
Aku Menjadi Seorang Ayah
Pensil Kajoe
Semalam ponselku berisik; tak berhenti berdering baik yang menghubungiku lewat pesan WA atau telepon biasa. Mereka memakiku, orang-orang menganggapku sebagai laki-laki tak bertanggungjawab, pecundang dan segala sumpah serapah meluncur ke arahku.
“Percuma saja Kau jadi laki-laki kalau pada akhirnya lepas dari tanggung jawab.”
Bahkan ada perkataan yang lebih pedas, “Potong saja barangmu, percuma.”
Orang-orang menatapku dengan pandangan aneh. Karena aku menggigil hebat seperti orang sedang kedinginan. Sudah hampir dua botol wine aku habiskan tak juga bisa menghilangkan hawa dingin dalam tubuhku.
[iklan]
“Bodoh! Kalau sampai ketemu, akan kuhabisi kau. Untuk apa kau hidup kalau hanya untuk…” Belum sempat suara seseorang mengumpat, aku banting ponselku ke lantai hingga pecah menjadi beberapa bagian.
Musik dalam ruangan tak serta merta mampu menghiburku malah semakin menambah gendang telingaku seakan mau pecah.
“Di mana dunia hening itu?” batinku.
Aku pikir dengan memilihnya, semua akan berjalan seperti skenario yang aku harapkan. Tapi justru sebaliknya, jauh panggang dari api. Aku telah terlanjur masuk dan memerankan lakon yang sedang berlangsung ini.
Suara rengek anak kecil dalam gendongan ayahnya yang berlari di bawah guyuran hujan, mencari tempat berteduh di bawah bekas telepon umum koin yang lama terbiarkan. Laki-laki itu tampak begitu perhatian pada buah hatinya. Disekanya wajah dan rambut anaknya dengan sapu tangan. Kulihat keduanya tengah bercakap-cakap tapi tak terdengar suaranya karena tersaingi oleh derasnya hujan.
“Masa kecil? Aku ingin kembali ke masa kecil. Mungkinkah?” Tetiba kerinduan pada masa kecil membayang. Menarikku pada kenangan saat kedua orang tuaku begitu khawatir apabila sudah hampir maghrib aku belum juga pulang ke rumah. Aku masih asyik bermain bersama teman-teman sampai lupa waktu.
“Mandi, lalu ganti bajumu. Nanti kita makan bersama,” ucap ayah.
Aku berlari kecil menuju kamar mandi, di sini aku paling senang berlama-lama bermain air, bahkan saking bandelnya aku berendam di dalam bak mandi. Pernah suatu ketika Ibu berteriak saat melihat bak mandi penuh busa sabun. Ibu menjewer kupingku hingga memerah, aku hanya bisa menunduk tanpa berani menatap matanya.
“Ayo, kita makan dulu. Nanti ceritakan pada ayah pengalaman apa saja yang kamu dapatkan hari ini,” suara ayah terdengar tegas tapi begitu bijaksana. Tanpa ada penghakiman sama sekali.
Tangis anak dalam gendongan ayahnya bertambah kencang saat terdengar suara petir begitu keras. Dengan sabarnya, sang ayah mencoba menenangkan buah hatinya yang tampak ketakutan. Dulu ayah juga melakukan hal yang sama ketika aku seumuran anak kecil itu. Semua orang tua di dunia ini dengan segenap kasih sayang selalu akan melindungi anak-anaknya bagaiamanapun, mereka akan berusaha agar buah hatinya akan baik-baik saja.
Namun entah kenapa justru di saat aku sebesar ini justru begitu membencinya. Ayah masih menganggapku anak kecil yang harus selalu diawasi, bahkan untuk memilih jalan hidup atau keinginanku ayah ikut mendominasi. Aku tak bisa berbuat apa-apa, untuk melawan pun rasanya tak bisa, mustahil dan sangat pamali ibarat titah Raja, apa yang keluar dari mulut ayah itu adalah sabda pandita ratu; sebagai seorang abdi dalam hal ini anak kandungnya, aku harus tunduk dan mengiyakan apa yang menjadi kehendak ayah.
“Sudahlah, Pak. Jangan terlalu memaksakan kehendak pada Saptaji. Biarkan dia memilih siapa yang akan dinikahinya. Beri dia kepercayaan. Ibu yakin Saptaji punya pilihan terbaik.” Suatau malam aku mendengar Ibu sedang berusaha membujuk ayah agar tak terlalu keras memaksakan keinginannya padaku. Tapi, usaha ibu masygul. Ayah tetap bersikukuh pada pendiriannya.
Kupasang lagi casing ponsel dan batereinya yang tadi sempat buyar karena kubanting. Lalu kunyalakan kembali untuk sekadar melihat jam.
“Hampir jam duabelas malam rupanya,” gumamku.
Ada dua belas panggilan tak terjawab, lima puluh pesan WA, ah kuabaikan saja; paling mereka menyuruhku pulang.
“Pulang? Buat apa aku pulang untuk orang yang tak kucintai.” Aku menggeram.
“Egois kamu. Kalau kau tak mencintainya lalu kenapa dia sekarang sedang mengandung anakmu?! Laki-laki macam apa kau ini. Tak tahu diri. Pulanglah, paling tidak kau peduli pada calon anak yang berada dalam rahimnya.” Satu suara entah datang dari mana tetiba memaksaku untuk segera pulang padahal tak ada orang di dekatku. Ayah dan anak yang tadi berteduh di bawah bekas telepon koin pun sudah lama pergi.
Kalimat terakhir yang diucapkan oleh suara tanpa wujud itu selalu terngiang, seorang calon anak dalam rahimnya.
“Calon anak? Anak siapa? Anakku?” aku bertanya pada diri sendiri.Kalau benar aku akan punya anak, berarti aku ini calon ayah. Aku akan menjadi ayah yang harus siaga menjaga dan melindungi anaknya dari apapun yang bisa membahayakan diri anaknya. Semua ayah di dunia ini pun akan melakukan hal yang sama pada anak-anaknya, seperti yang kulihat tadi di depan mata; seorang ayah menggendong anak laki-lakinya saat hujan deras.
Sama seperti seorang perempuan ketika dia sudah menikah, kehadiran buah hati di tengah-tengah keluarga yang baru dibangunnya merupakan anugerah terindah. Dulu ayahku pernah bercerita saat ibu dinyatakan hamil oleh seorang bidan betapa senangnya ayah. Dia tak sabar menantikan kelahiran buah hatinya, aku.
“Kau tahu, Ji? Saat ibumu mengandungmu dulu, betapa ayah ingin bisa segera menggendongmu dan mengajakmu bermain, menjadi teman ngobrol ayah. Karena kau adalah anak semata wayang ayah.” Air mataku menetes, kata-kata ayah telah membuatku sadar bahwa bagaimanapun keadaan istrinya, meski tak mencintainya tapi ketika seorang laki-laki sudah berani menikahi otomatis sudah sah menjadi seorang suami apalagi sampai si istri hamil, sang suami memikul dua tanggung jawab yang harus dijaganya. Sebagai suami dan ayah bagi calon buah hatinya.
“Ayah, terima kasih. Kau telah menyadarkan kekhilafanku. Kau juga yang mengajarkan bagaimana seharusnya menjadi seorang suami, ayah dan menjadi anak. Tentu ayah juga tidak mau jika aku membangkangmu. Begitu juga aku tidak mau kalau nanti anak-anakku berani melawanku.”
Aku bergegas menstarter motorku, aku harus pulang demi istriku, demi calon anakku, karena aku akan punya momongan, aku akan menjadi ayah.
Tumiyang, 26 Desember 2019
PENSIL KAJOE, penulis yang beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di berbagi koran lokal maupun regional ini mengaku bertanah lahir di Kabupaten Banyumas. Dia juga telah membukukan puisi-puisinya menjadi 16 Antologi Tunggal dan 20 Antologi bersama. Menulis baginya adalah kehidupan