Puisi seperti perjalanan, seorang penyair biasanya akan menuliskan pengalaman perjalanan lahir dan batin, sehingga kata-kata yang terpilih pada puisi memiliki kekuatan makna yang universal dan multitafsir. Bolehlah puisi di bawah ini memberikan ruang-ruang perjalanan dalam puisi. (redaksi)

[iklan]

Yordan

banyak orang melakukan gosip
ketika mengunjungi tepi sungai.

langit putih,
sungai bisu,
matahari berdarah,
patahan-patahan kayu layu.

setelah ini, mukjizat apalagi yang akan ngantuk di ranjang kita setiap malam ?

seorang lelaki menyeburkan diri ke dalam sungai.
katanya, aku membenci air tapi selalu merindukannya.

perlahan ia menutup matanya
dan tenggelam dalam diam sungai
sebelum ayam berkokok, setelah surga tinggal separuh.

Banyak orang masih melakukan gosip
ketika mencuci air mata
di tepi sungai yang terlalu anu.

(2020)

Di Langit Malioboro

Aku melewati jalan
Dengan kamera yang sibuk mencari rahasia
(barangkali ia temukan rahasia setelah keabadian mendekat pada polos diriku)
Dan aku akan selalu salah
Dalam menafsirkan keabadian

“waktu adalah yang selalu abadi.”
Kataku selalu.

30 menit kemudian
Sebelum malam tiba
Membawa penyakitnya yang selalu kambuh
Seorang perempuan berparas dingin memanggil hangat namaku.

Suaranya adalah isyarat,
Aku lemah dalam segala,
Perihal melupakan.

Setelah itu,
Kita saling bercakap-cakap
Tanpa kata,
Tanpa percakapan,

Hingga malam tiba,
kudekap paras dinginmu,
dan kita tak pernah sembuh.

(2018)

Ketika Kau Pergi

Ketika kau pergi
Segala jalan untuk datang
Tak lagi nyala api yang seringkali
Kau nyalai merahnya dengan krayon tua masa kecilmu

Ia telah menjelma pekat pada kopi yang kau suguhkan
Setiap kali kau bosan mencibir kesepian
Yang berulang kali datang tanpa permisi.

Ketika kau pergi
Segala hari untuk kembali
Tak lagi hangat doa yang seringkali
Kau daraskan ketika hendak mengunjungi minggu

Ia telah menjelma lagu-lagu cinta yang kau latunkan
Setiap kali pucuk ilalang mengudara
Kehadirat pagi buta yang berdarah-darah

Ketika kau pergi
Segala tempat untuk disinggahi
Tak lagi mekar bunga yang seringkali
Kau biarkan layu dalam kamarmu

Ia telah menjelma daun-daun kering yang gugur
Setiap kali musim gugur tiba dan bumi
Menyediakan beberapa kekalahan yang luka

Ketika kau pergi
Segala aku adalah sebagian kau,
Mengucap kenang dengan lupa.

(2020)

Rey Baliate, adalah alumni seminari st. Rafael-Oepoi. Ia sekarang ini berdomisili di Maumere. Bergiat di Komunitas Sastra Djarum Scalabrini.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *