Aku Ingin Pulang ke Rahimmu

Aku ingin kembali ke rahimmu, Ibu.
Berdoa dalam gelap ruang dan waktu
Supaya Allah tak jadi lahirkan aku
Di lorong itu ibu, kusebut namamu
Sambil berdoa, semoga aku tak jadi diri yang
Meruntu setiap hari meminta asi
Mengisi malam-malam
Yang mengganggu tidurmu

Aku ingin kembali ke rahimmu, ibu.
Konon katanya malaikat membawa pilihan-pilihan
Aku ingin memilih tak lahir karena akan menyusahkanmu
Membuat subuhmu bergetar
memanggil nama yang setiap pagi merepotkanmu
Yang setiap siang lupa berjanji
Akan pulang sebelum petang
Akan mandi sebelum matahari tenggelam
Akan ke masjid sebelum azan berkumandang

Aku mau pulang ke rahimmu, ibu.
Rumahku yang selama sembilan bulan membuatku separuh hidup
Namun membuatmu hampir meredup
Aku mau pulang ke rahimmu, ibu.
Mengamini tiap doa yang tanpa sengaja kudengar
“berilah aku anak soleh”
Dan waktu itu aku belum mengamininya
Pulangkan aku ke rahim Ibuku

Way Halim, Desember 2019

Nak, Ayah Pamit

Dia bangun, dengan sekelilingnya kemalangan
pada pagi yang penuh sesak dengan kidung ayam
tetapi kepada hari dia janji
segera menemukan separuh nafasnya

sebelah kakinya pincang
tapi ia masih sanggup menari, di atas doa-doanya

bekalnya sudah habis,
yang menyisa dari tahun-tahun yang belakang,
hanya secarik kertas bertuliskan:
“Nak, ayah pamit”

sekarang, hari-harinya lapar tulang
senjanya sesak rindu, malamnya penuh munajat:
“Semoga ayah segera pulang Ya Allah, bawa kaki bawa tulang”

Lampung, 5 Februari 2019

Tambar Duka

Dalam gemuruh waktu yang mengguruiku,
kau desah rindu yang memapahku jauh ke alam hening doa doamu.
Semburat angin lembut membelai lelapku.
Kau tambar paling mujarab bagi lukaku.

Kau timang fajar, membawakan aku cahaya di padam cita cita.
Padamu gelimang duka,
ditambarmu alur cerita jadi dzikir merdu tengah malam.

Tengadahmu sejuk, tangismu tawa luka,
di pelukmu harap berlabuh,
dalam serumu aku tumbuh.
Kau tambar duka yang paling utuh.

Candipuro, 7 Juli 2020

Tambar Luka

Angin gelisah mencekam,
gelayut suara lingsir mengiring padam cahaya, di malam luka.
Langit berpendar, wangi tubuhmu tambar.
Alunan tawamu suara damai
Di gejolak tubuhku, kau senyap menyembuhkan

Api beram di lemah sukmaku,
kau dinginan embun menetes di lembayung senja.
Apa-apa yang lalu redam dilarung gelombang,
laut melagu turun menurun, camar berduyun-duyun,
kau tiba di kesunyian membawa tambar perih kesepian.

Gemulai ombak menghantam wajah,
langgam lebamku lindap pelan-lahan,
disapumu tubuhku yang kotor dengan syahdu.
Aku luka dan kau tambar yang larut dalam tubuhku

Way Halim, 6 Juli 2020

Anggur

Anggur O Anggur
Kau luka, mengucur darah dari duka
Yang seolah bintang kejora
Merah suka cita direnggut kelam

O Anggur, terbang di awan
Aku menghuni tubuhmu yang lacur
Lucut akan permai dan
Luput akan cinta yang masih kita anggap harta

Binasakah hati yang setia menunggu?
Lindap dalam langgamnya gelas kaca
Kutahu luka, kutahu usia

Anggur O anggur, didekap kemarau
Kau embun pagi, melayang sampai malam

Way Halim, April 2020

Imam Khoironi. Lahir di desa Cintamulya, Lampung Selatan, 18 Februari 2000. Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Inggris di UIN Raden Intan Lampung. Menulis puisi, cerpen, esai dan artikel. Buku puisinya berjudul Denting Jam Dinding (2019/Al-Qolam Media Lestari). Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media cetak maupun online seperti Simalaba.com, Apajake.id, Kawaca.com, Radar  Cirebon, Malang Post, Riau Pos, Radar Mojokerto, Banjarmasin Pos, Bangka Pos, Denpasar Post, Pos Bali, Bhirawa, dan lainnya. Puisinya masuk dalam buku Negeri Rantau; Dari Negeri Poci 10 dan banyak antologi puisi lainnya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *