Itu juga yang menjadi pertanyaanku hingga sekarang. Memang persoalan Dian itu murni persoalanku  sendiri. Tapi, aku juga masih belum tahu benar apakah perasaanku terhadap Dian sudah padam?

Dian, perempuan yang kukenal di klub buku sekitar lima tahun lalu. Kedekatanku dengan Dian juga hal yang kusengaja terjadi. Sekilas tidak ada yang sangat spesial pada dirinya hingga membuatku  tetap mengingatnya selama lima tahun terakhir. Tapi, setelah mengenalnya lebih dekat, Dian memiliki senyum yang  magis.

Dulu, aku juga tidak percaya kalau ada orang yang mudah terpikat dengan orang lain hanya karena satu atau dua hal. Ternyata itu terjadi kepada diriku sendiri kala itu. Aku jatuh hati dengan senyum yang Dian miliki.

Senyuman yang tidak tanggung dan tidak berlebihan yang selalu menampilkan deretan gigi rapinya. Kalau menurut banyak orang, Dian memiliki senyum ala iklan pasta gigi. Haha.

Sebenarnya klub buku kami tidak sering mengadakan kopi darat, tapi jika kesempatan itu datang, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk tetap berada dekat dengan Dian. Duduk tak jauh dari tempatnya duduk, dan sesekali mengajaknya mengobrol basa-basi tentang buku yang sudah kami baca atau sedang kami incar.

Secara selera, sebenarnya genre buku yang kami sukai berbeda. Aku yang lebih suka dengan buku-buku fiksi thriller dan Dian entah mengapa aku lebih sering melihatnya membaca buku-buku tentang filsafat atau sejarah, meski sesekali dia juga membaca cerita romansa.

Dian dengan kulit sawo matang dan tubuh yang tingginya tidak lebih dari 160 cm itu terlihat mungil dan manis. Dian termasuk anggota yang tidak banyak mengirim komentar ketika di grup daring. Namun, ketika diskusi tatap muka, entah mengapa aku terkesan dengan cara dia memaparkan apa yang sedang dia baca, apa yang menarik dari buku yang dibacanya, dan semacam itu. Dian masuk kategori perempuan yang pintar menata kosa katanya.

Dian bekerja di sebuah kantor Non-Governmental Organization di kawasan Tebet. Tak heran jika pemikiran-pemikiran yang dimilikinya sangat tajam dan bernas. Usia kami terpaut dua tahun. Aku merasa sangat pas sekali dengannya. Ada suatu hari aku mendapat kesempatan emas bisa mengantarkan Dian pulang setelah pertemuan tatap muka di Monas. Aku bersyukur kepada jalur Transjakarta yang tiba-tiba mendapat kendala karena ada kecelakaan di jalur arah dia pulang, jadi aku dengan suka rela menawarkan tumpangan dan Dian mengiyakan tanpa ragu.

Kami sempat mampir untuk makan di sebuah warung Padang untuk mengisi amunisi.

“Di, apa yang bisa menguatkan kamu pas capek ngurus kasus di kantormu?”

Capek, ya capek aja sih,Kak sebenarnya. Aku juga gak perlu menguatkan diri pas lagi capek. ambil istirahat saja sebentar,” jawab Dian yang suaranya agak cempreng.” Cuma, aku jadi inget kata Seneca, walaupun pengetahuan itu luar biasa dan bermanfaat, tapi kalau hanya memberi keuntungan kepada diri sendiri, percuma,” sambungnya.

Ini dia Dianku. Tidak ada keraguan dalam kata-katanya. Tidak terlihat ambisi setinggi gunung  namun juga tidak lekas menyerah.

“Kalau kakak?” sekarang giliran Dian bertanya balik padaku.

“Klise. Aku laki-laki, aku punya tanggung jawab untuk adik dan ibuku.” Dian mengacungkan kedua jempolnya dan melanjutkan menandaskan sisa ayam bakar padang miliknya.

“Di?” Aku berdehem dan mencoba menata suaraku agar terdengar setenang mungkin.

“Ya, Kak?” Suapan nasi terakhir Dian sudah selesai, Dia bahkan sudah selesai membasuh tangannya dan menyeruput teh tawar panas perlahan.

