Liburan Semasa Corona

Romi Afriadi

“Sekolah mulai libur lagi pekan depan, Mak,” aku bersenandung gembira menyampaikan kalimat bahagia itu sepulang sekolah. Saat Amak sedang menampi beras jatah pembagian dari pemerintah yang dibagikan dua pekan lalu.

“Jadi apa sekolahmu akan dilanjutkan lewat enternet lagi?”

Aku mengangguk, dan Amak langsung cemberut menanggapinya. Dulu pernah terjadi pembelajaran lewat internet itu. Dan Amak pusing, karena di rumah kami, tidak ada HP.

“Sekolah macam apa sekarang ini! sekolah kok main-main.”

Amak lalu mengumpat, menuding pemerintah tidak becus mengurusi pendidikan. Baginya belajar lewat handphone itu sama sekali tidak berfaedah.

Namun aku tak terlalu menjadikan ketiadaan handphone itu sebagai masalah. Aku bergembira karena libur itu akan memberi aku banyak waktu untuk bermain-main di luar rumah. Aku pun sudah bersepakat dengan kawan-kawan untuk mengagendakan berbagai kegiatan bersama selama sekolah masih tutup.

“Lagi pula, di kampung ini tidak ada orang yang terkena Corona. Amak rasa, Corona itu hanyalah politik belaka.”

Aku tak lagi peduli dengan apa yang Amak sampaikan. Angan-anganku sudah mengembara tentang permainan seru yang akan kami mainkan.

***

Aku selalu suka libur, tak penting liburnya karena apa. Yang jelas, mendapat jatah libur berhari-hari itu bagaikan mengadakan sebuah pesta. Sebaliknya aku memang tidak suka belajar, membosankan sekali. Tiap hari harus menyalin tulisan guru di papan tulis, atau mendengarkan ceramah guru yang isinya sering diulang-ulang dari minggu ke minggu.

Sialnya, para guru selalu menyuruh murid untuk diam mendengarkan penjelasannya. Para guru itu tidak tahu, belajar itu membuat mata kantuk. Kadang aku membayangkan, akan sangat menyenangkan jika pada waktu-waktu tertentu, guru-guru mendongeng saja di depan kelas. Seperti yang dulu sering dilakukan almarhum nenek padaku setiap hendak menjelang tidur. Bercerita tentang kecerdikan si Kancil atau keperkasaan si raksasa. Itu akan lebih baik, dari pada guru harus menerangkan rumus-rumus perkalian dan aljabar, atau pengertian suatu istilah yang namanya pun sukar sekali disebut.

[iklan]

“Rohani, kamu sedang apa? Kenapa kamu tidak menyimak. Dasar bocah nakal!”

Begitu biasanya para guru meneriakkan namaku saat aku terlihat melongo di bangku. Biasanya jika itu terjadi, aku akan pura-pura memperhatikan sebentar. Lalu setelahnya kembali asyik dengan duniaku; mengarang atau menggambar sesuatu yang melintas dalam pikiran.

Makanya aku senang sekali ketika kabarnya sekolah akan ditutup lagi akibat wabah Corona. Hatiku bersorak. Walau disaat bersamaan, beberapa kawanku mulai menyuarakan tentang sukarnya belajar di rumah lewat internet. Aku tak memikirkannya, bagiku tidak ke sekolah itu berarti libur. Dan itu menyenangkan.

“Kalau kamu tidak punya HP, bagaimana caranya belajar di rumah, Ani?” sepulang sekolah, Asih menanyaiku. Ia kawan sebangkuku di kelas.

“Aku tidak ikut belajar,” jawabku cuek.

“Berarti kamu akan ketinggalan,” balas Asih.

Aku tak menyahut. Dan berlalu.

Mau bagaimana lagi. Jika pun aku meminta kepada Amak untuk membelinya, ia tak akan mampu. “Kebutuhan perutmu lebih penting dibandingkan beli HP,” pasti begitu kata Amak. Meski masih duduk di kelas 1 SMP, aku tahu kesusahan hidup keluarga di rumah. Apalagi masa kini, Amak sering kali mengeluh tentang harga-harga yang mahal.

“Bisa sekolah saja sudah mujur. HP itu bukan murah harganya,” ujar Amak, saat aku dulu menyampaikan.

Biasanya jika sudah begitu, sumpah serapah Amak untuk pemerintah akan segera berhamburan.

“Keterlaluan sekali pemerintah sekarang, anak-anak dilarang untuk belajar di sekolah. Alasannya selalu karena Corona. Zaman sekarang, semuanya itu dibikin politik.”

“Kau tengok sekarang, tempat-tempat wisata dibuka, pasar juga dibuka. Tapi sekolah ditutup.”

Aku sudah bosan mendengar Amak menyatakan itu.

“Kau tahu apa maksud pemerintah menutup sekolah ini?” Amak selalu menuding dan menunjuk jauh sekali. “Itu semua agar anak-anak di Indonesia ini bodoh.”

Tudingan Amak sangat berbeda dengan guru di sekolah. Kata guruku, sekolah diliburkan semasa Corona, karena takut para murid akan ketularan virus. Entah mana yang benar. Orang-orang dewasa memang selalu susah dipahami.

“Yang tidak enaknya, tiap bulan iuran sekolah selalu dibayarkan. Memang sekolah itu zaman sekarang dijadikan bisnis.”

Amak sanggup berlama-lama jika sudah menyangkut perihal ini. Tidak ada habisnya, walau ia sedang mengerjakan sesuatu. Sambil menyapu halaman, mencuci piring, atau menjemur pakaian. Sindiran Amak terhadap pemerintah tetap selalu nyaring.

***

“Apa sekarang kau sangat butuh HP itu untuk belajar?”

Malam harinya Amak duduk di sampingku saat aku asyik menggambar di kertas. Gambarku sudah separuh selesai. Pemandangan tugu di simpang jalan yang baru saja diresmikan pemerintah. Biasanya, saat gambar itu selesai, aku akan menulis beberapa bait puisi di sampingnya.

Meski tak terlalu memikirkan HP. Mendengar itu, tak ayal telingaku terbuka lebar juga. Aku jadi membayangkan keseruan memainkan layar persegi empat itu. Larut dalam keseruan game perang yang sedang ramai disukai kawan-kawanku

“Bukannya Amak tidak mempunyai uang untuk membelinya?” aku merapikan buku gambarku. Tak jadi menyelesaikan gambar tugu itu.

“Kalau kamu mau bekerja untuk tambah-tambah, bisa Amak usahakan.”

Aku masih memikirkan pekerjaan apa yang sedianya mampu aku kerjakan.

“Kau carilah buah pinang di ladang kita. Kumpulkan, kita bisa jual hasilnya.”

“Apa kiranya cukup mengumpulkan pinang untuk beli HP?”

“Harga pinang, lebih mahal dibandingkan karet saat ini. Harganya bisa tembus hingga dua belas ribu per kilo. Coba kau bayangkan, jika sehari saja bisa mengumpulkan dua kilo. Berapa rupiah yang akan kau dapat selama sebulan.”

Amak mengajakku memperkirakan angka-angka, sesuatu yang sangat lamban dicerna pikiranku. Aku hanya bisa menduga-duga jumlahnya. Pikiranku hanya bisa membayangkan akan punya banyak uang jika mendapat pinang yang banyak.

“Dulu, di era Presiden Soeharto. Pinang itu pernah punya daya jual yang tinggi,” Amak melanjutkan, menerawang ke masa yang jauh sekali dalam hidupnya. “Hasil jual pinang yang hanya setandan, bisa untuk membiayai hidup selama seminggu.”

“Zaman itu hidup kok merasa enteng sekali, tidak banyak memikirkan masalah. Sekarang biaya hidup kok tinggi sekali. Semua serba mahal. Apalagi ditambah untuk beli HP. Kacau hidup zaman sekarang!”

Biasanya jika sudah begitu, sumpah serapah Amak terhadap pemerintah jadi berlanjut. Bagai dongeng pengantar tidur untukku. Dalam samar, antara sadar dan tidak, aku masih tetap mendengar Amak berseru, “Jika masih lama juga kita dipimpin pemerintahan yang seperti ini, makin karamlah negeri ini.”

***

Jadilah setiap hari aku memunguti buah pinang yang terserak di ladang. Batang pinang memang banyak terdapat di pinggir ladang. Kata Amak, itu memang disengaja, sebagai penanda dan batas dengan ladang milik tetangga. “Hal itulah kenapa pinang disebut tanaman tepi jarak,” ucap Amak suatu waktu.

Gegara itu pula, rencana bermainku dengan teman-teman jadi sedikit bergeser. Aku harus bisa membagi waktu antara bermain dan mengumpulkan pinang. Biasanya aku memilih waktu pagi sekali untuk mengumpulkan pinang. Setelah matahari berangsur naik dan kian menyengat, aku juga akan beringsut ke dangau yang terletak di tengah ladang. Buah pinang yang aku pungut dari segala penjuru, aku masukkan di dalam karung goni.

Selepas masa itulah, aku langsung menyongsong kawan-kawan untuk bermain. Suatu kali, aku berinisiatif untuk membawa pelepah pinang yang jatuh dari pohon untuk dijadikan sarana bermain. Jika sudah menguning, pelepah itu memang akan jatuh dengan sendirinya. Aku juga pernah melihat, pelepah itu dijadikan sebagai tempat pembungkus nasi yang dialasi dengan daun pisang. Tak disangka, kawan-kawanku suka sekali memainkan itu.

Pelepah pinang akan diduduki dua hingga tiga orang. Anak-anak yang lain akan menarik daunnya pada bagian depan. Itu jadi keseruan yang tidak terkira. “Seperti naik kereta angin,” begitu komentar kawan-kawanku. Kami bergiliran menduduki pelepahnya. Kadang kami akan menentukannya berdasarkan pemenang suit atau hompimpa. Orang atau tim yang kalah akan mendapatkan jatah menarik daun pelepah pinang.

“Semoga sekolah lebih lama tutup, ya,” pengharapan Sindi seusai kami bermain.

Suci mengangguk. “Selama masa Corona inilah kita libur paling lama. Menyenangkan sekali.”

“Tapi kelamaan tidak sekolah, apa kita tidak jadi bodoh?” Mira menyahut.

“Siapa bilang begitu?” jawab Sindi kembali.

“Ibuku bilang begitu, Ibu guru di sekolah juga,” ujar Mira memberi pembelaan.

Sindi lalu memandang ke arahku. “Ani, apa kamu setuju dengan jawaban Mira?”

Aku tak menyahut. Aku lebih suka membayangkan keseruan seperti apa yang akan dilalui hari esok saat bermain pelepah pinang.

Tiap hari kawan-kawan selalu mengingatkanku untuk membawa pelepah pinang yang baru. Karena setelah seharian dipakai, pelepah pinang akan tipis dan tidak enak lagi buat bermain. Aku pernah membawa tiga pelepah pinang sekaligus. Kawan-kawanku menyambutnya dengan suka cita. Kami bermain per kelompok, lomba balapan dengan itu. Tak jarang, ada yang terjatuh dari pelepah, karena kawannya di bagian depan terlalu kuat dan kencang menarik daun.

Siang itu cuaca tiba-tiba mendung, hujan pun tiba deras sekali. Hal itu justru kami anggap anugerah. Permainan kami jadi semakin seru. Namun saat hujan sudah reda dan kami bergegas pulang, aku menyadari baru saja melakukan kelalaian.

Selesai memungut pinang pagi itu, aku memang menyeret lima karung goni, hasil yang kukumpulkan sepekan ini untuk dijemur di depan dangau. Kata Amak, pinang yang lembab tidak bisa dibuka dan dijual. Jika hujan, berarti pinang-pinang itu juga akan ikut basah.

Ketakutanku benar-benar terjadi ketika aku berlarian kembali ke ladang. Aku mendapati pinang itu sudah kuyup. Aku kembali meneduhkan buah pinang itu ke dangau. Tentu akan semakin memerlukan waktu lama agar pinang ini mengering.

Sesampai di rumah, aku menceritakannya pada Amak. Seperti biasa, ia akan mengomeliku sepanjang hari. Seperti saat ia geram dengan pemerintah. “Bukan saja karet yang aku sadap yang kena hujan hari ini. Pinang itu juga. Ngurus itu saja kamu tidak becus.” Amak mengaduk kuah santan dalam kuali. “Pasti kau asyik bermain saja sepanjang hari ini, bagaimana kamu bisa punya uang buat beli HP?”

“Aku tak butuh HP buat sekolah, Mak.”

Entah ada kekuatan apa dalam kalimat itu, yang jelas Amak jadi terdiam sesudahnya. Aku mengganti pakaian yang basah. Menyapu halaman rumah yang berserakan daun-daun sehabis hujan. Setelahnya aku menggambar sebuah dangau dengan batang pinang yang menjulang tinggi dan buahnya yang tergeletak di sembarang tempat.(*)

Tentang Penulis

Romi Afriadi dilahirkan di Desa Tanjung, Kampar, Riau, pada tanggal 26 November 1991. Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Mulai suka membaca ketika kuliah setelah menyelesaikan sebuah novel di perpustakaan kampus, semenjak itu dia ketagihan membaca novel dan karya sastra lainnya. Beberapa cerpennya pernah di muat di media Online. Saat ini, penulis tinggal di kampung kelahirannya sambil mengajar di MTs Rahmatul Hidayah, dan menghabiskan sebagian waktu dengan mengajari anak-anak bermain sepakbola di SSB Putra Tanjung. Penulis bisa dihubungi lewat email: romiafriadi37@gmail.com atau akun Facebook Romie Afriadhy.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *