Benar juga kata sebagian orang. Bahwa yang namanya uang bisa bikin orang mabuk kepayang. Uang bisa bikin orang lupa daratan, lupa diri, lupa status dan lupa jabatan, lupa anak, lupa istri atau suami. Lupa segalanya. Uang bagaikan ahli sihir, ahli hipnotis yang mampu mengubah perilaku manusia dalam sekejap mata.
Pak Kyai yang jidatnya klimis karena kebanyakan sujud bisa jadi nyaris lupa dosa ketika setumpuk uang membayang di pelupuk mata. Seorang pimpinan yang harusnya jadi panutan sepertinya sudah tak punya lagi rasa malu pada bawahannya ketika ia sibuk memanfaatkan kesempatannya untuk dapat mengeruk uang negara sebanyak-banyaknya.
[iklan]
Begitu juga para bawahan, seribu satu macam cara akan ia gunakan untuk sekedar bisa mendapat tambahan penghasilan. Pendeknya, apakah ia lelaki atau perempuan, tua atau muda atau anak-anak, matanya akan langsung hijau jika melihat uang di hadapannya.
Itulah uang, yang siang malam selalu kita impikan kedatangannya memenuhi kantong kita. Itulah uang yang untuk mendapatkannya kita rela memeras keringat, banting tulang siang dan malam, dengan sekuat tenaga dan segala cara. Dan anehnya berapa pun uang yang kita punya rasanya masih saja kurang banyak. Tak pernah merasa cukup. Sedikit kurang, banyak juga kurang.
Paijo (seorang pegawai rendahan) mengeleng-gelengkan kepala. Sudah tiga hari tak nampak batang hidungnya, begitu tiba di ruangan, Pak Kabag (Kepala Bagian) langsung menghampiri meja Mbak Denok (Sekretaris Proyek) minta agar dibuatkan voucher SPPD (Surat Perintah Perjalan Dinas) untuk pergi berdinas ke dua Propinsi sekaligus. Waduh, padahal dia baru saja pulang dinas dari provinsi XYZ.
”Dari propinsi ABC saya langsung ke provinsi DEF. Acaranya berurutan waktunya. Saya diminta untuk memberikan materi di kedua acara tersebut,” kata Pak Kabag dengan mantap.
”Acara apa sih, Pak?” tanya Ibu Denok.
”Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan.”
O, begitu, sahut Paijo dalam hati sambil melirik Pak Tulalit, Kepala Seksi yang menjadi atasan langsungnya. Yang dilirik pura-pura cuek tapi wajahnya ditekuk, dan dalam hatinya pasti berkata : “Itu kan jatah gue, kok diambil semua. Bagi-bagi keq satu. Dasar lo, rakus.”
Tidak hanya Pak Tulalit saja yang dalam hati mengatakan rakus tapi semua orang yang ada dalam ruangan seakan berkata hampir berbarengan “Rakus, lo!”. Tapi karena teriakan hanya dalam hati, Pak Kabag tenang-tenang saja ketika kembali ke ruang kerjanya.
Tak lama kemudian Pak Kabag keluar lagi dari ruang kerjanya. Tapi hanya separuh badan saja. Dari pintu yang setengah terbuka ia berkata: ”Oh ya, katanya hari ini rapel kenaikan gaji sudah bisa diambil, ya?”
”Sudah dari kemarin, Pak.”
”Paijo, tolong Jo…”
”Maaf, Pak. Harus diambil sendiri kata bendaharawannya. Kemarin saya mau mengambilkan rapelan Pailul, nggak bisa tuh.”
Padahal Paijo bohong. Kebetulan Pailul memang tak masuk hari ini. Alasan itu spontan saja keluar dari mulutnya. Pak Kabag pura-pura menanyakan Pailul.
”Kemana Pailul, koq nggak kelihatan?”
”Sudah dua hari ia tak masuk, Pak. Anaknya sakit, katanya.”
”O, gitu.”
Pak Kabag berjalan menuju pintu keluar, “Saya ambil rapelan dulu ya,” katanya.
Tak ada yang merespon perkataan Pak Kabag. Semuanya diam. Masing-masing menilai perilaku Pak Kabag mereka yang matre abis itu.
Begitulah yang namanya Boss. Mumpung kekuasaan ada di tangannya ya… gitu deh… Pura-pura tak mendengar ketika anak buah punya masalah. Pura-pura tak melihat ketika anak buah dililit masalah, karena dia sendiri tak pernah sepi dari masalah. Yaitu menciptakan suasana agar sebagai pimpinan ia kelihatan sibuk. Dari kesibukan itulah ia akan punya alasan untuk bisa memanfaatkan segala fasilitas jabatan yang memang sudah tersedia dan diprioritaskan oleh negara dalam rangka menunjang pekerjaannya. Dan ujung-ujungnya, dari segala kesibukan dan alasan tersebut tak lain adalah: uang, uang dan uang. Preet!
(AY)
***
Cisauk, Mei 2020