Pada dekade dewasa ini, tentu hampir semua pecinta sastra khususnya puisi telah mengetahui tentang sastrawan Abdul Hadi WM. Sastrawan ini, menurut Ensiklopedi Sastrawan Indonesia di laman https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Abdul_Hadi_W_M mempunyai nama lengkap Abdul Hadi Widji Muthari yang lahir di kota Sumenep, Madura, Jawa Timur pada tanggal 24 Juni 1946 [1].
Abdul Hadi WM tertarik pada ranah sastra sejak di Madura di usia Sekolah Dasar dan SMP, kemudian dilanjutkan di SMA di Surabaya. Kuliah pun di Fakultas Sastra jurusan Filologi di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1965 – 1967 sampai Sarjana Muda, dan berlanjut ke Fakultas Filsafat sampai tingkat doktoral 1968 – 1971. Pada tahun 1997 meraih gelar Doktor (Ph.D.) di Universitas Sains Malaysia, Penang, dengan disertasi berjudul “Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh Hamzah Fansuri”.
Sebagai penyair, Abdul Hadi W.M. sudah melahirkan beberapa kumpulan puisi, misalnya: Laut Belum Pasang (Litera, 1971), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya, 1975), Cermin, (Budaya Jaya, 1975), Meditasi (Budaya Jaya, 1976).
Pada tahun 1976 kumpulan sajak Arjuna in Meditation ditulis bersama Darmanto Yatman dan Sutardji Calzoum Bachri dalam bahasa Inggris diterbitkan di Calcutta, India, pada tahun 1976, editornya adalah Harry Aveling.
Kemudian berlanjut pada kumpulan puisi Tergantung pada Angin (Budaya Jaya, 1977), Anak Laut Anak Angin (1984), dan buku kumpulan puisi berbahasa Inggris yaitu At Last We Meet Again (1987), lalu berkarya lagi melahirkan buku kumpulan puisi berjudul Pembawa Matahari (Bentang, 2002).
Sajak-sajak Abdul Hadi W.M. telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, yakni: Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Spanyol, Cina, Korea, Jepang, Thailand, Urdu, Arab, dan Bengali.
LA CONDITION HUMAINE SATU DIANTARA PUISI SANG PENYAIR
Pada saat ini puisi puisi penyair Abdul Hadi WM mudah ditemui di beberapa laman internet. Mesin pencari online akan segera mendapatkannya ketika si pencari memasukkan kata kunci, misalnya: puisi, Abdul Hadi WM.
Satu diantara karyanya di bawah ini juga penulis dapatkan dari mesin pencari online. Kemudian dipilih melalui laman Jendela Sastra, dan buku Semiotik dalam Puisi Sufistik. Adapun puisinya adalah [2] & [7]:
Puisi besutan Abdul Hadi WM di atas bertiti mangsa tahun 1975 menggunakan judul berbahasa Perancis /LA CONDITION HUMAINE/. Titi mangsa biasanya menandakan tahun kelahiran suatu karya tulis, termasuk puisi, berarti tahun 1975 adalah tahun kelahiran dari puisi /LA CONDITION HUMAINE/.
Sebagai langkah awal menikmati: rasa, logika, dan makna puisi; dari judulnya bisa timbul pertanyaan:
“Bagaimana sang penyair yang orang Indonesia mendapatkan judul berbahasa Perancis?”
“Apakah sebelum lahirnya puisi tersebut, Sang Penyair pernah bertandang ke Perancis?”
“Atau kah tidak perlu ke sana, cukup melalui informasi yang didapatkan dari berbagai sumber pustaka semisal: Koran, Majalah, Buku, Radio, TV, atau pun Cerita seseorang di jaman itu?”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sang penikmat puisi dirasa perlu melakukan telusur dini tentang seputar judul tersebut sebelum menikmati puisinya.
LUKISAN LA CONDITION HUMAINE
Jika menelusuri melalui mesin pencari online, ada beberapa laman yang memberikan informasi tentang kalimat /LA CONDITION HUMAINE/, misalnya bahwa kalimat ini berasal dari judul lukisan Pelukis René François Ghislain Magritte (bahasa Prancis: ʁəne fʁɑ̃swa ɡilɛ̃ maɡʁit) yang hidup pada 21 November 1898 – 15 Agustus 1967 di Negara Belgia. Lukisan /LA CONDITION HUMAINE/ yang selesai pada tahun 1933, tampak seperti di bawah ini [3].
Pelukis René François Ghislain Magritte di masa hidupnya mengalami perjuangan yang keras bersama istrinya Georgette, di sekitar kota Brussel, Belgia. Untuk menopang hidupnya, berbagai macam pekerjaan telah dilakoni, misal sebagai pelukis, dan pekerja periklanan, sampai bisa melahirkan lukisan karya terbesarnya, semisal lukisn dengan judul La Condition humaine (The Human Condition) (1933), La Durée Poignardée (Time Transfixed) ( 1938), dan L’Empire des lumières (The Empire of Light) (1949).
René François Ghislain Magritte termasuk pelukis beraliran surealis yang memadukan antara kenyataan, pikiran, alam mimpi, kandungan visual dan filosofis. Adapun obyek lukisnya biasa biasa saja, dan tampak tak bermakna, tetapi ketika dituangkan di kanvas menjadi lukisan yang bermakna luar biasa, penuh pesan tersembunyi dan kaya akan misteri [4].
Hal ini terungkap seperti pada lukisan LA CONDITION HUMAINE di atas, seolah tertangkap visual adanya lukisan tambahan di dalam lukisan, yaitu lukisan yang menempel di dinding menyatu dengan lukisan yang ada di tiang penyangga lukisan, keduanya membentuk satu kesatuan baru yang unik, seolah menjadi lukisan di dalam lukisan, dan mengundang pemaknaan beragam bagi penikmatnya. Dari uraian ini, kemudian bisa timbul pertanyaan:
“ Mungkinkah lukisan LA CONDITION HUMAINE ini telah menginspirasi Sang Penyair Abdul Hadi WM untuk memberikan makna dari sisi puisi, sehingga bisa melahirkan puisi dengan judul yang sama dengan lukisan tersebut?”.
Sebelum menjawabnya perlu melakukan telaah puisi yang dihubungkan dengan: makna, logika, dan rasa; dari lukisan LA CONDITION HUMAINE, maupun dari puisinya.
MENIKMATI PUISI LA CONDITION HUMAINE
Sebagai langkah memudahkan penikmatan Puisi berjudul /La Condition Humaine/ karya penyair Abdul Hadi WM, Puisi disusun menjadi dua bait, yaitu: bait 1 terdiri dari (6) baris, sedangkan bait ke 2 terdiri dari (4) baris. Masing masing bait dan baris diberi nomor urut.
Susunan puisi /La Condition Humaine/ menjadi seperti di bawah ini.
LA CONDITION HUMAINE
1.
Di dalam hutan nenek moyangku (1)
Aku hanya sebatang pohon mangga(2)
— tidak berbuah tidak berdaun –(3)
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh (4)
Memang tak subur, nak!” sambil makan (5)
buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya (6)
2.
Dan kadang malam-malam (1)
tanpa sepengetahuan istriku (2)
aku pun mencuri dan makan buah-buahan (3)
dari pohon anakku yang belum masak (4)
1975
Telusur penikmatan akan dilakukan dari bait 1 yaitu:
/1.
Di dalam hutan nenek moyangku (1)
Aku hanya sebatang pohon mangga(2)
— tidak berbuah tidak berdaun –(3)
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh (4)
Memang tak subur, nak!” sambil makan (5)
buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya (6)/
Sebelum menelusuri: makna, rasa, dan logika dari bait 1 di atas; terlebih dahulu akan dicari hubungan antara Puisi /LA CONDITION HUMAINE/ karya penyair Abdul Hadi WM dari Jakarta, Indonesia di tahun 1975, dan lukisan LA CONDITION HUMAINE karya pelukis René François Ghislain Magritte dari Brussel, Belgia di tahun 1933.
Sekitar 42 tahun setelah lukisan diselesaikan, lahir Puisi berjudul sama dengan judul lukisan. Realitas ini menimbulkan tanya, mirip dengan pertanyaan sebelumnya, yaitu:
“Adakah Sang Penyair terinspirasi oleh lukisan, kemudian melahirkan puisi dengan judul yang sama dengan judul lukisan, seolah olah memaknai lukisan dalam bait bait puisi?”
Untuk menjawabnya dirasa perlu menelusuri makna dari diksi judul tersebut, kemudian masuk ke bait demi bait, dan baris demi baris. Diksi /LA CONDITION HUMAINE/ berbahasa Perancis bermakna /kondisi manusia/. Selanjutnya timbul tanya lagi:
“Apakah terdapat keterkaitan pesan dan kesan dari kedua bentuk seni berbeda dengan judul yang sama, yakni seni sastra puisi, dan seni lukis tersebut?”
Jawaban sekilasnya tentu bisa berawal dari tinjauan yang mengarah pada gaya Pelukis René François Ghislain Magritte sebagai pelukis surealis dalam pengertian mampu menghadirkan karya lukis kontradiksi antara: konsep mimpi, kenyataan, dan lukisan yang menunjukkan objek nyata dalam situasi yang tidak mungkin berlangsung di dunia nyata, semisal mimpi dan alam bawah sadar manusia [5]. Dari sini akan ditelusuri lanjut melalui jawaban atas pertanyaan:
“Adakah suasana surealis, juga terjejak di puisi Sang Penyair Abdul Hadi WM.?”
Jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut, bisa berawal dari memahami makna seperti yang telah disampaikan bahwa diksi /LA CONDITION HUMAINE/ berarti /kondisi manusia/. Kata kondisi mempunyai arti keadaan yang bersyarat tertentu, hal ini sesuai dengan pengertian kata kondisi di KBBI [1]. Pengertian diksi /kondisi manusia/ bisa diprediksi adanya keadaan manusia pada persyaratan tertentu di: ruang, waktu, dan peristiwa tertentu juga. Penggunaan kata kondisi misalnya pada kalimat yang terkait /kondisi manusia/, yaitu: kemarin ketika dia berada di rumah, kondisinya sehat, bugar, dan baik baik saja.
Bait 1, dan baris (1) dari puisi di atas mengundang prediksi terkait pandangan ahli sastra, misalnya Riffaterre menyampaikan bahwa bahasa puisi berbeda dengan bahasa prosa, bahasa puisi mengandung tanda tanda bermakna, sedangkan bahasa prosa cenderung apa adanya, tanpa muatan arti tersembunyi. Tanda tanda bahasa ini dikenal sebagai semiotik bahasa, yang menurut de Saussure bahwa semiotik bahasa memiliki tiga dasar terpenting, yaitu: sign (tanda), signifier (penanda), dan signified (petanda) [7].
Pandangan dan uraian di atas akan digunakan sebagai peralatan semacam pisau bedah untuk gelaran penikmatan puisi /LA CONDITION HUMAINE/ dari judul sampai ke baris terakhir.
Penelusuran penikmatan puisi berikutnya, dimulai dari baris (1), (2), dan (3) di bait (1), sebagai berikut:
/Di dalam hutan nenek moyangku (1)
Aku hanya sebatang pohon mangga(2)
— tidak berbuah tidak berdaun –(3)/
Diksi /Di dalam hutan/ dan diksi /nenek moyangku/ di baris (1) bisa memberikan tanda awal bahwa tentang pemahaman antara baris (1) sampai dengan baris (3). Tokoh /ku/ lirik di dalam diksi /nenek moyangku/ memberi tahu adanya kondisi kemanusiaan yang saling terkait antara tokoh /aku/ lirik dengan /hutan/ milik /nenek moyang/. Di sini ada semacam rantai generasi antara tokoh /aku/ lirik dengan nenek moyang, dan hutan [8]. Keterhubungan antar generasi ini dapat diperkirakan ternyata masih terpelihara dengan baik. Hal ini bisa dirasakan ketika memasuki baris ke (2) dan ke (3). yaitu: /Aku hanya sebatang pohon mangga(2)/ dan /— tidak berbuah tidak berdaun –(3)/. Sesuai dengan pengertian “kondisi” yang telah disampaikan bahwa diksi kondisi selalu memerlukan syarat jika akan dikatakan sebagai sebuah kondisi. Demikian juga ternyata tokoh /aku/ lirik pun juga mengalami kondisi yang tidak leluasa ketika berada di /Di dalam hutan nenek moyang/, padahal hutan tersebut boleh jadi adalah milik nenek moyangnya. Justru di hutan tersebut tokoh /aku/ lirik hanyalah menjadi /sebatang pohon mangga/ yang /tidak berbuah tidak berdaun/. Namun demikian masih bisa dimaknai dengan pikiran positif bahwa tokoh /aku/ lirik masih bisa menjadi bagian dari hutan tersebut, meskipun dalam kondisi /tidak berbuah tidak berdaun/, apalagi jika diteruskan pada bait berikutnya, yaitu baris (4), (5), dan (6) sebagai berikut:
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh (4)
Memang tak subur, nak!” sambil makan (5)
buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya (6)/
Baris ke (4), (5), dan (6) semakin memberikan potensi meningkatkan hasrat untuk menikmati puisi tatkala bisa diprediksi bahwa keterhubungan antar generasi /kondisi manusia/ tersebut, memang nyata. Hal ini terungkap dalam diksi tanda tanda adanya rentetan generasi, yaitu melalui tokoh lirik berupa diksi: /ku/, /nenek moyang/, /kau/, /nak/, ayah, dan /kakek/. Sebenarnya keterhubungan ini bisa dikatakan bahwa /kondisi manusia/-nya di puisi /LA CONDITION HUMAINE/ ini sudah lengkap memberikan tanda tanda yang sedikit rumit untuk ditafsirkan, karena di bait 1 tersebut terasa ada kandungan bahasa realita berupa informasi antar generasi dari tokoh /aku/ lirik, /ayah/, dan /kakek/ yang dipadu dengan diksi yang cenderung berbentuk gaya metafora seperti: /hutan/, /sebatang pohon mangga/, /tidak berbuah tidak berdaun/, yang diperkuat dengan diksi /Tanah tempat kau tumbuh, Memang tak subur, nak!/, dan diksi /sambil makan buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya/. Perpaduan dengan beberapa penguat diksi yang cenderung bergaya metafora tersebut akan menambah prediksi bahwa diksi diksi itu tidak pernah terjadi jika di alam nyata, kecuali dengan penafsiran yang panjang dan rumit. Gaya ungkap seperti ini mengingatkan pada gaya Pelukis René François Ghislain Magritte yang menganut gaya surealis dalam giat melukisnya, seolah ada lukisan di dalam lukisan. Jika hal ini dianalogikan ke puisi /LA CONDITION HUMAINE/ karya Penyair Abdul Hadi WM terasa ada puisi di dalam puisi. Sebagai penegas dari analogi ini, penikmatannya bisa diteruskan pada bait 2, di bawah ini.
2.
Dan kadang malam-malam (1)
tanpa sepengetahuan istriku (2)
aku pun mencuri dan makan buah-buahan (3)
dari pohon anakku yang belum masak (4)
Ketika langkah penikmatan puisi sampai pada bait 2, sang penikmat akan dihadapkan pada kerumitan tambahan dalam hal tafsir puisi, terutama dengan tayangan baris (1) sampai dengan (4). Baris ini menyuguhkan diksi yang biasa biasa saja, hampir tanpa metafora. Bahkan boleh dibilang di bait 2 ini gaya bahasanya mirip dengan gaya bahasa prosa. Padahal gaya bahasa puisi berbeda dengan prosa. Meskipun demikian karena bait 2 ini tidak terlepas dari bait 1, maka tafsir intertekstual bisa diterapkan pada seluruh bait untuk mendapatkan: makna, logika, dan rasa dari keseluruhan puisi [9]. Secara intertekstual terhadap masing masing bait puisi, dapat dirasakan adanya logika baru bahwa bait 2 di atas berpotensi menjadi semacam puisi mini di dalam puisi besar /LA CONDITION HUMAINE/, dan penyatuan keduanya sanggup memicu lahirnya makna dan rasa yang baru. Adapun makna, rasa, dan logika yang berpotensi dilahirkan adalah adanya semangat kejujuran dari tokoh /ku/ lirik, seperti yang disampaikan pada sajak di baris (1) yaitu: /Dan kadang malam-malam (1)/, dan di baris (2) yakni: /tanpa sepengetahuan istriku (2)/. Meskipun ada aroma menghindar dari pengetahuan tokoh /istri/ lirik, namun tetap mengaku bahwa tokoh /aku/ lirik telah mencuri dan memakan buah buahan dari pohon anaknya, seperti disampaikan pada baris ke (3) dan (4) yaitu: /aku pun mencuri dan makan buah-buahan (3)/ dan diksi /dari pohon anakku yang belum masak (4)/. Padahal jika masih ada hubungan keluarga, yaitu ayah dan anak, maka pada umumnya yang berlaku di masyarakat tradisional Indonesia, bahwa ayah dan anak akan saling memaklumi jika buah dari tanamannya diambil dan dimakan tanpa ijin oleh sang ayah.
Perbuatan mengambil tanpa ijin tersebut, biasanya tidak dikategorikan sebagai tindakan kriminal pencurian, tetapi justru menjadi kegembiraan tersendiri bagi si anak, apabila bisa berbakti pada ayahnya, melalui buah tanamannya yang dimakan oleh ayahnya tanpa ijin.
Namun demikian bagi sang ayah, dalam hal ini adalah tokoh /aku/ lirik memandang bahwa perbuatan tersebut termasuk ke dalam tindak pencurian, yang mungkin tidak layak untuk dilakukan, meskipun buah tersebut milik anaknya sendiri sekalipun.
Dari bait 2 ini dapat diduga bahwa Penyair berhasil memasukkan potongan kisah kemanusiaan yang dituangkan di bait 2, menjadi serupa: makna, logika, dan rasa yang menyatu dengan bait 1, seolah menjadi satu kesatuan utuh dari puisi /LA CONDITION HUMAINE/.
Ungkapan bernuansa kejujuran di baris (3) dan (4) tersebut berpotensi menjadi serupa tanda bahwa tokoh /aku/ lirik memang menjunjung tinggi nilai nilai kejujuran terkait dengan kemanusiaan, meskipun berurusan dengan anaknya sendiri sekalipun. Semangat kejujuran ini berpotensi bisa dilanjutkan menjadi semacam kekuatan spiritual tersendiri, dan misalnya bisa terwujud dalam laku sufi keagamaan tatkala berpuisi, maupun di kehidupan nyata sehari hari.
KEPIAWAIAN PENYAIR ABDUL HADI WM
Dari telusur giat penikmatan puisi yang berjudul /LA CONDITION HUMAINE/ karya Penyair Abdul Hadi W.M. di atas, dapat dikatakan bahwa Sang Penyair telah berhasil mengadopsi semangat diksi /kondisi manusia/ dari lukisan LA CONDITION HUMAINE karya pelukis surealis Belgia yang bernama René François Ghislain Magritte menjadi bentuk seni yang berbeda yaitu berupa seni sastra puisi. Disinilah tampak kepiawaian penyair dalam menemukan terapan semangat surealis dari media lukisan ke media sastra puisi, yakni melalui pilihan diksi diksi sederhana, namun mempunyai muatan: makna, logika, dan rasa luar biasa; terutama dalam memberikan ruang abstrak keragaman tafsir atas puisi tersebut. Sehingga tafsir yang tadinya tampak sulit, bisa semakin sulit, dan atau makin tampak apa hikmahnya, ketika selesai membaca, dan menikmati puisi tersebut.
Semuanya terserah pembaca…
Rumpin, 08 Maret 2024
Penulis: Kek Atek
Penikmat Puisi tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek
- —, 2016, Abdul Hadi W.M. (1946—…) Ensikopedia Sastra Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Abdul_Hadi_W_M
- —, 2014, Puisi-Puisi Abdul Hadi W.M., Jendela Sastra https://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/ puisi-puisi-abdul-hadi-wm
- —-, —, René Magritte, Wikipedia https://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Magritte
- Lisa Lipinski, 2023, The Possible in the Life and Work of Rene Magritte, The Palgrave Encyclopedia of ossible, 1267-1275, https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-3-030-90913-0_151
- —, —, Pengertian Surealisme: Sejarah, Unsur, Ciri Jenis, dan Tokohnya, Gramedia Blog https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-surealisme/
- —, —, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.web.id/kondisi
- Dr. Hj. Ida Nursida, MA, Hj. Merry Choironi, M.Ag, 2020, Semiotik Dalam Puisi Sufistik, Media Madani, Serang
- —, 2019, Puisi: La Condition Humaine (Karya Abdul Hadi WM), Sepenuhnya https://www.sepenuhnya.com/2019/02/puisi-la-condition-humaine.html
- Septoriana Maria Nino, 2020, Intertekstualitas Puisi “Di Jembatan Mirabeau” karya Agus R. Sarjono dan Le Pont Mirabeau karya Guillaume Apollinaire, NUSA, Vol. 15 No, 3 Agustus 2020, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/issue/view/2925