pramoedya, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Seperti apa pun penolakan dan ketidaksetujuan warganet dan para pengagum karya Pramoedya Ananta Toer atas diangkatnya Bumi Manusia menjadi film, tidak akan sebanding dengan animo para penggarap film tersebut yang telah mempersiapkan matang-matang dan sudah menjalin kontrak projek dengan pihak keluarga Pramoedya sehingga lagi-lagi sebagai manusia berjiwa kritis siapa pun Anda akan dikembalikan kepada karakter pembodohan bangsa melalui pendidikan alam bawah sadar. Sudah ambil pelajaran dan hikmahnya saja, toh setiap musibah pasti ada balasannya. Sekalipun hidup selalu ditindas dari atas dan diperlakukan semau mereka yang punya modal. Maka, dari sana kita akan menyaksikan sebuah panorama luas terbentang lebar dari Sabang hingga Merauke, tentang generasi yang punya lidah panjang dengan nalar otaknya yang pendek.
Respons Bloon dan Romatisme Kisah Cinta
Rupanya dari trending topic yang lagi marak tersebut, juga ada perbincangan menarik soal para pengagum sosok Iqbaal/Dilan. Tidak hanya menyoal kontroversi di atas, tetapi juga kehebohan fans sang artis yang mempertanyaan buku novel Bumi Manusia dan siapa Pramoedya Ananta Toer. Seiring dengan pengumuman pemeran film novel tersebut, judul buku Bumi Manusia dan nama penulisnya pun viral dipertanyaan. Sebagian yang mabuk Dilan, bahkan berkomentar domot dengan otak telurnya mengenai siapa Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya, sudah sangat beruntung diangkat menjadi film, apalagi diperanin oleh Iqbaal. Sebagian lain, menyebut nama Pramoedya Ananta Toer adalah nama lembaga bisnis travelling sehingga Bumi Manusia dan Pramoedya Ananta Toer yang sudah menjadi bagian sejarah panjang sastra Indonesia, di hadapan mereka laksana meme baru yang berkembang viral.
Pemandangan yang cukup ironis dan tragis melihat kenyataan generasi bangsa lebih mengenal anak kemarin sore daripada orang yang sudah makan-minum asam garam kehidupan. Maklum, generasi mutakhir kita ini adalah generasi media dan digital, di mana segala pola hidup dan pergaulannya berasal dan berakhir di akun sosial. Jadi hanya bisa diberi pemakluman jika Bumi Manusia tak mereka kenal karena Pramoedya memang bukan selebgram, bukan pula penulis kids jaman now. Pramoedya Ananta Toer adalah penulis yang tidak kesampaian memegang smartphone, mirrorless, dan smartwatch karena hidup berdampingan dengan kebangkitan negerinya, bukan semata penikmat apa-apa yang sudah ada, bukan pemuja merk, brand, dan styles. Pramoedya Ananta Toer adalah pelaku sejarah bukan konsumen barang-barang modis, glamor, dan komersil.
Kalau kehidupan sehari-hari selesai dari membuka layar ponsel ke menutup chating, maka suatu kewajaran pengetahuan dan pengalaman Anda hanya bersumber dari gosip dan isu yang berkembang. Selain itu, posisi guru Bahasa Indonesia yang tidak pernah mengenalkan karya-karya terbaik ketika Anda menjejakkan kaki di sekolah selama dua belas tahun hingga kuliah, juga problem mendasar mengapa sedemikian bloon otak dan pikiran generasinya. Mungkin, karena institusi pendidikan dan sosial kita hingga sekarang secara sistemik memang membentuk sedemikian rupa. Mungkin juga, sebagian besar dari mereka (baca: pihak institusi) tidak tahu dan tidak paham soal karya sehingga yang memenuhi rak-rak perpustakaan sekolah dan kampus hanya buku-buku pasaran, picisan dan kacangan, paling getol bersampul best seller. Seolah tradisi pembudayaan baca kita tidak memberi sinyal baik mengenai kesusastraan senyatanya sehingga terjadi semacam blokade pengetahuan dan pengalaman. Selebihnya, kebiasaan hidup sudah tidak menjamin mereka bergaul mahir dan sportif dengan teknologi. Tentu saja, sangat elusif dalam melahirkan kecerdasan dan kepekaan dalam menganalisis aktualitas irformasi dan berita secara absah. Mudah terjebak hoax, viral, dan senang meniru-niru dan ikut-ikutan (baca: membeo). Sikap latah yang membentuk kepribadian tidak pernah mandiri dan mau mencari tahu, mudah menduga-duga dan bertindak, tetapi tidak ingin bertanggung jawab atas segala konsekuensi.
Teknologi yang mereka genggam tidak mempunyai fungsi bersamaan dengan modal dan strategi mereka yang lemah dalam memobilisasi kerja media sosial dan digitalisasi, sehingga selera dan rasa menjadi potensi problematik yang sering muncul seiring pergaulan mereka dengan akun sosial. Bila tidak sesuai dengan cita rasa dan kehendak, mereka tak segan-segan menghujat dan mencela. Jika selaras dengan gairah, mereka akan tampil sebagai pemuja dan pendukung utama.
Setidaknya, nanti ketika Bumi Manusia sudah rilis menjadi film, sedikit-banyak mereka dan kaum pemuja/fans Dilan juga akan tampak menuai kekecewaan jika “ternyata” sang pujaan (baca: Iqbaal) tidak sedahsyat akting Dilan dalam film Dilan 1990. Penungguan mereka terhadap peran Iqbaal atas dasar ucapan-ucapannya yang romatis, masih menjadi tanda tanya besar, akankah kembali ada ungkapan-ungkapan lebay, seperti
“Rindu itu berat, kamu takkan kuat, biar aku saja.”
Sebuah kalimat Dilan yang sangat viral, membuat jagad media ke-baper-an dan para pelakunya mabuk dan kesurupan sehingga mereka sangat akrab dengan Iqbaal sebagai Dilan, tetap memungkinkan sinyal otomatis dalam diri mereka kembali bekerja sembari menanti layar lebar kembali terbentang ke hadapan mereka menyajikan karakter Iqbaal yang baru sebagai Minke. Dengan standar, jika perannya melampaui Dilan sebelumnya, mereka bakal puas. Dan sebaliknya, kalau aktingnya “menurut mereka” kalah, maka hanya akan ada kekecewaan. Mereka tidak akan sadar dan menyadari, tentang novel Dilan 1990 dan Bumi Manusia yang sangat berbeda jauh. Novel Dilan 1990 adalah novel bergenre pop dan picisan tentang hubungan percintaan remaja secara umum, sedangkan Bumi Manusia identik karya sastrawi (baca: sastra serius) mengenai spirit nasionalisme pemuda.
Ketidakpuasan tersebut tidak hanya berimbas kekecewaan, tetapi juga bisa berpotensi menyalahkan Bumi Manusia dan Pramoedya Ananta Toer, lantaran saat difilmkan tidak seseru Dilan 1990. Hubungan asmara dan percintaan romantis Dilan dan Amelia yang alay-lebay, sungguh tidak akan sebanding berbayar dengan kisah Minke dan Annelis Malema. Meski, keduanya bermuara dari cinta, tetap dalam karakter sosial yang berbeda. Jikan Dilan bersandar pada hubungan asmara millenial, maka Minke berdasar perjuangan ketidakadilan kolonial. Lantas, siapa yang patut disalahkan? Tentu saja, mereka yang tidak tahu-menahu, tetapi sok tahu.
Ragam Spekulasi Penonton dan Pembaca Novel
Berbagai gejolak tersebut, khususnya atas dipilihnya Iqbaal sebagai pemeran utama film Bumi Manusia, akhirnya akan melahirkan ragam spekulasi di antara pembaca dan penonton. Penonton yang memang mengejar film karena kecanduan sang pemeran Minke, penonton yang ingin melihat film sebab sudah membaca bukunya dan penonton yang mencari buku karena menonton filmnya. Model pertama, adalah orang-orang yang tidak peduli terhadap novel Bumi Manusia seperti apa pun itu meski kehadiran mereka mendominasi kedua model penonton berikutnya dan dampaknya lebih gempar. Dengan kata lain, merekalah kaum hura-hara tak punya barometer selain menyolak dan mencecar tanpa kapabilitas. Alih-alih statusnya masa bodoh ketika film sudah selesai ditonton. Jika pun ada yang penasaran, model penonton kuriositas semacam ini masuk ke nomor tiga.
Penonton model ketiga lebih moderat. Film benar-benar membuat posisinya sebagai yang tidak tahu menjadi energik untuk membaca novel Bumi Manusia dalam bentuk utuh, lalu memperbandingkan dan mengkritisinya dengan penuh bijak. Sementara model kedua, adalah mereka yang sudah membaca novelnya jauh sebelum difilmkan, bisa dikatakan pengagum atau pengidola penulis. Jumlah mereka sedikit, tetapi alasan dan rasionalitas argumen mereka, baik yang menolak maupun yang menerima optimis, lebih mampu dipertanggungjawabkan secara formal dan akademis daripada mereka yang berkomentar berdasarkan animo rendah. Termasuk sebagian banyak yang sudah menolak adaptasi novel ini. Karena mereka sendiri sudah memahami Bumi Manusia, baik secara teks sebagai karya literatur agung, secara riset ilmiah, dokumen peradaban, dan sejarah maupun secara konteks yang berisi ideologi nasiolisme secara umum, feodealisme Jawa secara khusus. Apalagi ketika sutradara Hanung Bramantyo, memparbandingkan dengan novel Ayat-Ayat Cinta. Sungguh, klaim cita rasa yang rendah! Hanya pembaca kritis yang mampu memasuki Bumi Manusia sebagai disiplin mahakarya karya klasik bangkitnya nasionalisme tak sebanding roman pop dan percintaan islami rumah tangga.
Sebagaimana sudah diulas panjang lebar di awal, sikap dan pandangan akan menentukan posisi dan kemampuan literasi Anda dalam memberikan perspektif. Sebab ini adalah novel yang diadaptasi menjadi film dan bukan film yang dijadikan buku. Tidak salah kaprah penilaian bertumpu karena hanya melihat satu titik terang layar lebar dan tidak sadar diri sebab melupakan kepentingan tertentu di balik produksinya. Dari novel Buku Manusia, Anda akan diajari bersikap kritis, idealis, nasiolias untuk melampaui material benefits, tetapi dari film, Anda akan dituntun dan diarahkan ke sebatas merek, bisnis ikon, trend pasar, profit results, dan kepemilikan properti. Bumi Manusia adalah sebuah esensi, eksistensi, kualitas, dan karakter. Sementara film adalah sebuah market products, temporary ads, dan material advertising. Tentu semua tidak bisa dielak, saat komoditas bertahta di atas segala interest dan kebutuhan konsumen, modal dan pasar menjadi jawaban segala kehidupan publik. Pelan-pelan kita pun kembali ke habitat dan tabiat bangsa yang lapang dada dan pemaaf. Sebagaimana tersirat dalam pernyataan putri kandung Pramoedya Ananta Toer – Astuti Ananta Toer – dalam pers, “Saya berharap, mungkin juga Pram, setelah menonton film ini, penonton akan diberikan kekuatan agar lebih berani, mencintai keadilan dan kebenaran, berpihak kepada yang benar, berpihak kepada yang adil, dan mencintai keindahan.” (al/rfh)
Jakarta, 01 Juni 2018
Biodata Penulis
A’yat Khalili, lahir di Kota Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur. Karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, esai, artikel, dan ulasan tersebar di berbagai media lokal, nasional, dan internasional. Telah banyak mendapat penghargaan dan terbit lebih dari 80 buku.Penghargaan-penghargaan yang pernah diterimanya, antara lain menerima penghargaan sastra Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional (PBDepdiknas, Jakarta, 2006) dalam rangka Bulan Bahasa & Sastra 2006, sekaligus Hari Sumpah Pemuda ke-78 pada November 2006; Finalis Lomba Cipta Puisi Tingkat Umum Nasional 2012, yang diadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan NulisBuku.Com & Plot Point, Jakarta, Desember 2012; menerima Anugerah Piala Terbaik Kampanye Sastra Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Mei 2014; menerima Penghargaan Asia Tenggara dalam Anugerah Sastra Dunia Nusantara Melayu Raya (NUMERA-Malaysia) dari Persatuan Numera Malaysia pada Maret 2014; memperoleh penghargaan Festival Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM) pada Juni 2015. Ia pernah diundang mengikuti Temu Sastrawan Nusantara Melayu Raya (TSN) ke-1 (di Padang, Sumatera Barat, Maret 2012); Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) ke-6 (di Jambi, Desember 2012);Sempena Mahrajan Persuratan dan Kesenian Islam Nusantara (di Sabah, Malaysia, Januari 2012); Pemerhati Pertemuan Baca Puisi Dunia Numera (di Kuala Lumpur, Malaysia, 21 – 24 Maret 2014), dan Pertemuan Sastera Budaya Negara Serumpun (Singapura, 30 Januari – 06 Februari 2016).