“Aku suka kamu,” aku sengaja berhenti sejenak dan mencari tahu bagaimana air muka Dian. Perempuan di depanku itu masih saja tenang meski raut terkejut sedikit terlihat. Dian meletakkan gelasnya dan menatapku. “Boleh, Di?”

Masih belum ada reaksi yang  bisa kusimpulkan. Dian masih tenang di kursinya. Aku merasa sebuah beban di hatiku terangkat dan merasa ringan. Mungkin aku akan ditolak, karena Dian memang tidak memperlihatkan adanya ketertarikan denganku. Tapi, aku merasa pengakuanku untuknya hari ini tepat. Setidaknya, aku tidak menahan-nahan.

Dian merapikan anak rambutnya yang tertiup angin dari kipas dinding. Rambutnya yang sepanjang bahu dan sedikit ikal, menambah kesan otentik pada paras Dian.

“Terimakasih, Kak, karena memberi hati kakak ke aku. Aku memang belum ada pasangan saat ini, hanya saja…”Ah, ini dia … ini dia penolakan itu pada akhirnya, batinku.”Hanya saja aku butuh waktu. Tidak lama. Gimana?”

Refleks, aku mengangguk menyetujuinya. Aku pasti terlihat seperti laki-laki bodoh saat ini. Tapi, aku sangat senang. Jawaban dari Dian seperti sebuah cahaya. Seperti namanya, Dian. Setidaknya ada hasil yang mungkin berbeda dari ketakutanku baru saja.

Setelah membayar, aku langsung mengantar Dian ke kostnya lalu pulang.

Hari itu menjadi hari yang sangat panjang dan mendebarkan.

Setelah hari itu, aku tidak pernah lagi mendapat kabar dari Dian. Awalnya, mungkin Dian masih butuh sedikit lagi waktu, tapi dia hilang seperti ditelan kabut. Nomornya sudah tidak aktif, bahkan di grup daring pun, Dian tidak pernah sekalipun muncul.

Kutunggu hingga berminggu-minggu dan berbulan-bulan, Dian hilang. Kepada Joan, salah satu rekan kami di klub  buku aku menanyakannya dan dia pun tidak tahu ke mana Dian pergi.

Sampai saking penasarannya, aku datang ke kostnya dan menanyakan kepada pemilik kost, katanya Dian sudah pergi.

Tak putus asa, aku pergi ke kantornya, dan menurut rekan kerjanya, Dian sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu. Jejaknya hilang.

Semua sosial medianya masih ada namun, tidak ada aktivitas di sana. Hilangnya Dian menyisakan  lobang dalam di hatiku. Apa yang telah kulakukan hingga Dian pergi?

***

Aku masih sesekali bertemu dengan kawan-kawan dari klub buku untuk sekedar melepas kangen, karena selama  lima tahun terakhir, sudah jarang dilakukan pertemuan tatap muka rutin setiap bulan seperti dulu. Hanya jika kebetulan ada event terkait literasi atau memang sengaja bertemu untuk melepas kangen antar anggota saja.

Pun untuk hari ini. Kemarin melalui grup daring, Joan mencetuskan ide untuk bertemu di Join  Kopi di bilangan Blok M. Sudah ada Risa, mas Teguh, Dewi, Lara, juga Diva yang memberi suara untuk bergabung, lalu … sebuah nama dari masa lalu tiba-tiba muncul.

Dian.

Aku tidak pernah sadar sejak kapan nomornya kembali aktif. Sejak kapan Dian muncul di grup lagi, dan mengapa tidak ada satupun yang memberitahuku, padahal dulu, sudah menjadi rahasia umum bahwa aku sempat sangat merasa frustasi karena kehilangan sosok pemilik senyum manis itu.

Joan satu di antara kawan-kawan yang menemaniku saat itu. Dia tahu betapa aku berharap Dian tiba-tiba muncul dan memberi penjelasan tentang kepergiannya. Keinginan itu terkabul setelah lima tahun berlalu.

Aku ingin bertanya kepada Joan dengan apa yang terjadi sebenarnya, namun urung. Aku masih gamang apakah akan berangkat ke pertemuan itu atau kubatalkan saja. Dian benar-benar mengganggu pikiranku hari ini. Aku ingin sekali pergi, tapi …

Baiklah. Ayo kita bertemu Dian!

***

Join Kopi tidak pernah kehabisan pelanggan apalagi untuk akhir pekan seperti ini. Meskipun dengan konsep kedai kopi kecil dan tempat duduk di ruang terbuka, Join kopi selalu menjadi favorit bagi para pelanggannya dengan cakupan semua usia dan semua kalangan. Apalagi jika kebetulan ada acara di gelanggang atau gedung pertunjukan, sudah pasti tempat duduk di Join akan penuh.

Cuaca hari ini  cerah. Saat aku tiba, aku sudah menemukan mas Teguh memilih bangku panjang yang letaknya tak jauh dari masjid. Joan yang duduk tepat di samping Dian. Juga Risa. yang lainnya belum terlihat. Mungkin dalam perjalanan.

Pertemuan yang kukira akan sangat canggung, nyatanya aku cukup bisa menguasai diri. Dian hadir dengan potongan rambut baru. Layer bob pendek yang memperlihatkan leher jenjangnya, dia seperti kehilangan berat badannya dari terakhir kali ingatanku, namun tidak menandakan dia sakit atau semacamnya. Badan Dian yang kian mungil namun terlihat segar.

Dian masih sosok yang tidak banyak bicara, aku sesekali tetap mencuri pandang ke arahnya ketika perempuan itu tersenyum atau tertawa lepas. Senyum magisnya masih ada hingga sekarang.

Setelah usai pertemuan, Dian menahanku pergi dan meminta waktuku untuk berbicara berdua dengannya. Jadi, disinilah akhirnya … kami berdua, seperti hari terakhir lima tahun lalu.

“Aku minta maaf secara pribadi untuk kesalahanku lima tahun lalu.” Dian sudah bercerita dengan teman-teman tadi alasan dia tiba tiba hilang dan tidak bisa dihubungi. Malam setelah pertemuan denganku lima tahun lalu, Dian mendapat kabar ayahnya sakit keras dan dia bergegas pulang ke Tulungagung, ponselnya yang hilang beserta semua password untuk sosial media yang dicatat di dalam ponsel tersebut. Ini keteledoran yang Dian sendiri sesali mengapa dia tidak mempunyai catatan ganda untuk password penting.

Dian juga bercerita, setelah peristiwa yang menimpa ayahnya, Dian juga sakit dan harus berjuang untuk Meningioma yang dialaminya. Tumor jinak yang tumbuh di otaknya. Dian, berhasil melalui masa-masa sulitnya.

Kembalinya Dian di hadapanku hari ini merupakan hadiah dari Tuhan yan ingin kumiliki selamanya, andai bisa. Dia bilang, dia sudah sembuh dan baik-baik saja. Senyumnya sudah kembali segar dan menawan, senyum yang sempat ingin kupatenkan menjadi milikku sendiri.

“Jawaban yang ingin kuberikan pada kamu adalah, aku menerimamu,” senyum tulus Dian terkembang lagi. Aku meremas jari jari tanganku. Tidak munafik, aku berdebar mendengar yang baru saja Dian katakan. Jika bisa, aku ingin memeluknya erat. Jika bisa. “Aku terlambat, kan?” tanyanya pelan.

Kuangkat kepalaku dan menatap Dian lekat.

“Aku sudah mendengar dari Joan. Kamu sudah menikah setahun lalu. Selamat, ya. Aku sudah selesai dengan kata-kataku.”

AKu masih berlagak tolol dan tidak mengucapkan apapun. Dian mengulurkan tangannya yang kusambut ragu-ragu.  “Terima Kasih, Di. Kamu semoga selalu sehat,” kata terbanyak yang bisa kuucapkan untuk pertemuan itu.

Dian jelas belum sepenuhnya padam di hatiku, namun harus mulai kutiup pelan agar padam. Ada Alina yang sudah kupilih menjadi istriku. Aku melihat Dian beranjak dari duduknya dan pamit pergi.

Titis Nariyah, seorang penyuka sastra dan ikut akfit di Dapoer Sastra Tjisaoek.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *