Yashinta

Nama perempuan itu Yashinta. Usianya hampir memasuki angka tiga puluh lima namun wajahnya masih cantik,meskipun sedikit pucat pasi. Dengan selembar kain putih yang warnanya sudah sangat menyedihkan itu, ia tutupi rambut hitam legam indah miliknya seperti biasa. Matanya kosong menerawang ke hamparan laut luas,sesekali tersenyum bahkan tergelak sendirian. Setiap senja seperti itu,entah hari ini senja yang ke berapa. Orang bilang,ia sudah melakukan ritual itu sejak belasan tahun yang lalu. Yashinta bukan wanita sinting yang tersenyum-senyum sendirian di pinggir dermaga menunggu matahari terbenam. Ia wanita waras,benar-benar waras. Hanya saja jiwa dan hatinya melayang bersama hembusan angin mengikuti sang kekasih yang pergi lima belas tahun silam.

Lagi-lagi perempuan Bintan itu tergelak sendirian. Kali ini ia termenung mengingat-ingat kejadian bertahun-tahun yang lalu. Saat masih bersama Dimas,kekasihnya. Awal perjumpaan mereka di dermaga ini. Tak lama,keduanya saling jatuh cinta dan memadu kasih. Beberapa bulan kemudian Dimas pergi meninggalkan pulau Bintan,merantau katanya. Sebelum berlayar ia menghadiahkan kekasihnya itu selembar kain putih panjang. Kain yang selama ini Yashinta pakai untuk menutupi mahkotanya saat menunggu kepulangan Dimas.

“Yash, tunggu abang di dermaga ini. Setiap senja, saat matahari condong ke barat. Abang pasti pulang.” Janji Dimas sebelum di lambung perahu sebelum berangkat. Tangannya menggenggam tangan Yashinta. Yashinta menangis keras. Belahan jiwanya akan pergi. Ia hanya mengangguk mengiyakan janjinya sendiri. Hingga lima belas tahun berlalu, Yashinta masih memegang janjinya sendiri dan menunggu janji Dimas. Setiap hari. Setiap senja.

“Abang bilang abang akan datang…” lirih Yashinta pada akhirnya.

Butiran air berebut turun dari mata bulatnya kemudian. Ia menangis sesenggukan seperti anak kecil. Senja merah di ujung barat sana jadi saksinya. Hari ini hati dan tubuhnya lelah,sangat lelah. Dalam hati terus bertanya sampai kapan ia akan menunggu sang kekasih yang tak jua kunjung datang. Suara adzan berkumandang,menandakan waktu maghrib telah tiba. Yashinta menyeka tangisnya dan bersiap-siap untuk segera beranjak pulang seperti biasa.

“Bu.. ayo kita pulang, dari tadi Nir dan bapak menunggu ibu!” rajuk seorang anak remaja seraya bergelayut di lengan Yashinta. Yashinta terhenyak,memandang gadis jelita yang menggenggam erat lengannya.

Nirmala, putri semata wayang Yashinta yang telah berusia lima belas tahun. Dimas tidak hanya meninggalkan Yashinta dan Pulau Bintan. Ia juga meninggalkan jabang bayi yang ada di dalam kandungan Yashinta. Mereka telah melakukan perbuatan terlarang itu. Akibatnya Yashinta hamil di luar nikah, dan tepat pada saat yang bersamaan Dion pergi meninggalkannya.

[iklan]

Sementara “Bapak” yang Nirmala sebut tadi ialah Danang. Pemuda asli pulau Bintan yang sudah sejak lama memendam perasaan tulus pada Yashinta. Danang memutuskan menikahi Yashinta begitu ia mengetahui keadaan gadis pujaannya itu sesungguhnya. Ia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan aib Yashinta. Bahkan dengan berani, ia mengaku pada orang-orang kampung bahwa dirinyalah yang telah memperkosa Yashinta hingga gadis itu mengandung.

“Kau, boleh meninggalkanku begitu Dimas pulang nanti Yash. Tapi untuk sekarang, izinkan aku melindungimu. Aku janji akan menyayangi anak itu seperi anakku sendiri Yash. Percayalah padaku.” Ucap Danang kala itu.

Mereka pun akhirnya menikah. Tanpa cinta dari Yashinta. Bertahun-tahun juga Danang menunggu istrinya itu kembali. Bukan,bukan raganya yang pergi. Tapi hati dan jiwanya yang pergi entah kemana. Ia masih menunggu Yashinta membalas cintanya.

Yashinta terhenyak, ia memandang Nirmala dan Danang bergantian, seakan tak pernah melihat mereka berdua seumur hidupnya. “Maaf…maafkan Ibu nak…maafkan Yash bang.. maafkan Yash.. maaf..,” raung Yashinta tiba-tiba pada Danang dan Nirmala yang hendak membantunya berdiri. Tangis perempuan cantik itu kembali pecah di iringi sesenggukan kecil dari Nirmala. Ia merasa sangat menyesal menyia-nyiakan mereka selama bertahun-tahun seperti halnya Dimas menyia-nyiakan dirinya. Danang memeluk istrinya itu erat seakan tidak ingin kehilangannya lagi. Lalu mengajak istrinya itu pulang. Ia rangkul Yashinta berdiri, berkali-kali ia seka airmata perempuan yang amat dicintainya itu. Sungguh, mungkin hari ini adalah hari terbaik sepanjang hidupnya, sebab ia merasa sebentar lagi penantiannya terhadap Yashinta selama berbelas-belas tahun akan terbalas.

“Yash!!!” Saat keluarga kecil itu hendak meninggalkan dermaga, ada suara teriakan seseorang dari arah dermaga.

Itu Dimas. orang yang selama ini Yashinta tunggu. Yash menatap laki-laki itu tak percaya. Wajah dan suaranya ternyata tak banyak berubah. Dimas menatap lembut ke arah Yashinta. Tatapan yang dulu ia selalu berikan pada perempuan itu. Ada seberkas kerinduan yang terpancar. Begitu halnya dengan Yashinta. Terlintas dibenaknya untuk berlari menerjang Dimas dan ikut kemanapun laki-laki itu pergi. Ia menatap Danang penuh makna. Danang tersenyum melepaskan, meskipun ia gagal menyembunyikan perasaan kecewanya. Yashinta kembali menatap Dimas. Ia ikut tersenyum, kali ini ia berujar, “Aku telah menikah, Bang.” Kemudian dengan mantap melangkah pulang bersama Danang dan Nirmala ke gubuk kecil mereka. Merangkai masa depan dari sana.

Syiva Radiatul Zahara, Perempuan kelahiran 14 Februari 1996, saat ini tinggal di kota hujan, Bogor dan sedang menyelesaikan pendidikan strata satu di Institut Sains dan Teknologi Nasional program studi Teknik Informatika. Pernah mengisi rubrik cerpen di http://fanpageckp.blogspot.com. Perempuan yang biasa disapa Syiva ini bisa dihubungi melalui email: radiatulsyiva@gmail.com

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *