Diceritakan bahwa pada jaman dahulu kala, di kerajaan Daha (sekarang pulau Bali), hiduplah seorang brahmana yang sakti mandraguna bernama Sidi Mantra. Dia juga mempunyai istri cantik jelita dan harta benda yang banyak, hadiah dari Batara Guru. Setelah bertahun-tahun hidup berumah tangga, dia dikaruniai seorang putra  yang diberi nama Manik Angkeran.

Seiring jalannya waktu, Manik Angkeran tumbuh menjadi seorang pemuda gagah berani, tapi sayang  memiliki sebuah sifat buruk, yaitu gemar main judi. Di meja perjudian itu, dia sering mengalami kekalahan sehingga terpaksa harta kekayaan orang tuanya ia jadikan taruhan. Sehinga tanpa disadarinya, kekalahan demi kekalahan demi kekalahan menumpuk menjadi hutang yang menyebar sepanjang langkahnya. Kemana dia berjalan, di situ hutang mengepungnya. Hingga pada suatu ketika, ia lemas tak berdaya, bingung  karena tak mampu membayar hutang-hutangnya. Dan jalan satu-satunya adalah hanya mengeluh dan minta tolong pada orang tuanya.

Mendengar keluhan anaknya,  Sidi Mantra lalu berpuasa dan semedi, berdoa memohon pertolongan Dewata. Setelah sekian lama bersemedi dan berdoa, lamat-lamat dia mendengar suara gaib, “Wahai, Sidi Mantra, pergilah kamu ke kawah Gunung Agung. Di sana  ada harta karun yang dijaga seekor naga bernama Naga Besukih. Mintalah supaya dia mau memberi sedikit hartanya.”

Begitu suara gaib itu lenyap, Sidi Matra membuka mata dan segera pergi ke Gunung Agung dengan membawa sebuah genta kecil.  Setelah menghadapi segala  rintangan yang menghadang, dengan susah payah akhirnya dia tiba di tepi kawah Gunung Agung. Dia lalu duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil-manggil nama Naga Besukih.

[iklan]

Tak lama kemudian, sang Naga keluar datang dan berkata: “Hai manusia, ada keperluan apa engkau memanggil-manggil namaku. Apakah engkau menginginkan harta benda?”

“Be… benar Sang Naga. Tolonglah saya. Saya… “

Belum selesai Sidi Mantra bicara, Naga  Besukih menggeliat pergi.  Pada saat dia menggeliat itu, dari sisiknya keluarlah emas, intan dan berlian. “Ambillah, semua itu untukmu,” katanya dan lalu menghilang. Sambil mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra lalu mengumpulkan emas, intan dan berlian yang berserakan di hadapannya.

Sesampainya di rumah, semua harta benda yang didapatnya dari Naga Besukih itu ia berikan kepada Manik Angkeran dengan harapan agar anaknya tak akan berjudi lagi. Tapi kenyataan berkata lain, di tangan Manik Angkeran, harta pemberian ayahandanya kembali habis di meja judi. Hutangnya menumpuk lagi setinggi gunung. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Akan tetapi Sidi Mantra menolak, tak mau lagi membantu anakya.

Karena ayahnya tak mau lagi membantu, Manik Angkeran kemudian mencari akal gimana caranya bisa membayar hutang-hutangnya. Dia tahu bahwa ayahnya mendapatkan harta itu dari kawah Gunung Agung, dan dia juga tahu, untuk bisa sampai ke kawah Gunung Agung itu dia harus membaca mantra. Tetapi dia tidak pernah belajar membaca doa  dan mantra. Tak kurang akaI, diam-diam ia curi genta milik ayahnya ketika ayahnya sedang tidur. Dia lalu pergi ke Gunung Agung dengan membawa genta tersebut.

Sesampainya di pinggir kawah Gunung Agung, Manik Angkeran memukul  gentanya keras-keras. Mendengar suara genta tersebut, segera saja Naga Besukih keluar dari persembunyiannya. Bukan main kaget dan takutnya Manik Angkeran melihat kedatangan Naga Besukih. Dengan perasaan badan gemetaran, Manik Angkeran menyampaikan maksud kedatangannya kepada sang Naga. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Hoah… hah…hah… Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”

Tanpa pikir panjang lagi, terpesona melihat mas, intan, dan permata di hadapannya, Manik Angkeran langsung mengiyakan permintaan Naga Besukih.  Dan tiba-tiba saja karena ingin mendapat harta yang lebih banyak, muncul niat jahat dihatinya. Ketika sang Naga berputar hendak kembali ke sarangnya, secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih.

Naga Besukih kaget dan kesakitan karena ekornya dipotong oleh Manik Angkeran. Dia balik badan dan mengejar Manik Angkeran yang segera melarikan diri. Sayang tidak terkejar. Dengan menahan rasa sakit dan kemarahan yang meluap-luap, Naga Besukih menjilat bekas telapak kaki Manik Angkeran. Seketika itu juga Manik Angkeran yang  sudah jauh melarikan diri, terbakar hangus menjadi abu.

Berita kematian Manik Angkeran terdengar oleh ayahnya.  Masih dalam keadaan sedih dan berduka, Sidi Mantra mengunjungi Naga Besukih untuk meminta maaf serta memohon agar anak kesayangannnya bisa  dihidupkan kembali. Naga Besukih menyanggupi tapi dengan syarat ekornya dapat pulih kembali seperti semula. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah itu Naga Besukih menghidupkan kembali Manik Angkeran yang segera minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik-baik.

Sidi Mantra yang melihat anaknya hidup kembali dan sudah menyatakan tobat, merasa kalau tidak ada gunanya lagi hidup bersama anaknya itu. Bukan tak mungkin kelak di kemudian hari dia akan membuat masalah lagi. Maka, dengan berat hati, berkatalah dia kepada anaknya:  “Anakku, sekarang kamu telah menyadari kesalahanmu. Kamu bisa memulai hidup baru, akan tetapi kamu harus tinggal di tempat lain, tidak lagi tinggal bersama kami.”

Keanehan pun tiba-tiba terjadi.  Usai Sidi Mantra berkata, Manik Angkeran lenyap seketika, menghilang entah kemana. Di bekas tempat Manik Angkeran berdiri muncul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi sebuah laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang memisahkan dirinya air yang semakin meluap. Menurut cerita yang beredar di masyarakat Bali, sekarang ini tempat itu dikenal sebagai selat Bali yang memisahkan pulau Bali dengan pulau Jawa. (AY)

***

Dapoer Sastra Tjisaoek, Januari 2021
Cerita Rakyat Bali, diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *