Cowongan: Tradisi Masyarakat Banyumas Yang Kian Ditinggalkan

Chubbi Syauqi

Pada suatu siang hari di bulan Oktober (2017) yang lalu, terik matahari begitu panas membakar kulitku. Aku yang tinggal di lingkungan pedesaan Banyumas, tidak semestinya merasakan sengatan panas matahari. Di desa ku memang hujan terlambat turun dibandingkan dengan daerah lain. Padahal, jika menelaah dalam kalender jawa (pranata mangsa), bulan Oktober masuk dalam mangsa kelima (musim hujan). Namun, dalam kurun waktu 7 bulan, hujan tak kunjung turun bahkan cuaca panas begitu ekstrem hingga mencapai 33 derajat celcius. Situasi ini menyebabkan banyak masyarakat kesulitan mendapatkan air. Para petani pun terpaksa menghentikan aktivitas tanam- menanamnya karena krisis air. Bila hujan tak kunjung turun, masyarakat Banyumas biasanya mengadakan tradisi yang biasa dikenal cowongan. Tradisi cowongan merupakan ritual utama bagi masyarakat Banyumas untuk mendatangkan hujan dengan sarana peralatan berupa siwur (gayung) atau irus (centong sayur) yang dirias menjadi boneka berwujud putri nan cantik.

Tradisi cowongan digawangi oleh seorang dukun dan juga didampingi oleh para wanita. Para wanita ini haruslah wanita yang suci (baca: tidak haid,  tidak nifas, dan tidak melakukan hubungan seksual). Selain itu, para perempuan juga mengiringi cowongan dengan tembang-tembang jawa. Dalam ritual tersebut, masyarakat melantunkan mantra dan tembang-tembang Jawa sebagai ungkapan doa kepada Ilahi, sehingga terjadi komunikasi dan negosiasi dengan entitas spiritual dalam doa, sedangkan materialitisnya sebagai permohonan berupa sesajen. Dalam masyarakat luas, sesajen kerap dipahami sebagai simbol relasi hierarkis dua subjek yang berbeda. Guna mengetahui makna sesajen pada ritual cowongan yang dilakukan masyarakat Desa Pangebatan, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas. Alangkah lebih eloknya kita memahami worldview atau perspektif pandangan mereka. Dengan begitu maka, kita tidak akan mudah menjustifikasikan mereka itu syirik bahkan kafir. Dalam sesajen, dukun akan membakar kemenyan dan dupa sebagai piranti dalam memanjatkan doa. Hal ini dalam worldview Islam merupakan cara untuk menghimpun chemistry kepada sang Ilahi dengan aroma harum. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i bahwa Muhammad Sang Kekasih menyenangi wewangian. Aroma wangi bisa memberikan ketenangan orang yang berdzikir, shalat, dan ibadah lainnya. Para malaikat pun senang kepada bau wangi, sehingga rahmat Allah akan turun kepada orang yang memakai wangi-wangian.

[iklan]

Selain kepada tuhan, masyarakat juga memanjatkan doa kepada Dewi Sri sebagai ingkang mbaurekso ladang sawah dan penurun hujan. Keyakinan seperti ini pada dasarnya merupakan ekspresi penghormatan masyarakat Jawa kepada makhluk Ilahi bukan manusia (malaikat). Biasanya makhluk tersebut disimbolkan dengan Dewa, Dewi, Nyai, dan Kyai yang dipercaya sebagai makhluk utusan Ilahi untuk menguatkan dan menumbuhkan tumbuhan. Kepercayaan ini lantas tidak bisa kita maknai sebagai wujud kepercayaan yang mutlak terhadap selain tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagaimana yang disebutkan tadi, hal itu hanya pencandraan atau simbolisasi atas bentuk keyakinan kepada Tuhan. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa, dibalik keyakinan akan Allah yang bersifat transenden, ternyata mereka juga meyakini adanya sosok berupa Dewi Sri yang berasal dari Allah. Mitos mengenai Dewi Sri merupakan manifestasi kerinduan kepada Allah yang bersifat imanen. Hal ini pun tak bertentangan dengan ajaran Islam, karena menurut Islam, orang beriman salah satu indikatornya adalah percaya kepada sesuatu yang ghaib (Alladziina yu’minuna bil ghoib).

