Terompet Usang Tahun Baru

Pensil Kajoe

Rusman berteduh di emperan gubuk bekas warung gorengan yang ditinggal pemiliknya mengubah nasib pergi merantau menjadi pekerja sawit di Sumatera. Laki-laki penjual terompet menghela napas dalam, dagangannya sepi pembeli. Seperti tahun-tahun sebelumnya, terompet-terompetnya tak begitu banyak peminatnya; kalaupun ada yang membeli hanya satu dua.

“Pak, kapan aku dibelikan sepatu? Sepatuku sudah jebol kedua ujungnya. Aku malu sama teman-teman dan kerap menjadi bahan ejekan di sekolah.” Suara Asih, anak pertamanya terngiang di telinga Rusman, belum lagi reaksi Yanti istrinya kalau sampai tahu suaminya pulang tak membawa uang hasil penjualan terompet pasti perempuan yang sedang hamil tua itu akan marah.

Mata Rusman kosong menatap terompet-terompet buatan tangannya yang masih banyak di pikulan. Warna-warni apik terompet tak seindah garis hidup laki-laki empat puluh tahun ini, dia hanya  mengenyam pendidikan hingga kelas enam SD, meski sebenarnya Rusman terkenal sebagai seorang murid yang pintar, semangat belajarnya tinggi, bahkan dia bercita-cita ingin meraih gelar professor seperti yang pernah diungkapkan di hadapan kedua orang tuanya. Namun, garis takdir berkata lain. Rusman tak diizinkan menikmati pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia akibat keracunan tempe bongkrek tahun delapanpuluhan, pada saat itu memakan banyak korban termasuk ibu bapaknya, Rusman diasuh oleh Darmin, adik kandung almarhumah ibunya. Di rumah pamannya, Rusman kerap diperlakukan semena-mena bahkan uang beasiswa yang akan digunakan melanjutkan ke SMP favorit justru dimakan oleh Darmin. Rusman tak berani protes apalagi Darmin pernah mengancam akan memenjarakannya dengan tuduhan berusaha membunuh pamannya. Rusman hanya bisa pasrah, dia tak punya daya apa-apa, usianya tak cukup matang jika harus melawan pamannya yang seorang perangkat desa. Otomatis jika dia mengadukan perbuatan keji pamannya bisa jadi tidak akan dipercaya sebab Darmin pandai memainkan alibi.

“Harusnya kamu itu tahu diri, Man. Sudah bagus kamu aku rawat, kalau aku tak berpikir bahwa kamu itu anak kandung dari mbak Yanti mana mungkin aku mau merawatmu. Jadi anggap saja uangmu itu sebagai ucapan terima kasih atas jasa-jasaku selama ini merawatmu,” ucapan pamannya benar-benar mengunci mulut Rusman, dia menganggap apa yang keluar dari mulut pamannya ada benarnya juga. Selama ini pamannyalah yang mengasuhnya, meskipun pada kenyataannya dia harus rela tak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah yang diinginkannya.

“Kalau saja bapak dan ibu masih hidup pasti aku sudah bersekolah di SMP itu, dan aku tak harus menjadi seperti sekarang ini, hanya seorang penjual terompet keliling. Ah, tidak, tidak; aku tak boleh berandai-andai. Di mata Tuhan ini yang terbaik dalam hidupku,” Rusman membantah angan-angannya sendiri.

“Kehidupanku bukan di masa lalu. Aku ada dan bergerak di saat ini, di mana aku harus bisa membawakan kebahagiaan di tengah-tengah keluargaku. Sudah cukup satu pelajaran kualami sendiri,” Rusman mencoba menyemangati diri sendiri, dia bertekad untuk membahagiakan istri dan anak-anaknya, dia tidak ingin anak-anaknya bernasib sama seperti dirinya.

Terompet-terompet kertas di sampingnya seperti sedang menatap majikannya yang tetap bergeming di tempat duduknya, sebuah lincak bambu; berharap ada orang yang membeli dagangannya. Rusman tahu, bukan hanya dia yang menjual terompet tahun baru, di luar sana banyak penjual dengan barang dagangan yang sama bahkan bentuknya lebih bervariasi. Berbeda dengan terompet-terompet yang dijualnya bisa dibilang sangat sederhana, tak banyak model, kertasnya pun dari kalender-kalender bekas tahun lalu. Dibentuk seperti corong, kerucut atau paling pol dibentuk mirip saxophone.

Terompet-terompet buah tangannya kemudian dilapisi kertas emas agar sedikit terkesan menarik. Mungkin karena itulah, dagangannya tak selaris dagangan para penjual terompet lain.

Jarum jam terus berputar, malam pergantian tahun semakin dekat, Rusman bertambah bimbang. Dia masih enggan beranjak dari posisinya semula. Kedua kakinya terasa berat untuk diajak berjalan. Rusman masih punya harapan bahwa Tuhan pasti memberikan keajaiban, dia yakin terompet-terompetnya akan laris terjual sehingga dia bisa melenggang pulang dengan penuh semangat. Membayangkan wajah sumringah Yanti dan Asih akan berjingkrak-jingkrak senang karena akan dibelikan sepatu baru oleh ayahnya.

Langit merah saga, jam tangan yang melingkar di tangan kirinya menunjukan pukul setengah enam sore. Apa yang terlintas di benak Rusman tampaknya tak akan terjadi. Harapannya masygul. Terompet-terompetnya hanya berkurang satu, itu pun karena dia menjual murah jauh dari harga yang ditawarkannya.

“Tak apalah, paling tidak ada sedikit uang untuk tambahan beli beras. Kalau soal Asih, aku harap dia mau sedikit bersabar.”

Rusman berjalan menuju arah matahari terbenam. Bayangan panjang tubuhnya tergambar di jalan yang dilewati. Seperti kehidupan yang harus bergerak maju meski tak lepas dari bayangan, tapi biarkan bayang-bayang itu tertinggal di belakang.

“Mas?” suara istrinya menyambutnya di depan pintu. Rusman sudah bisa menduga reaksi Yanti ketika melihat dagangannya masih banyak. “

“Aku mau mandi dulu,” Rusman sengaja menghindar dari pertanyaan-pertanyaan istrinya yang membuat dada dan kepalanya terasa hendak meledak. Dia tidak ingin terjadi keributan di rumahnya. Selama ini Rusman lebih banyak mengalah dari sikap istrinya yang keras kepala dan cerewet.

“Tapi, Mas. Aku mau bicara,” Yanti menahan langkah suaminya.

“Aku tahu, kau pasti marah kan? Melihat terompet-terompet itu masih tergantung di pikulan?”

“Bukan itu.”

“Kalau bukan itu, lalu apa?” suara Rusman meninggi, otot-otot di lehernya tampak menegang. Kali ini dia tak bisa menahan rasa kesalnya.

“Ini tentang Asih, anak kita.”

“Asih? Kenapa dia?”

“Dia mengurung dalam kamar sejak kau pergi berjualan tadi.”

Deg, mendengar ucapan istrinya dada Rusman seperti dilempari batu. Rusman merasa telah menjadi orang tua yang gagal membahagiakan anaknya.

Air dalam gayung diguyurkan ke kepalanya tak mampu mendinginkan kondisi batinnya yang terasa panas. Suara-suara yang terngiang di telinganya jauh lebih riuh dari terompet-terompetnya.

Ketika orang-orang merayakan kemeriahan pergantian tahun dengan suara-suara terompet dan pijar kembang api warna-warni, Rusman pun tengah menikmati riuhnya suara-suara yang keluar dari mulut Yanti dan Asih. Dua orang yang dicintainya. Ibu dan anak menagih janji hadiah tahun baru.

Mulut Rusman meniup terompet, suaranya sember, sumbang seperti batinnya yang tengah diliputi kegaduhan.

Tumiyang-Pekuncen, 31 Desember 2019

  

Pensil Kajoe, penulis yang beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di berbagi koran lokal maupun regional ini mengaku bertanah lahir di Kabupaten Banyumas. Dia juga telah membukukan puisi-puisinya menjadi 16 Antologi Tunggal dan 20 Antologi bersama. Menulis baginya adalah kehidupan. Saat ini menjadi penulis rubric Banyumasan salah satu majalah di Yogyakarta.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *