BUNUH DIRI ERAT PADA SENIMAN ?
Kalimat lengkap dari judul itu :…Untuk itu, saat berbagai teori mengatakan bunuh diri erat pada seniman (Kurt Cobain, Ernest Hemingway, Virginia Wolf, Sylvia Plath, dan 2 pelukis di Indonesia telah pergi karena bunuh diri), NoRiYu menjadi sangat penasaran dan menemukan 2 kasus pelukis bunuh diri di Yogyakarta.
Kalimat itu tercantum di press-release yang dibagikan kepada hadirin di acara peluncuran buku “Jelajah Jiwa Hapus Stigma : Autopsi Psikologis Bunuh Diri Dua Pelukis,” 11 Maret lalu, di SCBD, Jakarta.
[iklan]
Berbagai pertanyaan segera mencuat di benak, antara lain: Siapakah NoRiYu, kok penasaran terhadap seniman bunuh diri? Kapan bunuh diri terjadi? Bagaimana kejadiannya? Adakah saksi mata? Juga, nama 2 orang pelukis, siapa?
Sedangkan nama-nama lain yang tercantum bisa dilacak di Google: Kurt Cobain – adalah penyanyi, penulis lagu dan gitaris band Grunge dari Seattle, Nirvana, Ernest Hemingway adalah novelis, pengarang cerita pendek, dan wartawan Amerika, Virginia Woolf adalah seorang novelis Inggris, satu dari sekian tokoh sastra modernis dari abad 20. Ia menyangkal disebut sebagai feminis, ia memilih disebut seorang humanis. Sylvia Path dikenal sebagai sastrawan: penyair, novelis, cerpenis, dan eseis asal Amerika Serikat. Profesi ke empat nama tersebut: Seniman, yang mengakhiri hidupnya sendiri.
NoRiYu itu singkatan dari Nova Riyanti Yusuf, seorang dokter yang konsisten melakukan penelitian bunuh diri sejak tahun 2008 – sembari menjalani program pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa di FK-UI. Kini sudah menyandang gelar Doktor.
Studi kasus terhadap bunuh diri 2 pelukis di Yogyakarta tampaknya unik. Bagi warga masyarakat awam penting diingatkan ihwal awal pemeriksaan dasar oleh dokter kepada pasien yang datang. Yakni, auto anamnese (langsung bertanya kepada pasien), dan allo anamnese (bertanya kepada orang dekat pasien). Dengan demikian dokter memperoleh data awal tentang “riwayat” sakit pasien.
Pada penelitian terhadap kasus bunuh diri, peneliti tidak melakukan auto-anamnese, tentu saja. Maka peneliti memperoleh data-data, perilaku keseharian, masalah-masalah kehidupan, dan sebagainya, dengan allo anamnese. Berbagai data didapat melalui perbincangan dengan narasumber, yaitu orang-orang sekitar yang cukup dekat mengenal pelaku.
Boleh jadi, karena merasa belum cukup, NoRiYu juga menggunakan tehnik triangulasi, antara lain dengan melakukan analisis lukisan bersama narasumber lain, di antaranya psikiater pakar art and healing dari Universitas Melbourne, kurator lukis, maupun budayawan di Yogyakarta dan sekitarnya.
Hasil olah data dan keterangan menunjukkan ada beberapa warning signs – “sinyal-sinyal darurat” antara lain : menjelang bunuh diri, pelukis melukis karya yang depresif – “perasaan tertekan,” juga sikap tidak kuat menghadapi berbagai persoalan serta penyakit yang menyertai, maupun perasaan bersalah dan berdosa. Ke-darurat-an dapat dinyatakan merupakan hasil amatan dan tafsir narasumber terhadap situasi-kondisi kejiwaan pelaku setelah kejadian bunuh diri. Dengan kata lain ada “jarak” antara pelaku dengan orang di luar dirinya, sehingga boleh jadi porsi subjektifitas narasumber cukup besar mempengaruhi pendapatnya.
Meneliti bunuh diri nyaris identik dengan tema yang “dark” alias “wingit” (bahasa.Jawa: gelap dan terasa menakutkan), memang. Mungkin saja itu yang menjadikan Prof.Bryon Good, ahli antropologi di Departemen Kesehatan Global dan Kedokteran Sosial Harvard Medical School, menyebutkan kata “misteri.” Itu disampaikan dalam tanya-jawab jarak jauh di tengah perbincangan antara NoRiYu dengan dua narasumber lain : Hana Madness – pelukis dan pegiat kesehatan mental, dan Ratih Ibrahim – ahli psikologi klinis dan Direktur Personal Growth, yang hadir di SCBD malam itu.
Sayangnya sesi tanya-jawab dengan hadirin ditiadakan. Padahal, boleh jadi begitu banyak yang ingin memberikan apresiasi dan pertanyaan. Termasuk kepada Prof. Bryon – yang konon betah mukim di tlatah Ngayogyakarta Hadiningrat. Antara lain pertanyaan mendasar : apakah/adakah persamaan ataupun perbedaan antara jiwa – sukma – roh – nyawa? Apakah ilmu kedokteran jiwa membahas hingga detil tentang itu? Juga, seberapa jauh pengaruh keberagamaan – keyakinan pada Tuhan/Illahi dapat menyaring bahkan mencegah keinginan bunuh diri? Apakah menjadi perbincangan dengan narasumber? Pun, apa betul kecenderungan bunuh diri erat pada seniman? Bagaimana dengan profesi lain, yang juga bisa stress, depressi, gangguan kejiwaan, misal : Pengacara, Hakim, Bankir, bahkan juga Psikolog, Psikiater? Dan sebagainya.
Hal tersebut ditanyakan karena pada press-release ada kalimat..”apa peran masing-masing kita dalam upaya pencegahan bunuh diri..”
Yang selaras dengan anjuran No RiYu:..”agar masyarakat bisa membangun empati kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga bunuh diri..”
Anjuran yang penting dicatat agar semua kita berperan dalam kebaikan bagi sesama manusia. (Uki Bayu Sedjati).
Tangerang Selatan, 14 Maret 2020