Belajar Berhitung Melalui Congklak
“Ah, aku harus membagi tabunganku sekarang ni! Tak apalah,berbagi itu tidak akan mengurangi hartaku. Pasti nanti aku juga akan mendapatkan banyak simpanan lagi”
Begitulah, celetukan anak-anak ketika bermain congklak. Loh, kok congklak? Bukankah celetukan tadi menyiratkan tentang berbagi, tabungan, simpanan? Betul, tapi tak selamanya celetukan diatas diartikan dalam arti sesungguhnya.
Tak dipungkiri lagi, siapapun pasti menyenangi permainan terutama anak-anak. Permainan merupakan hal yang mengitari dan melekat pada anak-anak kita. Sesuatu yang membuat imajinasi kita melayang dan berkembang. Permainan merupakan sesuatu yang membuat badan kita bergerak, tak hanya imajinasi yang melayang. Daya pikir dan daya cipta pun ikut berkembang dengan permainan. Tak hanya itu, proses sosialisasi, pembentukan karakter dan proses saintifik pun diikutsertakan terlibat dalam permainan. Itu idealnya sebuah permainan.
Namun, sudah jadi rahasia umum bahwa anak-anak era tahun 2000an sudah terjangkit permainan : video games, playstation, tayangan televisi dan sejenisnya. Permainan ini minim aktivitas gerak, motorik kasar. Cenderung membuat anak betah berlama-lama di depan layar, tak beranjak dari tempat duduk. Mata pun hanya fokus pada layar sehingga menimbulkan efek derivative negative lainnya. Tak hanya itu, proses sosialisasi, pembentukan karakter dan proses saintifik pun terhambat.
Ketika layar kaca lebih menarik bagi anak-anak, apadaya orangtua harus segera bertindak sebelum anak-anak terlanjur menjauh dari apa yang seharusnya dikembangkan.
Terkait permainan congklak pada awal paragraph, yang mungkin kian menurun diminati, banyak hal bisa diambil manfaat dari permainan ini. Congklak merupakan permainan yang tidak terlalu menyita energi dan gerak. Artinya bahwa congklak hampir sama dengan Play station yang dimainkan berdua, tanpa banyak aktivitas fisik. Namun, bila kita cermati maka banyak nilai social dan emosional anak yang bisa dipelajari pada permainan ini.
Permainan congklak ini identik dengan mengumpulkan banyak biji congklak agar kita menang. Kadangkala dalam permainan congklak, kita sudah mengumpulkan banyak biji congklak pada satu lubang, tapi akhirnya ada momen kita harus membagi biji-biji congklak yang sudah kita kumpulkan. Disinilah perkembangan sosial emosional anak kita optimalkan.
Ajak anak untuk belajar ikhlas membagi hartanya berupa biji congklak, ajak anak untuk berbagi dari hasil simpanan biji congklaknya. Dan pahamkan kepada anak ketika kita berbagi, sebenarnya itu adalah simpanan untuk kebaikan kita sendiri, karena kita pun akan mendapat kiriman biji congklak dari teman main kita.
Tak perlu marah-marah ketika biji congklak kita bagi, kita pun harus memupuk kesabaran untuk mengumpulkan biji congklak kita lagi. Selama permainan congklak berlangsung, damping anak-anak kita agar mengerti makna berbagi dan bersabar dalam mengumpulkan harta, berbagi itu tak akan mengurangi harta kita.
Simple Things To Do
- Sebelum bermain congklak, ajak anak untuk membilang biji congklak terlebih dahulu
- Kenalkan pula lambang bilangan sesuai jumlah biji congklaknya
- Bermainlah dengan santai dan penuh keceriaan
- Perhatikan waktu ketika bermain bersama anak, lebih baik jangan terlalu lama ya agar anak mengetahui manajemen waktu
- Ketika mood anak sudah tidak baik, maka hentikan permainan
“Maklumi dunia (kebutuhan) anak kecil.” (HR. Bukhari no. 5190, 5236 dan Muslim no. 892). Sebuah kalimat yang sungguh memahami dunia dan karakter anak. Anak dengan segala karakter khasnya mempunyai kebutuhan-kebutuhan seperti bergerak, rasa ingin tahu yang tinggi, bereksplorasi untuk memahami suatu hal. Oleh sebab itu, hargailah dunia anak, hargailah keberadaan mereka dengan memberikan ruang eksplorasi agar menemukan potensinya.
Nur Fitri Agustin (Umi Fitri), merupakan anggota FLP Cirebon. Si bungsu dari lima bersaudara yang berprofesi sebagai guru TK, merupakan istri dari Kariri, serta ibu dari Jelita (kelahiran 2009) dan Fikri (kelahiran 2011). Bi’idznillah, sudah merilis buku solo parenting, beberapa antologi fiksi maupun nonfiksi serta artikel parenting. Penulis masih belajar dan terus belajar menulis agar makin berkualitas.