Lelaku syirik kerap kali disematkan pada para pemain ritual cowongan di daerah Banyumas. Beberapa kali saya mendengar omongan yang kurang mengenakan dari penduduk setempat. Namun, sebagaimana penuturan dari Titut Edi Purwanto (Seniman Banyumas), tradisi cowongan merupakan upaya memanjatkan doa kepada Ilahi agar turun hujan. Asumsi miring akan mereka yang menjalankan ibadah (baca: lelaku) yang bernuansa sinkretik agaknya telah terukir dalam benak mayoritas kita. Apa-apa yang berkaitan dengan ritual leluhur seolah-olah vis a vis dengan ajaran Islam. Dari pandangan itu kemudian kita akan menge-cap adanya identitas kaum Islam abangan dan Islam putihan (santri). Kondisi ini dapat kita telisik kebelakang akan perjalanan kaum abangan di tengah arus globalisasi dan medernisasi.

Secara etimologis, abangan mengacu pada kata abang dalam perbendaharan bahasa Jawa Ngoko. Sedangkan dalam krama abang disebut abrit. Istilah Islam abangan dan putihan pertama kali dipopulerkan oleh sarjana Hindia Belanda bernama Clifford Geertz. Pandangan Clifford Geertz menuai begitu banyak kritik. Pasalnya, Islam Nusantara menurut Clifford Geert merupakan Islam yang bercampur  dengan sinkretisme. Pandangan itu kemudian melahirkan dikotomi abangan dan putihan (santri). Seperti yang dimaksud Clifford Geertz, kaum abangan merupakan kaum Jawa yang otentik dan menolak Islam, sedangkan kaum putihan (santri) merupakan kaum Jawa yang menolak Jawa dan menerima Islam. Maka dapat kita tarik benang merah bahwa Islam Nusantara sedari dulu sudah termarjinalkan melalui kajian akademik ngawur oleh sarjana Belanda.

Konsekuensi dari pandangan sinkretisme Islam yang memisahkan Jawa dan Islam membuat keduanya seolah-olah vis a vis. Cara pandang ini tentunya terkesan terburu-buru dan sembrono. Sebagaimana juga pendapat Irfan Afifi (2019) dalam bukunya “Saya, Jawa dan Islam” Jawa dan Islam merupakan suatu kesatuan. Segala lelaku bahkan tradisi dalam Jawa merupakan bentuk manifestasi dari ajaran Wali Songo. Karakter Islam Nusantara yang saling bertautan antara Islam dan tradisi, menjadikan ia beragam dan semakin berkembang. Dikotomi abangan dan putihan merupakan strategi kolonial guna memecah belah persatuan, kata Nancy K. Florida dalam artikelnya “Jawa-Islam di Masa Kolonial”  Islam memunculkan kecurigaan sebagai sebuah kenyataan berbahaya, suau kekuatan yang mampu dan mungkin akan muncul dimana saja. Kemudian pihak kolonial mengelompokan  manusia sebagai “Muslim Sinkretik”. Seperti pandangan Giddens (1990) menyebutkan bahwa tradisi akan selalu terbaharukan secara berkesinambungan. Lantas, tidak sepantasnya kita terburu-buru mengklaim perubahan yang terjadi akibat dari globalisasi dan modernitas, tetapi lebih mengarah kepada negosiasi. Dengan demikian pandangan Irfan Afifi menjadi penting untuk memahami masyarakat modern perihal Islam Nusantara.

Dalam sebuah buku karya M.C.Ricklefs berjudul “The Birh of The Abangan” (2008) menjelaskan penggolongan sosial masyarakat Jawa antara kaum abangan dan putihan mulai muncul sebagai gejala khas masyarakat Jawa pada paruh kedua abad ke-19. Periode tersebut penting dalam sejarah Islamisasi masyarakat Jawa. Tercatat jumlah orang yang naik haji berkembang. Menurut kalkulasi pemerintah kolonial pada 1850 hanya 58 orang naik haji dari jawa tetapi di penghujung tahun 1898 jumlah itu mengalami fluktuasi sampai 5322. Pelayanan kapal. Hal ini juga dipicu oleh pembukaan terusan Suez pada tahun 1869 yang memudahkan kapal uap berlayar ke negeri Arab. Orang-orang Jawa yang pergi berhaji disana mendapat sentuhan purifikasi islam, sehingga memiliki gaya baru dalam berislam. Orang Jawa inilah yang kemudian hari dikenal dengan kaum putihan. Namun, dalam perkembangannya, kaum putihan ini semakin berjarak dengan kehidupan rukun-rukun agama ( yang sebelumnya agama rakyat, yang bersinkretis kepada budaya lokal). Kemudian mereka yang menolak ajakan kaum putihan disebut kaum abangan. Sampai di abad ke 19, perbedaan abangan dan putihan semakin gaduh diantara kehidupan orang Jawa.

Di Desa Pangebatan, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas tradisi cowongan masih sering diadakan, tetapi disisi lain banyak juga yang tidak mengetahinya bahkan meninggalkannya. Masyarakat yang masih melaksanakan tradisi cowongan cenderung menjadikannya sebatas kegiatan formalitas atas  kebiasaan turun temurun. Tradisi cowongan saat ini masih diuri-uri oleh kelompok Islam abangan yang percaya dengan ritual pemanggilan hujan tersebut. Mereka yang gondelan pada ritual cowongan memiliki pemaknaan yang didasarkan pada bentuk menjaga hubungan harmonis dengan alam sebagaimana perspektif Islam hablum minal alam. Keseimbangan antara manusia dengan alam pada akhirnya akan melahirkan keharmonisan antara lingkungan, sosial, alam bahkan sains. Sebagaimana yang kita tahu, tradisi merupakan kebiasaan kolektif dan kesadaran kolektif yang dilakukan secara turun temurun. Ia bagaiakan mekanisme yang membantu pergaulan manusia dan memperlancar kehidupan manusia. Tanpa tradisi pergaulan manusia akan kacau dan hidup manusia akan bersifat amoral.

Meskipun tradisi cowongan sampai hari ini masih dilaksanakan, tetapi secara detail sejarah dan esensi dari tradisi ini kian terlupakan, bahkan ditinggalkan. Perkembangan sains dan teknologi sebagai keniscayaan dalam globalisasi membuat rasionalitas masyarakat terhadap tradisi semakin menipis. Sains memang begitu ampuh menjelaskan berbagai fenomena alam, seperti gempa, hujan, tsunami bahkan gerhana matahari. Munculnya sains disambut suka cita oleh masyarakat. Peristiwa alam yang dahulu disangkut pautkan dengan mitos-mitos  seperti dewi sri atau bidadari mandi sebagai penjelas fenomena alam. Kini hanya menjadi bahan tertawaan. Maka tak ayal, ritual adat meminta hujan pun hanya sekadar menjadi pertunjukan dan tontonan. Segala hal yang menyangkut tentang mitos, kata Irfan Afifi  dalam artikelnya “Saat sains menjadi rujukan, kita kehilangan cerita” (2016) mitos merupakan cara simbolis yang lentur dalam menafsirkan peristiwa alam, supaya memberi ruang misteri dan kegentaran Pada-Nya. Misteri dalam mitos kemudian akan melahirkan sebuah pengakuan kepayahan bahwa kita kecil, diantara belantara benda kosmis dalam bayang. Mitos memberikan sense of religion pada fenomena alam sebagai peristiwa sakral. Ia, mitos, mengajari cerita: imajinasi, sedangkan sains, mengajarkan fakta. Dan kita tahu, peristiwa turunnya hujan hanya membuahkan sumpah serapah dan jualan jas hujan. Dalam benak saya bertanya, lebih baik mana mitos dengan sains? Apakah sains mampu melahirkan rasa tadabur kepada alam, dan tawadhu kepada yang kuasa?. Saya tak tahu akan hal itu, tetapi yang jelas, kita sudah kehilangan “cerita” juga imajinasi.

Pada era globalisasi, kebanyakan masyarakat hanya berorientasi kepada ekonomi saja. Hubungan antara manusia dan alam yang seharusnya seimbang kini kian terdisrupsi, maka jadilah masyarakat Jawa ini sudah tak mampu lagi memayu hayuning bawono. Desa Pangebatan yang begitu agraris, kini semakin tergerus oleh laju infrastruktur. Pesatnya laju pertumbuhan penduduk berimplikasi terhadap pemanfaatan lahan pertanian untuk pemukiman penduduk. Hal ini mengakibatkan pula pada transformasi masyarakat dalam beraktivitas. Masyarakat yang dulu hidup bertani kini sudah tak lagi melakukan aktivitas pertanian, ia juga tak lagi bisa berhubungan dengan alam sebagaimana dulu. Masyarakat Desa Pangebatan yang mayoritas agraris sedari dahulu memiliki tradisi cowongan dengan pemaknaan tinggi berupa memayu hayuning bawono. Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi cowongan kian ditinggalkan oleh masyarakatnya. Sungguh benar, kata WS Rendra dalam buku kumpulan esai “mempetimbangkan tradisi” (Pustaka Jaya 2005) bahwa Jawa memiliki kebudayaan yang super kaya, tetapi sayang masyarakatnya tidak cakap bergaul dengan tradisi itu, sehingga mereka merupakan menjadi benalu bagi tradisi. Demikianlah yang ditemui juga dalam tradisi cowongan pada masyarakat Banyumas. Tradisi ini menemui kesulitan berkembang karena masyarakatnya bersifat kurang kreatif. Sekiranya, kasus seperti ini bukan hanya menimpa kebudayaan Jawa saja, melainkan segala bentuk kebudayaan yang ada di Nusantara.

Tanpa kita sadari, hari ini kita gagal mendefinisikan identitas kulturalnya sendiri. Sehingga cenderung terjebak pada pola pikir barat yang menawarkan kebebasan, universalitas, yang mengaburkan identitas diri sebagai orang Jawa, Nusantara dan Indonesia. Kita berasumsi bahwa, pemikiran baratlah yang akan membawa pada kemajuan dan kemanusiaan, tetapi pola pikir ini malah menjerumuskan kita seperti boneka. Kemudian apa yang kita sebut kemajuan tanpa, kita sadar justru mengarah kepada disrupsi atau kerusakan. Segala kontraproduktif atas pemikiran barat, sebenarnya sudah dibentengi oleh para nenek moyang kita melalui ekspresi tradisi budaya yang menyimpan pengetahuan untuk menjadi manusia paripurna.

Bacaan

Giddens, A.1990. The Consequences of Modernity. Standford: Stanford University Pres.

C.Ricklefs. 2008. The Birth of the Abangan. https://www.researchgate.net/publication/41017167_The_birth_of_the_abangan.

Afifi Irfan. 2016. Saat sains menjadi rujukan, kita kehilangan cerita. Dalam borneonews.co.id. 9 Maret 2016. Palangkaraya.

Afifi Irfan. 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Buku Langgar.

Nancy K.Florida. 2020. Jawa-Islam di Masa Kolonial. Yogyakarta: Buku Langgar.

  1. Rendra. 2005. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta :Pustaka Jaya.

 

Chubbi Syauqi lahir di Banyumas, 1 Maret 2000. Dia tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Tarbiyah, Prodi Manajemen Pendidikan Islam IAIN Purwokerto. Dia tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan (HMJ MPI), dan tergabung dalam anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta terdaftar sebagai anggota Sastra Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Alamat rumahnya di Jln. Achmad Zein RT 02/ RW 03, Pasir Kidul, Purwokerto Barat. Alamat e-mail: chubbisyauqi2000@gmail.com. HP:085869500210. Fb:syauqi chubbi. Ig:syauqichubbi.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *