Tuyul yang berumah di gubuk tengah hutan itu, terus dikejar kemanapun ia berlari oleh Kamituwo Jono. Nafas sang kamitua sampai ngos-ngosan, tersengal-sengal. Kelelahan. Suatu hari, Tuyul itu tertangkap. Dengan rantai, Kamituwo Jono mengikatnya di pohon jati yang tumbuh tidak jauh dari gubuk yang berdiri di tengah huma di tengah hutan jati. Bila malam hari tiba, maka Tuyul berubah jadi seekor kucing, sedangkan pada waktu siang hari ia, Tuyul beralih wujud menjadi anjing.
Kamituwo adalah pemimpin, atau orang yang dituakan di sebuah dusun, dan orang terpelajar. Ia Jono, lulusan The University of Life yang berkampus di salah satu negara Eropa. Sebelum diangkat sebagai kamituwo, pekerjaan Jono adalah wartawan. Dengan demikian, ia terbiasa bekerja sistematis, praktis, dan berusaha mengungkap rahasia-rahasia kehidupan. SMA, orang tua Jono sebenarnya tidak merestui anak semata wayangnya itu jadi seorang kamituwo. Ayah dan ibunya menginginkan ia menjadi presiden. Orang ternama, pintar, dan dihormati di seluruh penjuru negeri. Simbol negara.
“Sekolah mahal-mahal kok cuma jadi kamituwo, tukang jualan omongan!” nyinyir mereka. Jono terdiam. Dalam batinnya, berkecamuk seribu satu macam perasaan. Perasaan-perasaan ini, ia pendam. Dan, kelak tumpukan perasaan yang berjibun di benak Jono, niscaya akan berubah menjadi ledakan.
***
Jono suka menonton pertunjukan seni tradisional. Kuda kepang, lengger, dames, aplang, brahen, dalang Jemblung, dalang riwek, dan masih banyak lagi. Trinil, penari kuda kepang, atau ebeg, sempat dipacarinya. Tetapi, putus cinta ketika hubungan masuk bulan ke-3. Alasannya sepele, Trinil kesurupan, mendem kerasukan Indang ebeg. Sedangkan Jono, asyik menonton saja, tidak mampu mengobatinya. Boro-boro turun tangan untuk menyembuhkan Trinil yang sedang kesurupan, Jono justru asyik pasang taruhan di permainan dadu rolet.
“Ser…ser…gleser.” Putaran mesin dadu seperti putaran gasing. Lelet. Berputar-putar, mempertaruhkan nasib siapa pemenang taruhan, atau siapa pecundang. Kalah. Permainan dadu, mengingatkan Jono tentang permainan dadu, antara Kurawa dan Pandawa. Akal-akalan Sangkuni. Dua dinasti wayang, nasib mereka, bahkan tahta dipertaruhkan di meja perjudian. Pandawa kalah.
“Ayo bangun dari lamunan, Jono!” Tepukan Sontoloyo, teman karib Jono di pundak kanannya, membuat Jono terperangah. Sadar dari lamunan nya. Jono yang suka menonton Sekaten bergegas melangkah ke alun-alun Utara kota Yogyakarta. Jono sering menonton kirab Sekaten bersama pacarnya, Cempluk yang piawai menggelar ruwatan di desanya. Alih-alih Cempluk yang berumur 5 tahun lebih tua dari Jono, mahir memimpin upacara Baritan, bersama warga kampung.
“Tuyul, peri, gendruwo, wewe gombel, pocong, glundung pringis, sundel bolong, setan and his gang lekas minggat dari perempatan jalan ini!” Teriak Cempluk suatu hari saat memimpin slametan Baritan untuk keselamatan kampung dari gangguan peri dan setan serta wadya balanya. Godaan dan sengkala dari setan-setan yang acap kali mengganggu keselamatan hidup warga kampung.
Tuyul lepas dari borgolan. Ia, Tuyul berlari terbirit-birit menuju huma. Di sana terdapat gubuk di tengah hutan jati. Kali ini, Tuyul berwujud seekor kucing. Tuyul itu tidak serta-merta ada. Tuyul ini jelmaan hantu, anak Mbak Narti yang dikorbankan, dijadikan tumbal pada upacara Baritan. Selamatan. Anak Mbak Narti yang masih kecil, tidak berdosa, tidak tahu apa-apa, sekujur tubuhnya diikat oleh warga, lalu dijadikan korban persembahan.
Mayat anak Mbak Narti, tidak dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum, tapi di tengah perempatan jalan desa. Konon, mayat anak itu, rohnya gentayangan. Roh anak itu, berubah menjadi Tuyul. Kamituwo Jono, memimpin pemakaman. Di perempatan jalan kampungku. Aneh, sang kamituwo sampai lupa doa-doa apa saja yang mesti diucapkan. Inikah isyarat? Mungkinkah tanda-tanda tidak baik. Dan, roh anak itu tidak terima diperlakukan begitu. Kemudian gentayangan demi menuntut balas. Sehingga, ia Tuyul mengejar-ngejar kemana Kamituwo Jono pergi.
Tuyul mengejar-ngejar Kamituwo Jono yang berlari-lari menuju huma yang berdiri gubuk di tengah hutan jati, suatu malam. Hujan deras. Tanah becek dan licin. Kubangan lumpur di manamana. Jono terengah-engah, nafasnya nyaris habis, tersengal-sengal. Sampailah ia di gubuk itu. Gubuk terbuat dari anyaman bambu dinding-dindingnya, dan tiang-tiangnya dari kayu jati. Kokoh dari angin dan guyuran hujan. Atapnya berbentuk piramid, dari genting.
“Ayo sini ikut aku ke planet Mars!” Ajak Kamituwo Jono pada Tuyul yang membuntutinya. Tuyul telah mengubah gubuk di tengah hutan jati itu berubah selayaknya planet Mars, ketika dilihat oleh mata manusia. Terlebih bila didekati dan orang masuk ke dalam gubuk. Dari kejauhan, gubuk itu tampak gubuk.
Pandangan mata Kamituwo Jono rabun. Tidak bisa membedakan mana yang dunia nyata dan mana yang dunia gaib. Di tengah hutan jati itu, di dalam gubuk. Tersedia aneka makanan berbentuk kapsul, bermacam minuman dalam kemasan mirip serum, benda-benda digital: gadget, komputer, laptop, hape, tablet, televisi digital, mesin cuci, kulkas, kompor gas. Dan, alat-alat transportasi dengan bahan bakar listrik; mobil listrik, sepeda listrik, sepeda motor listrik, mobil listrik. Tidak ada hewan piaraan!
***
Hari menjelang maghrib. Burung-burung terbang pulang ke sarang. Sebelum fajar, mereka telah berangkat gasik terbang ke pulau seberang guna mencari makan. Binatang-binatang hutan masuk ke peraduan. Auman harimau bersahutan asalnya dari sudut-sudut gelap dari lembah dan ngarai. Lolongan serigala menggetarkan suasana hutan. Siapa pun yang mendengar. Merinding. Bulu kuduk berdiri. Termasuk Kamituwo Jono yang asyik menikmati fasilitas serba luk di dalam gubuk, sebatang huma di tengah hutan jati.
Angin mati. Serangga-serangga malam keluar dari sarangnya. Suaranya berdengung, riuh. Kelelawar berseliweran terbang dari ranting jati yang satu, menempel di ranting-ranting jati yang lain di sekitar huma. Kamituwo Jono menepuk-nepuk tangan, menangkap semut rangrang, dan nyamuk nakal yang menggigit kulit kaki dan tangannya.
“Plak! Teplak!” Semut dan nyamuk terkulai mati. Kamituwo Jono sibuk mengurusi semut dan nyamuk. Ia tidak melihat ada sesuatu benda yang terbang di dekat ia, jarak sepelemparan batu. Mendadak,”Ngeeeng…Clorot!” Seberkas sinar melesat dari balik pohon jati mengarah ke angkasa. Kaumatuwo Jono terperanjat. Ia berlari mendekati sumber sinar.
“Benda apa itu?” Tanya Kamituwo dalam hati. Benda itu terbang mengitari seluruh huma. Pohon-pohon jati meliuk-liuk ke samping kanan, ke samping kiri. Gubuk di tengah huma hutan jati ambruk, berantakan. Seperti ada kekuatan magnet, tubuh Kamituwo Jono tersedot ke angkasa, masuk 3 ke dalam benda asing itu lewat pintu yang serupa gerbang yang terbuka. Benda asing itu adalah UFO. Pesawat luar angkasa.
Betapa terkejutnya Kamituwo Jono, setelah masuk di dalam UFO, ternyata Tuyul anak Mbakyu Karti sudah berada di kabin kemudi. Tuyul siap mengantar sang kamituwo berwisata ke planet lain. Bukan bulan. Tapi planet merah. Mars.
Tuyul tidak sendirian. Di pesawat UFO ini, ia Tuyul ditemani puluhan Tuyul berwajah kucing dan anjing. Peri, gendruwo, wewe gombel, pocong, glundung pringis, sundel bolong, pocong, dan sebangsa setan domestik menumpang di kabin belakang.
Di saat maghrib itu, Kamituwo Jono dan Tuyul beserta kawanan setan domestik lainnya, terbang naik UFO piknik ke planet Mars.
Lintang Alit Wetan adalah nama pena dari Agustinus Andoyo Sulyantoro. Lahir di Dusun Dalang Jamid, Desa Kalialang, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jateng, 13 Mei. Karya fiksi alumni FPBS IKIP N Yogyakarta (UNY) tahun 1997 ini bertebaran di media massa cetak dan online baik lokal maupun nasional. Buku kumpulan puisi tunggalnya yang sudah terbit Lingkar Mata di Pintu Gerbang (Gambang, 2015), kumpulan esai Banyumas dalam Prosa Nonfiksi (Gambang, 2016). Menyunting buku Perjamuan Cinta (2015), Manusia Jawa Modern (2016), Para Penuai Makna (2020), Tuan Tanah Kamandaka (2021).