TERIMAKASIH EMAK, TERIMAKASIH ABAH
(Keluarga SaMaWa)

Jamaah Maiyah Kenduri Cinta yang duduk lesehan memenuhi pelataran gedung Teater Jakarta, di TIM, Jum’at 13 Maret 2020, bertepuk tangan ketika Novia Kolopaking dan Emha Ainun Nadjib naik ke panggung beserta tim pendukung TeTa Movie. Suasana malam yang nyaman – menjanjikan.

TeTa adalah akronim dari “Terimakasih Emak Terimakasih Abah,” judul film keluarga yang bakal beredar di berbagai bioskop di Indonesia, mulai 16 April 2020, jelang bulan Ramadhan 1441 H.

[iklan]

“Novia Kolopaking main film lagi?”
“Iya, masih ingat kan, dulu serial ‘Keluarga Cemara’ di tivi..”
Harta yang paling berharga adalah keluarga..”
“Puisi yang paling indah adalah keluarga..”

Kedua perempuan paruh baya, yang ditemani suami-suami mereka, seolah langsung melayang dalam nostalgia tahun 1996 – menyimak tontonan di layar kaca seraya gumamkan lirik lagunya.

Abah menggenjot becak, yang ditumpangi Ara – begitu panggilan anak kedua, lengkapnya Cemara – dan adik perempuannya : Agil, duduk di jok sambil ngobrol tentang perolehan mereka jualan goreng pisang, keliling kampung dan terminal angkutan umum.  Lugu dan bersahaja.

Keluarga Abah dan Emak yang tinggal di rumah di kota kecil memang sederhana. Dindingnya anyaman bambu, di sekeliling rumah ada kolam-kolam kecil berisi ikan-ikan yang diternakkan. Airnya berkilauan dipayungi pepohonan dan semak perdu dedaunan hijau – teduh. Di dapur tampak Emak dan putri pertamanya, Euis, sedang masak sayur dan menggoreng tempe. Suasana hangat,  menyenangkan.

Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto, yang selalu pas bekerjasama dengan sutradara Dedi Setiadi, adalah sinetron  serial yang mengolah-sajikan kehidupan keluarga sederhana rukun bahagia. Ada peran antagonis, tentu, namun konflik yang muncul maupun upaya mengatasinya berlangsung tanpa dramatisasi yang berlebihan. Selalu jalin-menjalin dengan suka-duka kehidupan yang sehari-hari diakrabi oleh bagian terbesar masyarakat di Nusantara kita. Maka memilih pemain yang tidak tenar, jauh dari ‘jaga imej’ – justru tampilkan keluguan, menjadikan tontonan tak berjarak dengan penonton.

Reunian Kreatif
Produksi sinetron ‘Keluarga Cemara’ berlangsung dari 1996 sampai dengan 2004 mengharuskan pemain dan kru berada dalam satu lokasi setiap hari, selama 8 tahun. Dalam rangkulan tema dan judul “keluarga” maka suasana kesehariannya pun demikian.

Hubungan antara Emak (Novia Kolopaking) dan Abah (Adi Kurdi) sebagai orangtua dari Euis (Ceria Hade), Ara (Annisa Fujianti), Agil (Puji Lestari) sebagai anak – sungguh kekeluargaan. Demikian pula dengan peran-peran pembantu,para tetangga – warga kampung, antara lain Tante Presier (Wina Hendrawan), dan anaknya: Pipi (Belita), Bi Eha (Rani Rachmanyza), Mang Jana (Mudlihnur)  Ceuk Salmah (Rochmah Usman).

“Suting setiap hari…”

”Masak, ngliwet, selalu makan bareng-bareng..”

“Buat saya, jadi tempat belajar kehidupan. Tatacara sopan santun anak ke orangtua, kasih sayang Emak dan Abah ke anak-anak..”

Beberapa pemeran yang hadir, bergantian menceritakan kesan dan pengalaman menjalani suting. Rukun agawe santosa. Saiyeg saeka praya. Kebersamaan, yaa inilah Maiyah. Maka jamaah Kenduri Cinta mendengar penuturan dengan asyik – ikut hanyut dalam kesahajaan.

Karenanya, bisa dibayangkan ketika produksi berhenti. Perpisahan selalu bikin sedih. Terasa ada yang hilang. Para pemain dan kru berpisah, masing-masing menjalani kehidupan “normal.” Yang lajang bertemu jodoh lantas menikah dan punya anak, para kru ada yang menetap – ada pula yang pindah rumah produksi, sang sutradara melanjutkan karirnya dari satu ke lain sinetron maupun layar lebar.

15 tahun tak bertemu – rindu begitu menggebu. Maka, keinginan reuni muncul. Heboh, tentu saja. Yang dulu ‘imut-imut’ sekarang ada yang boleh disebut ‘amit-amit.’ Bukan sindiran melainkan guyonan, ketawa-ketiwi, menggugah adrenalin. Dan, simpul-simpul kreatif.

Rudi Gunawan, satu di antara penulis handal, terangsang imajinya. Ia tulis novel bertema keluarga, judulnya “Terimakasih Emak Terimakasih Abah” yang kemudian dikonsultasikan ke sohibnya Dedi Setiadi. Setelah menggandeng Alim Picture sebagai rumah produksi, sutradara jebolan TVRI ini mengajak Novia Kolopaking main film lagi.

“Saya bilang ke mbak Via, ini konsep yang dilandasi niat baik..,” terang Dedi Setiadi menceritakan kesungguhannya untuk melayar-lebarkan TeTa. Ia tak menyangsikan kemampuan isteri Cak Nun itu karena sejak Novia masih remaja sudah kerjasama hasilkan produksi, di antaranya : Jendela Rumah Kita, Satu Kakak 7 Keponakan.

“Sudah lama gak muncul bagaimana rasanya ketika harus berhadapan dengan kamera lagi?” Fahmi, moderator KC bertanya di depan jamaah Maiyah.

Novia Kolopaking dengan luwes menceritakan ihwal keterlibatan dirinya dengan TeTa Movies, cuplikannya, antara lain :

“Ini film keluarga, yang menceritakan keseharian keluarga Indonesia, bersahaja, sehingga bakal membuat penonton merasakan kehidupan seperti kejadian yang dialami dirinya, keluarga dan tetangga sekelilingnya.”

“Saya memang sudah lama tidak main sinetron maupun film. Juga menyanyi, kecuali dengan Kiai Kanjeng…”

“Alhamdulillah saya nggak canggung. Yaa, cukup mengingat-ingat pengalaman peran yang pernah saya lakukan..”

“Malah anak bungsu saya, Rampak, bertanya, ‘Ibu main di TiVi, yaa?’ Buat saya seolah dia dan kakak-kakaknya ingin…merasakan Ibunya jadi orang terkenal..lagi..”

Seloroh yang membuat jamaah Maiyah terbahak dan tepuk tangan.

Keluarga Mutahabbina
Malam cerah suasana pun renyah. Itulah yang membuat jamaah betah duduk lesehan dari sekitar jam 20.00 sampai dengan sekitar jam 03.00 dinihari. Kenduri Cinta memang “ngaji bareng Cak Nun” yang unik, tema-temanya menggelitik, menarik. Malam itu membahas ‘Keluarga Mutahabbina.’

Kehadiran tim TeTa Movie memang disesuaikan dengan tema tersebut. Uraian yang disampaikan telah lebih dulu ditulis-cantumkan di caknun.com. Cuplikannya:

Pada era kebebasan informasi sekarang ini, keluarga memiliki peran utama dalam pendidikan generasi penerus.

Peran keluarga dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak-anak menjadi faktor utama dalam re-generasi penerus bangsa. Orangtua belajar menjadi punokawan dan ponokawan yang senantiasa hadir untuk membimbing anak-anak. Tidak sekedar mentransfer ilmu kehidupan tetapi juga melatih kebijaksanaan dalam menjalani hidup. Tidak hanya mengajarkan bagaimana mencintai tapi juga memberikan tauladan kesetiaan.

Keluarga Mutahabbina bukan sekedar jalinan pertalian darah. Lebih dari itu nilai-nilai kekeluargaan yang menjadi perekat hubungan personal dalam berbagai macam organisasi, perusahaan, komunitas, maupun paguyuban, menjadi inti dari tumbuh dan berkembang tiap organisasi sosial.

Rasa saling mencintai dan memiliki bukan hanya karena pertalian darah, namun berupa akad kesetiaan terhadap nilai-nilai yang senantiasa dipelihara dalam proses kebersamaan.

Gambaran keluarga Mutahabbina adalah kekeluargaan yang ditumbuhkan oleh para sahabat Rasulullah SAW, yaitu Abubakar ra, Umar ra, Utsman ra, dan Ali ra, atau setidaknya seperti para punokawan dan ponokawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, yang tulus mengabdi berdasarkan nilai-nilai, karena keluarga adalah inti peradaban.

Ya, kesesuaian antara uraian Cak Nun dengan film TeTa demikian erat, saling menjalin – saling mendukung – justru karena medianya berbeda: internet/on line dan film layar lebar.

Bulan depan, rencananya tanggal 18 April – jika situasi kondisi memungkinkan –  media penyampaian nilai-nilai bertambah dengan hadirnya Kiai Kanjeng & pentas teater Perdikan – Yogya, dengan lakon : “Sunan Sableng & Paduka Petruk” karya Emha Ainun Nadjib, sutradara Jujuk Prabowo. Barokah, in syaa Allah.  Selamat Re-kreasi.

Tangerang Selatan, 18 Maret 2020
Uki Bayu Sedjati

(Ilustrasi foto: republika.co.id, antaranews.com, Teta movie)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *