Kerajaan Pajajaran, berkedudukan di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa. Pencetus nama Mandirancan adalah Siung Wanara. Nama Mandirancan sendiri berasal dari Jawa yang bermakna merancang kepastian hidupnya.

Seorang sesepuh masyarakat Mandirancan, Nasirun mengatakan cikal bakal Mandirancan berasal dari Siung Wanara, Raja Pajajaran yang berada di tanah Sunda, Jabar. Dan Jaka Sesuruh, Raja Majapahit yang berada di tanah Jawa, Jateng dan Jatim.

Terjadi peperangan antara Siung Wanara dan Jaka Sesuruh. Jaka Sesuruh datang untuk membunuh. Siung Wanara yang mengetahui rencana dari Jaka Sesuruh, melarikan diri dengan cara berjalan di daratan, namun takut tertangkap. Karena itu ia memutuskan untuk menceburkan diri ke laut yang sekarang dikenal dengan Pantai Ayah.

Jaka Sesuruh tetap menunggu Siung Wanara di tepi laut. Setelah menunggu cukup lama, Siung Wanara tak kunjung muncul di permukaan air, Jaka Sesuruh menganggap Siung Wanara sudah mati. Padahal Siung Wanara memang bisa bernafas di dalam air. Setelah dirasa cukup aman Siung Wanara keluar dari permukaan air dan beristirahat di bawah pohon dara yang bentuk daunnya seperti payung. Itulah yang disebut Pantai Widara Payung yang sekarang dijadikan nama desa juga.

Lepas dari ancaman Jaka Sesuruh, Siung Wanara melanjutkan perjalanan dari hari ke hari, kemudian berhenti di suatu tempat untuk mencari kehidupan yang saat ini tempat itu dikenal dengan nama desa Sida Urip.

Siung Wanara terus melanjutkan perjalanan ke arah timur, yang mana menyinggahi suatu tempat dan diberi nama Kauripan yang dimaksud dengan kehidupan, namun sekarang nama desa itu lebih dikenal dengan nama Kesugihan.

Kemudian Siung Wanara tetap melanjutkan perjalanan lagi ke arah timur sampai di tempat di mana ia mencari tujuannya. Yaitu rancangan yang ia rancang selama ini yang ia cari setelah insiden hampir mati. Tempat itu diberi nama Gambarsari, yang artinya sari-sari kehidupan.

Siung Wanara mulai bingung dan termenung, ke mana lagi ia harus berjalan. Sampai akhirnya dia menemukan tempat yang sangat subur yaitu Losari, diambil dari kata “Loh” yang artinya subur.

Lalu berjalan lagi ke arah timur, sampainya di suatu desa yang mana warganya tau bahwa yang datang adalah Raja, sehingga mereka memperlakukan Siung Wanara layaknya Raja. Desa itu yaitu desa Tumiyang.

Siung Wanara beristirahat lagi di suatu tempat, di tempat itu dia merancang kepastian hidupnya dan tempat itu dinamakan Mandirancang, yang sekarang disebut dengan Mandirancan.

Setelah dirasa cukup beristirahat di Mandirancan, Siung Wanara melanjutkan perjalanan melewati lorong yang agak gelap ternyata kebun bambu yang sejuk hawanya yang kemudian tempat itu diberi nama Papringan.

Siung Wanara pun melanjutkan perjalanan selanjutnya, namun di tengah perjalanan ia merasa lelah sangat lelah. Sehingga ia tertidur dan tidurnya berbantalkan batu. Maka dari itu tempatnya diberi nama Watu Kampil. Yang mana tempat itu tadinya dijadikan tempat tidur siang oleh Siung Wanara. Saat dirasa sudah tidak terlalu lelah, Siung Wanara bangun dan ingin cuci muka, saat mulai berjalan ke sungai dari kejauhan Siung Wanara melihat 2 orang yang sedang kelaparan sambil mengais dedaunan yang bisa dimakan di pinggir sungai. Tempat itu kemudian diberi nama Kalisuren, diambil dari kata kali yang artinya sungai, suren yang artinya kelaparan dalam bahasa Jawa.

Siung Wanara tetap melanjutkan perjalanan sampai di tempat Pagebogan namanya, sesampainya disana tiba-tiba apa yang sudah direncanakan/dirancang di Mandirancan menjadi ragu-ragu pikirannya dan berkecamuk. Untuk menandai keraguan, pikiran dan hati. Siung Wanara menenangkan kepala yang panas, ia pun mandi di sungai dan sungai itu diberi nama Kalisupe, diambil dari bahasa Jawa supe yang artinya lupa. Sekarang diganti dengan nama Kalisube.

Saat melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya Siung Wanara bertemu dengan perempuan bernama Nyai Putih. Siung Wanara dipersilahkan untuk singgah sementara di tempat tinggal Nyai Putih. Kemudian Nyai Putih mengundang mbah Kalibening, mbah Kaliblimbing, dan mbah Binangun untuk menemui tamu yang baru datang, yang saat ini berada di tempat Nyai Putih. Sesampainya mbah Kalibening, mbah Kaliblimbing dan mbah Binangun di tempat Nyai Putih, Siung Wanara akhirnya mengaku bahwa dirinya adalah Raja Pajajaran dan meminta agar dijaga keselamatannya dari orang-orang, jangan sampai ada yang tau kalau ia adalah Raja, karena daerah itu masih ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Majapahit. Sampai akhirnya Siung Wanara menyampaikan perintah dan memberitahu bahwa dia merasa nyaman berada di tempat mbah Kalibening. Oleh karena itu desa itu dinamakan desa Dawuhan. Siung Wanara juga mengganti namanya dengan nama Panembahan Lambakan yang artinya selamat dari ombak, sampai akhirnya Siung Wanara meninggal di Dawuhan.

Sabrina Andin Rakhmawati, saat ini sedang menempuh Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Purwokerto mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Berdomisili di Desa Mandirancan

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *