Setiap pagi, laba-laba memastikan sarangnya kuat untuk menjerat mangsa. Jika ada lubang, dia langsung menambalnya. Laba-laba khawatir musim hujan datang menghancurkan sarangnya. Sedangkan hari-hari sebelumnya tak ada persediaan makanan. Jadi hari ini dia sibuk membuat sarang sebanyak mungkin.
Laba-laba berjalan mengelilingi pohon, mencari tempat yang pas untuk membuat sarang. Dia menyadari di satu pohon bukan hanya dia yang menempati, melainkan juga semut dan ulat. Sarang semut menjalar dari bawah sampai atas pohon, sedangkan sarang ulat berada dalam dedaunan rindang.
Laba-laba biasa menunggu di sarang selama berjam-jam, dia akan membuat dirinya lebih peka. Sambil menunggu serangga yang terjebak, laba-laba merasakan angin yang berembus perlahan, bulu-bulu tipis yang di badannya dapat merasakan hal itu. Menebak-nebak, kiranya sarang mana yang lebih dulu mendapatkan mangsa.
Satu benang bergetar, dia lekas mengikuti getaran itu. Merambat ke atas pohon, mengintip siapa yang terjebak. Seekor semut seperti sedang kejang-kejang, berusaha untuk bebas. Dari belakang, laba-laba menyambar semut, menggigit semut dengan taringnya sambil mengeluarkan bisa mematikan dan menghancurkan mangsanya. Para semut lain yang melihat hal itu lekas pergi, mengubah arah jalannya.
Berjam-jam laba-laba mengisap semut, menyisakan bangkai semut yang mengering. Perut laba-laba membesar, buncit seperti sedang hamil. Kemudian dia lekas membungkus bangkai semut dengan jaringnya, menjahit dengan riang gembira. Dengan makanan kali ini, dia mampu berpuasa kembali. Namun tetap saja, dia harus punya persediaan makanan untuk musim hujan yang akan datang.
Laba-laba kembali membenahi sarang-sarangnya. Dilihatnya ulat-ulat memakan dedaunan dengan lahap, seolah tidak ada jeda mengunyah. Laba-laba mengamati mereka dengan tatapan pemangsa.
“Jika mereka sudah menjadi kupu-kupu, lalu terjebak di sarangku, aku pasti kenyang sekali. Lihat, mereka besar dan gendut. Nanti aku akan membungkus mereka dengan cantik. Bungkus yang cantik untuk kupu-kupu yang cantik.”
***
Para semut berkerumun setelah mengumpulkan banyak makanan di lubang penyimpanan. Beberapa hari ke depan mereka harus terus mencari makanan, baru kemudian menikmatinya saat hujan mulai turun.
“Kali ini kita mengubah arah jalan. Dari bagian batang berlumut, berbelok ke kanan, kemudian lurus, ikuti jalan seperti biasanya. Jangan ada yang ke luar dari barisan,” ucap pemimpin barisan semut dengan lantang.
“Kamu sudah dengar semut yang mati itu? Aku membantunya untuk lepas dari jaring laba-laba,” ucap Semut Kecil pada temannya, Semut Besar.
“Kudengar para semut yang lain juga membantunya,” sahut Semut Besar.
“Aku salah satu di antara mereka. Kamu tahu? Betapa sulitnya bebas dari jaring laba-laba. Tadi sewaktu membantu, kakiku sempat terjerat, tapi aku berhasil bebas.”
“Benarkah?”
“Iya, jaringnya selengket air, susah sekali untuk bebas. Kupikir jaring laba-laba mengandung racun yang mematikan, jadi berulang kali aku meludahi kakiku, untungnya tidak terjadi apa-apa.”
“Kamu pasti bohong. Aku dengar sarang laba-laba tidak lengket, tapi berduri. Oleh karena itu semut yang mati tadi tidak bisa bebas.”
“Tapi aku bisa bebas dari jaring laba-laba.”
“Hanya kakimu saja yang terjerat, bukan seluruh badan. Memang lebih baik satu yang menjadi korban. Dari pada kita kehilangan banyak teman, bisa-bisa kita mati kelaparan di musim hujan,” ucap Semut Besar acuh tak acuh. Semut Kecil mengernyit, tidak puas dengan respons temannya.
“Baik, semua sudah paham dengan arah jalan baru ini?” tanya pemimpin barisan semut dengan lantang. Para semut mengangguk, namun satu semut mengangkat tangan, hendak bertanya.
“Apa sejauh ini laba-laba itu berbahaya?” tanyanya.
“Sangat berbahaya jika salah satu dari kalian keluar dari barisan, lebih aman jika tetap bersama. Karena dengan tetap bersama kita bisa melawan laba-laba itu seperti melawan pemangsa lain,” jawab pemimpin barisan semut.
“Berapa lama lagi kita harus mengumpulkan makanan?” tanya semut lain.
“Sekitar dua sampai tiga hari lagi. Kemungkinan musim hujan yang akan datang terjadi lebih lama dari biasanya, kita harus berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk. Masih ada pertanyaan lagi?” Para semut melihat satu sama lain, tak ada yang mengangkat tangan. “Baik, jika tidak ada, selamat beristirahat,” lanjut pemimpin barisan semut.
***
Sinar matahari muncul seperti bara api yang membesar. Pepohonan basah karena hawa malam yang lembab dan dingin, menyisakan embun-embun. Embun-embun bergantungan di sarang laba-laba, juga di ujung dedaunan. Para ulat terbangun, lanjut memakan daun-daun, menggeliat sambil mengunyah.
“Lihat si Ulat Cantik, dari kemarin dia sibuk membuat kepompong. Sekarang kepompongnya sudah jadi, dia pasti sedang berproses menjadi kupu-kupu,” ucap Ulat Gendut sambil melihat kepompong yang menggantung di bawah daun. Ulat lain sedang sibuk membuat kepompong, hanya dia sendiri yang sedang sibuk memakan daun.
Ulat Gendut berjalan dengan hati-hati, berusaha tidak terkena butiran embun yang mungkin akan membuatnya terjatuh, berjalan menuju ujung daun segar.
“Siapa itu?” tanyanya sambil menyipitkan mata. “Aneh, sepertinya aku melihat sesuatu. Kenapa semua terlihat buram?” dia kembali menyipitkan mata. Melihat batang pohon dengan seksama, ada sesuatu yang bergerak. “Dia bergerak. Ke mana arahnya?” Ulat Gendut menunggu gerakan makhluk yang dilihatnya, tapi tak kunjung ada gerakan lagi. “Mungkin sudah hilang,” lanjutnya.
Laba-laba berjalan mengitari pohon, melihat ulat-ulat yang mulai membungkus diri. Mata laba-laba berbinar bagai bintang-bintang yang menghiasi langit. “Nanti, aku akan membungkusnya seperti itu,” gumamnya sambil melanjutkan langkah, berjalan ke atas pohon.
Laba-laba mengecek jaring yang berada di atas, dari tadi jaring itu bergerak, seperti ada mangsa yang hendak melepaskan diri. Seperti biasa, laba-laba berjalan dari belakang mangsanya. Dua semut terjerat di jaringnya, berusaha bebas.
“Sudah aku bilang kan. Jaring ini sangat lengket,” ucap Semut Kecil pada Semut Besar.
“Jaring ini lebih lengket dari pada air. Bagaimana cara keluar dari sini?” tanya Semut Besar sambil menggerakkan badan.
“Benar-kan? Jaring ini lengket, bukan berduri. Caranya, ludahi saja badanmu, kemudian gerakkan secepat mungkin. Seperti ini, Semut Besar.”
Laba-laba menyeringai, melihat Semut Besar dengan tatapan yang menyeramkan. Semut Kecil segera meludahi badannya, menggerakkan badannya dengan cepat, sampai berhasil bebas dari jaring laba-laba. Semut Kecil lari secepat mungkin, melewati batang berlumut, mencari jalur barisan para semut. Namun dia tak kunjung menemukannya.
“Toloooong…”
Semut Kecil menghentikan langkahnya, dia lekas mencari asal suara itu. Dilihatnya Ulat Gendut bergelantungan di sarang laba-laba, sebagian jaring menutupi badan gendutnya. Semut Kecil melihat sekitar, memastikan laba-laba tidak sedang memperhatikannya. Seketika dia lupa dengan tujuan sebelumnya. Perlahan dia mendekati ulat, berbisik.
“Psss, diam. Atau nanti laba-laba akan memakanmu,” ucap Semut Kecil. Ulat Gendut terdiam, menahan tangisan.
“Bagaimana bisa kamu ada di sini?” tanya Semut Kecil sambil meludahi badan Ulat Gendut, mengingatkannya pada Semut Besar yang tak sempat diselamatkannya.
“Aku terjatuh dari atas,” ucapnya sambil mendongak. Kali ini rasa takutnya mereda, ada harapan baginya berlanjut menjadi kupu-kupu.
“Sekarang, gerakkan badanmu,” ucap Semut Kecil sambil memperhatikan sekitar. Matanya menyipit, melihat sesuatu sedang mendekat. Ulat Gendut menggerakkan badan, berhasil bebas dari sarang laba-laba.
“Semut Kecil!” Panggil pemimpin barisan semut. “Tidak kusangka kamu menemukan makanan yang besar. Dengan begini, besok kita tak usah mencari makanan. Tunggu apa lagi? Ayo, kita serang dia!” lanjutnya. Semut-semut lain yang berada di belakang pemimpin barisan semut langsung menyerbu Ulat Gendut. Menggigit dan mencabik ulat tanpa ampun, memotongnya sampai kecil-kecil. Ulat Gendut sempat melawan, namun dia tak bisa melawan rasa sakit. Tubuh gendut membuatnya susah berlari.
Semut Kecil melihat semut-semut lain menyerbu Ulat Gendut seperti laba-laba yang sedang membungkus mangsa dengan jaring. Capit para semut mirip seperti taring laba-laba yang membuat si mangsa lumpuh. Dia melihat sekeliling, seekor laba-laba yang hendak mendekat, tiba-tiba menjauh karena melihat sekelompok semut dengan buas menyantap ulat. Laba-laba duduk di sarang lainnya, menunggu para kepompong berubah menjadi kupu-kupu.
Tulungagung, Januari 2021
Nuraisah Maulida Adnani lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Saat ini bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
kak ceritanya bagus, saya seneng. ehh ngomong-ngomong kk yang ngajar PPB kan di Sayang Ibu?. salam kenal kak