Alena berjalan menyusuri barisan bunga di belakang rumahnya. Raja Willem tampak menikmati pemandangan cantik di depan matanya. Ya, Noni Alena merupakan anak satu-satunya Raja Willem. Demam dan batuk membuat Noni Alena tidak bisa bermain selama satu mingu. Kebahagiaan Noni Alena saat ia sembuh dan langsung pergi ke taman bunga kegsukaannya.

“Apakah ayah memandangiku dari tadi?” Noni bertanya sambil menyimpan mawarnya di dalam saku bajunya.

“Kamu terlihat sangat cantik, anakku”

“Aku memang mirip ibu, ayah”

“Anak pintar” Raja Willem tertawa dengan menghampiri sang putri.

Raja Willem dan Sang Ratu duduk di meja makan dengan kue putu cantik yang tertata rapi di atas piring dengan ukiran yang mewah.

“Suamiku, apakah pasukan kita akan menyerang rakyat Klampok demi mendapatkan tanah dan hasil kebun mereka?” tanya Sang Ratu.

“Iya, Istriku. Kita harus menguasai wilayah Klampok demi menghidupi keluarga dan pasukan kita” jawab Sang Raja dengan mengambil kue putu di depannya.

Matahari terbangun dengan sinar panasnya. Rakyat desa Klampok masih sibuk dengan aktivitas bertani. Caping yang menghalangi terik matahari menyoroti wajahnya membuat mereka kuat berjam-jam di siang bolong.

“Sudah siap panen, Pak?” tanya bapak Narsun yang memikul pacul dengan baju yang belepotan lumpur.

“Sudah, Pak. Besok sudah siap dipanen” jaawab pak Gomad yang menghentikan aktivitasnya di sawah.

Klampok memang terkenal dengan lahan sawah yang sangat luas. Rakyat Klampok makan sehari-hari dengan hasil panennya sendiri. Lahan perkebunan dijadikan  tempat penanaman buah seperti jeruk, mangga, durian, dan pisang. Hidupnya sangat makmur. Orang Belanda yang menempati wilayah Klampok tidak merebut kekayaan mereka.

Namun, selama beberapa bulan Raja Willem menempati Klampok, ia ternyata memiliki rencana jahat untuk merebut kekayaan di desa Klampok. Desas-desus adanya pasukan Belanda mengobral-abrik desa Klampok, kini tersebar luas. Bahkan rakyat Klampok sudah menyiapkan senjata berupa bambu runcing dan clurit yang biasa mereka bawa ke sawah.

Alena bermain di taman dengan ibunya yang sedang menyirami tanamannya. Alena hanya anak yang baru menginjak dewasa, yang belum mengerti betul tentang peperangan yang akan terjadi. Apakah ia masih bisa bermain dan melihat bunga-bunganya tumbuh? Atau mati bersamaan dengan bunganya saat perang dimulai?. Ia belum mengerti dan masih menikmati indahnya taman bunga yang ia sukai.

“Ayah, kenapa melamun sejak tadi?” tanya Noni Alena.

“Tidak apa-apa, Nak. Lanjutkan aktivitasmu” jawab Raja Willem dengan memandang putri cantiknya.

“Ayah seperti sedang memikirkan sesuatu” tanyanya lagi.

“Tidak, Putriku.” jawab Raja Willem dengan tatapan tersenyum kepada Noni Alena.

Pada malam hari, Noni Alena tidak sengaja mendengarkan ibu dan ayahnya yang sedang membicarakan perang dengan rakyat Klampok. Raut wajahnya seakan menunjukkan kesedihan. Ia mencintai desa Klampok, disinilah ia setiap hari menyambut keindahan pagi dengan melihat bunga-bunga dan selalu ditemani ayah dan ibunya. Meskipun Alena tidak pernah keluar rumah, ia sangat senang berada di dalam rumah dan tidak pernah sekalipun ia merasa jenuh.

Keesokan harinya, Alena memberanikan diri pergi ke luar rumah dengan melihat aktivitas di desa Klampok. Petani yang sedang memanen hasil padinya, seorang anak yang bermain di tumpukan damen, ibu-ibu yang menyiapkan makanan untuk para petani, hingga burung berkicauan kesana-kemari. Ia mencintai desa ini, ia tidak mau ada peperangan antara keluarganya dengan rakyat Klampok. Alena tidak tega jika nantinya ia menyaksikan anak kecil tewas tertembak senjata pasukan Belanda, ia tidak tega melihat orang-orang desa Klampok menangisi orang yang berjuang dan mengorbankan nyawanya demi melindungi desa ini. Alena berharap kepada Tuhan agar peristiwa buruk tidaklah terjadi.

“Cantik sekali, Nak.” seorang ibu menyapa Alena denga tersenyum dan penuh kekaguman atas kecantikan Alena.

Alena hanya tersenyum dan menunduk malu. Ibu itu mengajak Alena untuk berteduh di teras rumahnya. Ia kasihan melihat seorang gadis yang terkena sinar matahari berdiri di tepi sawah. Kecantikan Alena semakin terpancar saat ia membuka topi di teras Bu Minah atau biasa dipanggil Mbok Minah. Kepangan rambut Alena yang membuat ia terlihat anggun dan lugu.

“Namamu siapa, Nak? Tanya Mbok Minah.

“Nama saya Alena, Bu.” dengan gaya bicaranya yang masih terdengar aksen Belandanya.

“Apakah kamu Noni Alena? Putri dari Raja Willem?” tanya Mbok Minah dengan hati-hati.

“Iya, Bu. Saya Noni Alena.” Alena menjawab dengan pelan sambil menunduk.

“Mau minum apa, Nak? Tanya Mbok Minah lagi.

“Air putih saja, Bu.” jawab Alena dengan sopan.

Alena meneguk air putihnya sampai habis. Mungkin ia haus karena terkena teriknya sinar matahari dan berdiri di tepi sawah. Tidak lama kemudian, seorang anak laki-laki sebaya dengannya datang menghampiri Mbok Minah.

“Mak, saya ingin makan. Emak masak apa hari ini?” tanya anak Mbok Minah yang sebaya dengan Alena.

“Masak tempe goreng, Ji.” jawab Mbok Minah.

“Noni Alena, perkenalkan ini Aji, anak saya” kata Mbok Minah yang memperkenalkan Aji dengan Alena.

“saya Alena” ungkap Alena kepada Aji diiringi senyumnya yang manis.

“Kulo Aji” jawab Aji dengan bahasa krama.

Alena tersenyum kembali saat Aji memperkenalkan dirinya. Alena dan Aji terlihat semakin akrab dengan mengobrol sekitar 30 menit. Alena mengajaknya main ke rumah, namun Aji belum mau untuk ke rumah Alena, karena mungkin masih malu. Alena sangat pintar dalam hal mengobrol, ia terlihat mudah bergaul dengan orang yang belum dikenalmya, bahkan ia tidak memandang dengan siapa ia berbicara. Alena semakin tidak ingin desa Klampok ini hancur karena perbuatan pasukan Belanda yang dikepalai oleh ayahnya.

Alena pulang dengan wajah yang berbinar dan muka sedikit memerah karena terik matahari menciumi wajahnya. Raja Willem melihat Alena yang berjalan sedikit menari-nari heran dengan tingkah anaknya. Tidak biasanya ia seceria ini.

“Anakku, habis dari mana?” tanya Raja dengan tangannya berisi cangkir teh.

“Aku dari luar, Ayah. Melihat orang-orang bekerja di sawah” jawab Alena.

“Tumben sekali kamu. Lekas mandi, lalu makan” perintah Raja yang mengkhawatirkan Alena.

Keesokan harinya, Alena pergi ke rumah Aji. Ia teringat janji Aji yang akan mengajak Alena pergi untuk bermain ketapel. Aji membuatnya sendiri untuk Alena. Teriknya matahari tak membuat mereka berhenti bermain.

“Ayo Alena, giliran kamu bermain ketapelnya, kan sudah aku ajarin berkali-kali. Ayo Alena” ucap Aji yang penuh semangat agar Alena memainkan ketapelnya.

“Baiklah” jawab Alena yang sedikit ragu.

Karet ditarik alena dan dilepaskan hingga peluru terlepas dari ikatannya. Peluru itu terpantul dari pohom dan mengenai pantat Aji yang tengah mencari kerikil untuk dijadikan peluru.

“Aduh!!” jerit Aji yang tiba-tiba terkena peluru Alena

“HAHAHAHAHAHAA…” Alena tertawa puas

“Maaf Aji, aku tidak sengaja” raut muka Alena yang sedikit memelas dengan menahan tawa.

“Kamu tidak apa-apa kan, Aji?” tanya Alena yang sedikit khawatir.

“Aku tidak apa-apa Alena” jawab Aji dengan raut muka sedikit kesal.

Mereka melanjutkan bermain ketapelnya dengan penuh canda tawa. Alena masih saja menertawai Aji yang terkena peluru Alena. Tidak lama kemudian, terdengar suara gemuruh warga. Teriakan, tangisan, dan suara ledakan terdengar bersamaan. Alena menduga jika peperangan sedang terjadi. Mereka bergegas lari ke rumah Aji. Mereka berlari sekencang mungkin, karena teriakan warga terdengar sangat kencang. Aji berlari dengan memanggil ibunya. Aji terus memanggil nama ibunya dan sesampainya di rumah, Aji menemukan ibunya yang sudah tergeletak dengan bekas tembakan di dadanya. Mbok Minah sudah berlumuran darah. Banyak warga yang tewas terkena tembakan, banyak juga pasukan Belanda yang tewas dengan bambu runcing menusuk dadanya. Aji berteriak dan menepuk pipi ibunya, berharap ibunya masih sadar. Namun kenyataannya, Mbok Minah sudah tidak ada denyut nadinya. Alena yang sedikit mnegetahui tentang pertolongan dalam menolong orang mengecek Mbok Minah, dan benar. Mbok Minah sudah tidak memiliki denyut nadi. Aji menjerit dengan air mata yang membanjiri pipinya.

“Maaaak…Emakk” teriakan Aji yang membuat air mata Alena menetes.

Alena berharap pada Tuhan semoga keluarganya tetap aman begitu juga dengan rakyat desa Klampok. Hujan mengguyur desa Klampok dengan derasnya. Langit membasahi mayat-mayat yang tergeletak di sepanjang jalan. Darah berlumuran di mana-mana, tangis keluarga korban memecah dengan air hujan yang membasahinya.

Alena ketakutan, ia berlari pulang ke rumah untuk melihat keadaan di rumahnya. Pikirannya menyabang, hatinya kacau melihat Mbok Minah yang tergeletak dengan luka tembakan yang merebut nyawanya. Ia sangat merasa bersalah dengan Aji, Mbok Minah, dan rakyat desa Klampok, kabupaten Banjarnegara. Karena perbuatan ayahnya, banyak warga yang tewas.

Sesampainya di rumah, Alena terkejut dengan pemandangan mengenaskan di rumahnya. Tidak ada seorangpun yang sadar, mereka sudah tergeletak. Alena menjerit memanggil ayah dan ibunya. Teriakan menyeruak dimana-mana. Hujan terus mengguyur desa klampok. Hingga banyak orang yang menyingkirkan mayat-mayat yang tergeletak di jalan mengubur mayat dengan sembarangan di dekat sawah yang terletak dekat dengan pemukiman warga. Disitulah para warga dan pasukan Belanda dikubur atau dipendam. Tidak lama, tempat itu diberi nama Cipendem, yang berasal dari kata ‘pendam’ untuk mengingat peristiwa itu. Setelah kejadian itu, Alena kabur dengan dibantu pasukan Belanda yang masih hidup. Mungkin ia pergi ke Belanda, tempat di mana ia masih memiliki saudara dari ayah dan ibunya.

*) Cerita rakyat di ambil dari Desa Klampok, kabupaten Banjarnegara, Provonsi Jawa Tengah.

Tasya Desan Fitriani, lahir di Banjarnegara, 22 Desember 2000. Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMP. Berdomisili di Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah. Sejumlah karyanya berupa puisi,

Resah, Bukan Aku, Gadis dan Selendangnya, Dalam Ingatan Kecil, Seseorang dengan Angannya dan esai yang berjudul Kejahatan Jepang tehadap Masyarakat Sosial Bawah di Indonesia selama Penjajahan dan Kejahatan Seskual di Dunia Perguruan Tinggi.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *