INSPIRASI TERSEMBUNYI DARI “DRAMA SEHARI”
PUISI KARYA PULO LASMAN SIMANJUNTAK
Puisi /DRAMA SEHARI/ merupakan besutan Pulo Lasman Simanjuntak Sang Penyair Medsos. Puisi ini bersama puisi puisinya yang lain telah terbit di Jurnal Online mbludus.com di laman https://mbludus.com/puisi-pulo-lasman-simanjuntak/. Di Jurnal ini Pulo Lasman Simanjuntak, mengenalkan diri sebagai Penyair Medsos.
Satu diantara para penikmat puisi, mengatakan bahwa rata rata setiap puisi mempunyai kekuatan unik tiada duanya, bisa jadi berbeda beda komponen uniknya. Kekuatan puisi ada yang tergantung pada diksi, makna, rasa, logika, estetika, rampak sanjak dan rima, susunan tata kelola baris dan bait, model aksara, potensi vokal ketika disuarakan, potensi senyap spiritual batinnya, multi tafsir substansinya, sampai pada pilihan jenis huruf dan angka bisa menjadi kekuatan puisi, bahkan Sang Penyairnya pun juga bisa menjadi daya tarik nyata.
Dengan pertimbangan berbagai kekuatan puisi itulah, penulis sebagai penikmat puisi akan menggali potensi kekuatan Puisi /DRAMA SEHARI/ guritan Penyair Pulo Lasman Simanjuntak. Dari sisi judul saja sudah terasa adanya geliat daya tarik yang memanggil manggil meminta dipindai aroma dramanya, bahkan untuk satu hari saja. Hal ini agar bisa ngalap berkah berkesempatan memungut inspirasi tersembunyi dari puisi tersebut. Bagaimana caranya?
Baik, kita mulai, di bawah ini Puisi lengkapnya.
DRAMA SEHARI
pewarta menggelepar
di negeri-negeri berair
sepasang mata ganjil
membuka pintu benua
manusia kota gemar bernyanyi
tetapi lagunya adalah:
darah dan bencana!
Puisi di atas diawali dengan judul yang bersifat semi terbuka, artinya berpotensi bisa bermakna /drama/ dari berbagai macam peristiwa, maupun tempat, tetapi dibatasi oleh waktu /sehari/.
Diksi dari Judul puisi /DRAMA SEHARI/ memang memikat untuk ditelusuri, karena banyak hal tersembunyi, dan menimbulkan tanda tanya, semisal: Siapa pelaku liriknya, Apakah masih ada kaitan langsung atau pun tidak dengan Sang Penyair, atau lepas begitu saja, Apakah itu fakta, atau kah opini yang sudah dibelenggu dalam diksi di bait bait puisi agar tidak meliar goib di ruang pikiran, atau fiksi saja sebagai rekayasa pikir Sang Penyair?
Untuk bisa menjawab pertanyaan di atas, bahkan mungkin masih ada pertanyaan tidak kasat mata yang sulit untuk mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, tetapi bisa dirasakan adanya, perlu berbagai upaya telusur di seluruh batang tubuh puisi bahkan segala makna di balik diksi. Tentu penelusuran cermat, sehat, dan tepat akan sangat membantu ketika mulai menelisik misteri puisi, yang serupa dengan memasuki gua tanpa pemandu awal alias sebagai perintis perjalanan, yang kadang belum tentu bisa sampai ke dasar gua, bahkan berpotensi tersesat, dan kehabisan oksigen, karena makin ke dalam biasanya unsur oksigennya semakin tipis. Oleh sebab itu cara tradisional memasuki gua baru, sebaiknya membawa obor yang bermanfaat untuk cahaya penerangan maupun sebagai indikator ada tidaknya oksigen di dalam gua. Jika bahan bakar obor masih banyak, sumbu pun masih panjang, ternyata obor tiba tiba redup, bahkan sampai mati, berarti persediaan oksigen di udara sekitar, kemungkinan mulai menipis bahkan sudah tidak ada lagi. Jika demikian, maka si penelusur gua, sebaiknya segera kembali ke titik awal perjalanan, dan bersiap mengambil peralatan lengkap, beserta tabung oksigen, dan lampu bertenaga baterei.
Bagi penikmat puisi, kadang dari testimoni rasa nikmatnya, berharap bisa berguna bagi orang lain, terutama untuk Sang Penyair. Kegunaan ini berpotensi menjelma menjadi berbagai macam ranah kenikmatan, semisal: apresiasi puisi, evaluasi, promosi, komunikasi, maupun berwajah silaturahmi jarak jauh melalui tukar pikir di medsos atau pun di media yang lain.
Kembali pada Puisi /DRAMA SEHARI/, dari sisi judul tentu masih mengandung misteri yang tertutup rapat. Untuk memulai membukanya, berbagai macam pertanyaan seperti yang sudah diajukan di atas tetap dibutuhkan, maka jawabannya perlu menelusuri gua gua misteri puisi yang tersembunyi di lorong lorong diksinya.
Mari kita pindai, mulai dari bait pertama di bawah ini.
/pewarta menggelepar
di negeri-negeri berair
sepasang mata ganjil
membuka pintu benua/
Baris pertama dan ke dua di bait pertama di atas, mengisyaratkan adanya kalimat yang tersusun dari: subyek, predikat, dan keterangan tempat. Susunan kalimat ini bisa menjadi semacam indikasi mula atau pun informasi awal, bahwa subyek atau pelakunya adalah /pewarta/ lirik yang sedang /menggelepar/, dimana?, tidak lain peristiwanya berada /di negeri-negeri berair/.
Sedangkan di baris kedua dan ke empat ada kalimat yang juga patut diduga tersusun atas subyek, predikat, dan obyek, yaitu : /sepasang mata ganjil/ dan /membuka pintu benua/. Subyek atau pelaku liriknya adalah /sepasang mata ganjil/, predikatnya /membuka/ dan obyeknya /pintu dunia/. Tentu untuk penelusuran lanjut di gua misteri diksi puisi, memerlukan resultan yang melibatkan berbagai macam teropong, plus sinar kuat yang mampu mencahayai diksi diksi, sehingga terpendar menjadi terang, dan terlihat jelas apa saja: pesan, makna, logika, dan rasa yang terkandung di dalamnya, meskipun disembunyikan di labirin yang paling membingungkan sekali pun.
Jika pelaku lirik sudah dapat ditengarai siapa mereka, yaitu tidak lain adalah /pewarta/ lirik, dan /sepasang mata ganjil/ lirik, maka langkah berikutnya timbul tanya: bagaimana hubungan antar keduanya, hubungannya baik baik saja, atau bagaimana?
Memang untuk menemukan sifat keterhubungan antar dua subyek, kadang memerlukan pengetahuan tentang kaidah silogisme Aristoteles semacam deduksi induksi, atau pun jika diperlukan bisa memanfaatkan teorema uji pengaruh menggunakan kualitas yang berbasis kuantitas statistikal. Namun karena kuantitas itu sepertinya bukan menjadi ranah penting dalam fiksi termasuk puisi yang cenderung bersifat kualitatif, maka pendekatan yang sedikit memungkinkan adalah mendekatinya dengan pilihan kualitatif saja, yang mungkin cenderung narasi deskriptif. Sehingga bisa dimaklumi jika sajak /pewarta menggelepar/ dipandang punya hubungan erat dengan sajak /sepasang mata ganjil/. Boleh jadi keduanya bukanlah pelaku yang terpisah berdiri sendiri sendiri, melainkan malah sebagai sinergi dua pelaku yang saling menguatkan. Tatkala /Pewarta menggelepar/, dalam arti hidup tak mampu, mati pun ogah. Dibilang mati, tetapi denyut jantungnya masih berdegup, dikatakan hidup, fungsi otaknya sudah tak berjalan, bisanya hanya /menggelepar/saja. Meskipun demikian ternyata ungkapan ini disanding urutkan dengan /sepasang mata ganjil/, sehingga bisa mempunyai daya gebrak bikin penasaran untuk mengetahui apa rahasianya. Selanjutnya timbul tanya, siapakah tokoh pewarta lirik ? Sang Penyairkah, atau siapa?. Jika diperkirakan pewarta lirik adalah Sang Penyair, rasa rasanya secara logika tidak memungkinkan pelaku lirik yang sedang /menggelepar/ masih bisa mengamati sekitarnya dan bisa mendiskripsikan ada /sepasang mata ganjil/. Jika pun bisa, peristiwa ini berpotensi menjadi fenomena luar bisa, bahwa dalam keadaan /menggelepar/, hidup tak kuasa, mati pun tak mampu, ternyata masih bisa memindai kahanan di sekitarnya. Di sinilah boleh jadi timbul potensi untuk mendapatkan inspirasi sekaligus motivasi bahwa dalam kondisi apa pun, sadar lingkungan itu tetap diperlukan, di mana pun berada. Apakah berada /di negeri-negeri berair/ mungkin negeri penuh air mata tawa, air mata duka, atau pun air kehidupan.
Dan bisa /membuka pintu benua/ diantaranya melalui kaca mata lensa kamera atau pun lensa video, yang semuanya cenderung bermata ganjil alias bermata satu, meskipun bisa berpasangan semisal lensa keker atau teropong.
Seperti itulah kira kira inspirasi tersembunyi yang bisa dipungut dari bait pertama di tengah tengah berbagai keragaman inspirasi atau motivasi yang masih misteri. Bisa juga Sang Penyair seolah bertindak sebagai pengamat yang mengawetkan peristiwa di luar dirinya menjadi bait puisi.
Selanjutnya, mari diteruskan ke bait kedua.
Isi baitnya seperti di bawah ini.
/manusia kota gemar bernymanusia kota gemar bernyanyi
tetapi lagunya adalah:
darah dan bencana!/
Bait kedua ini boleh jadi memberikan penguatan informasi bahwa Sang Penyair bukanlah pelaku utama di dalam peristiwa seperti yang diungkapkan di bait pertama. Sang Penyair seolah berperan sebagai pengamat peristiwa, baik pengamatan terhadap 1. /pewarta/ yang /menggelepar/, 2. /Sepasang mata ganjil/, maupun pada 3. /manusia kota/. Sebenarnya ketiga pelaku lirik tersebut bisa saling lepas tanpa ada keterhubungan, bisa juga keterhubungannya masih sembunyi di pikiran Sang Penyair maupun pembaca.Yang jelas pilihan diksi diksinya bisa menceritakan pola pikir Sang Penyair, yakni mencoba berusaha memotret apa adanya, sesuai fakta dan realita, tanpa harus menambah atau mengurangi serupa opini pribadi, seperti /manusia kota gemar bernyanyi/. Diksi di sajak ini berpotensi memiliki arti tunggal, manusia kota tidak mungkin dimaknai sebagai manusia desa, atau manusia hutan rimba. Namun demikian, diksi puisi segamblang apapun, berpotensi masih ada saja yang bersembunyi di balik diksi, belum bisa dimengerti apa maunya Sang Penyair dengan diksi selugas itu, hampir tanpa duo tafsir apalagi multi tafsir.
Boleh jadi secara sistematika penulisan puisi, Penyair membagi puisinya dalam dua bait, namun mungkin lebih tepatnya terdiri dari tiga bait puisi secara substansi isinya, yaitu.
Bait 1 tentang pewarta
Bait 2 tentang sepasang mata ganjil
Bait 3 tentang manusia kota.
Kira kira disinilah keberanian Sang Penyair bereksperiman dalam tata kelola susunan bait, mungkin berharap bisa menimbulkan rasa, makna, dan logika yang berbeda, dari pada jika menggunakan susunan lain yang cenderung rutin rutin saja. Apalagi jika ditambah dengan baris berikutnya yaitu: /tetapi lagunya adalah:/, /darah dan bencana!/. Bisa jadi, inspirasinya pun akan menjelajah sampai ke antariksa pikir masing masing pembaca, dan mampu membangkitkan inspirasi serta motivasi, bahwa mencoba hal baru kadang kadang memang perlu. Bagaimana… ?
Selamat berpuisi, dan teruslah berpuisi.
Penulis Kek Atek
Penikmat puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor. Jawa Barat, Indonesia.
#penikmatpuisi