
Kereta Rel Listrik (KRL) jurusan Stasiun Tepi Kota berhenti cukup lama di Stasiun Ibukota. Penyebabnya, ada rel patah di dekat Stasiun Sentral yang menyebabkan perjalanan kereta mengalami gangguan. Paijo dengan mata berkaca-kaca menghela nafas perlahan. Ia merasa perjalanan malam ini akan sangat panjang.
Paijo mencoba berdiri tegar menatap wajah-wajah lelah penumpang kereta. Waktu di telepon genggamnya menunjukkan pukul 22.25 WIB. Banyak penumpang keluar dari dalam kereta, sejenak mencari udara segar di peron stasiun. Penumpang yang duduk memilih bertahan di dalam kereta daripada bangkunya diserobot penumpang lain. Mendapat tempat duduk merupakan pencapaian tersendiri bagi penumpang KRL.
Menurut pengumuman yang menggema di sekujur stasiun, rel patah sudah bisa ditangani petugas. Namun, perjalanan kereta yang sebelumnya terhambat harus diurai satu persatu. KRL harus mengantri menunggu sinyal aman untuk diberangkatkan. Di atas rel, kereta harus mematuhi banyak aturan, tak bisa main serobot seperti angkot.
Paijo membatin, rel yang terbuat dari baja saja bisa mengalami kelelahan hingga patah setelah sekian lama dilindas kereta yang mengangkut beban berat. Saat ini hal yang sama sedang dirasakan oleh Paidi, adiknya.
Jam tiga sore, Paijo menerima telepon dari Paidi. Sambil menahan tangis, Paidi mengabarkan kalau Lestari, istrinya yang sedang mengandung mengalami pendarahan. Paidi langsung membawa Lestari ke rumah sakit dekat tempat kosnya di wilayah pusat kota.
Mendengar kabar itu, Paijo minta izin pada atasannya untuk pulang lebih cepat. Tak lupa Paijo menelepon dan mengabari Nurul, istrinya bahwa ia harus pergi ke rumah sakit menengok keadaan istri Paidi.
Paijo langsung menuju rumah sakit menggunakan jasa ojek online. Sesampainya di rumah sakit, Paidi langsung menangis dan memeluknya. Paijo tak banyak bertanya. Ia memilih untuk menenangkan dan menguatkan hati Paidi.
Sebagai seorang suami, pasti hati Paidi merasa cemas karena istrinya harus dioperasi untuk mengangkat bayi yang ada dalam kandungannya. Pendarahan yang dialami Lestari bisa membahayakan jabang bayi. Selain itu, menurut diagnosis dokter, ada kelainan di bagian jantung bayi.
Sebenarnya Paijo masih penasaran dan ingin mengorek lebih dalam, namun ia melihat beban berat sedang dirasakan adiknya. Jika sudah tenang, pasti Paidi bisa menceritakan kondisi istri dan anaknya dengan lebih jelas. Saat ini yang terpenting adalah mendoakan agar operasi Lestari berjalan lancar, sehingga keduanya bisa selamat.
Saat operasi berlangsung, Paidi berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi. Keduanya tak banyak bicara. Paijo berdoa dalam hati sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membanjiri telepon genggamnya. Ayah, ibu, dan saudara-saudaranya di kampung sangat mencemaskan keadaan istri Paidi.
Akhirnya operasi selesai juga. Namun kondisi Lestari dan bayinya masih sangat lemah sehingga harus menjalani perawatan yang intensif. Dokter mengizikan Paidi untuk sejenak menengok keadaan istri dan anaknya. Saat keluar dari ruang perawatan, kegelisahan semakin menumpuk di wajah Paidi.
Menjelang pukul sepuluh malam, Paijo berpamitan untuk pulang sejenak mengambil baju dan kembali ke rumah sakit esok hari. Sebenarnya, Nurul, istrinya sudah mengizinkan Paijo untuk menginap di rumah sakit. Urusan baju bisa dikirim lewat ojek online. Namun ada tugas penting dari Paidi yang harus dijalankan Paijo.
Sebuah tepukan di pinggang membangunkan Paijo dari lamunannya. Ia mengusap kedua matanya yang berkaca-kaca agar tak terjatuh menjadi air mata. Beberapa penumpang tampak memperhatikan dirinya.
Penumpang lelaki berjaket biru yang duduk di depannya mempersilakan Paijo untuk gantian duduk. Paijo pun duduk sambil tak lupa berterima kasih. Ia bersyukur karena masih ada rasa saling peduli di tengah sesak penumpang kereta.
Paijo menghela nafas panjang. Saat duduk, Paijo merasa guncangan kereta perlahan serupa ayunan yang menyihir matanya hingga terlelap.
— oOo —
Setelah membuka pintu kontrakan, Bordes menyalakan lampu dan meletakkan tas punggung di lantai sudut ruang tamu. Bordes membuka jaket biru dan meletakkannya di sandaran kursi plastik.
Di dapur, Bordes menenggak air minum langsung dari mulut teko plastik. Ia merasa gangguan rel patah membuat perjalanan KRL malam ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Untung kontrakannya tak jauh, sekitar 400 meter dari Stasiun Harapan Baru.
Bordes kemudian menyambar handuk yang tak jelas warnanya dan berjalan menuju kamar mandi. Selepas mandi Bordes berencana nongkrong di Warung Mpok Juleha, menikmati segelas kopi dan semangkuk mie instan campur telur setengah matang.
Saat mandi sambil bersenandung ringan, tiba-tiba Border mendengar suara tangisan bayi. Bordes menajamkan telinga. Seingatnya penghuni di deretan kontrakan milik Babeh Syahroni tidak ada yang punya bayi. “Ah, mungkin ada tamu di kontrakan sebelah yang datang membawa bayi,” pikir Bordes.
Selesai mandi, Bordes berganti pakaian diiringi siulan-siulan. Tato naga di lengan kanannya terlihat garang di cermin. Suara tangisan bayi kembali menganggu kesibukannya mematut diri. Bordes merasa tangisan bayi itu sangat dekat, seperti berasal dari ruang tamu kontrakannya.
Apakah ada orang yang diam-diam datang dan meletakkan bayi di depan kontrakannya? Bordes berjalan perlahan menuju ruang tamu. Suara bayi seketika menghilang. Bordes membuka pintu kontrakannya, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan bayi.
Saat menutup pintu, suara tangisan bayi kembali terdengar. Bulu kuduk Bordes seketika berdiri. Jantungnya berdetak kencang. Suara tangisan bayi itu terdengar sangat dekat. “Tapi dimana bayi itu berada?” pikir Bordes.
Di ruang tamu hanya ada selembar tikar dan kursi plastik. Satu-satunya barang baru hanya tas ransel hitam. Apakah suara bayi itu berasal dari tas ransel itu? Rasanya tak mungkin ada bayi di dalamnya.
Setelah suara bayi mereda, Bordes segera memeriksa isi tas ransel. Ia tak mempedulikan bordiran di tas bertuliskan Seminar Nasional. Beberapa benda dikeluarkannya dari dalam tas. Ia merasa kecewa karena tas itu hanya berisi potongan baju, buku, power bank, dan earphone. Sebenarnya ia berharap ada handphone, laptop, dompet, dan benda berharga lainnya.
Bordes kembali memeriksa isi tas. Di bagian depan tas, Bordes menemukan kantong plastik merah yang terikat. Bordes meraba kantong plastik itu dan merasakan sesuatu yang kenyal seperti daging. Mungkin isinya cilok kuah, batin Bordes. Kalau benar, lumayan juga untuk mengganjal perut.
Border pun membuka ikatan kantong plastik. Saat kantong plastik terbuka, suara tangisan bayi terdengar keras. Bordes reflek melemparkan kantong plastik itu. Jantungnya berdetak sangat kencang, nafasnya tersengal-sengal.
Setelah berhasil menenangkan dirinya. Bordes merasa penasaran dengan asal suara bayi. Ia kembali memeriksa kantong plastik yang tergeletak di lantai. Dengan tangan sedikit gemetar, Bordes membuka kantong plastik. Tiba-tiba suara tangisan bayi kembali terdengar. Bordes terkejut dan melemparkan kantong plastik yang dipegangnya.
“Jangan-jangan kantong plastik itu berisi potongan daging bayi,” batin Bordes.
Suasana hatinya mendadak kacau. Tanpa pikir panjang, Bordes segera mengambil kantong plastik itu, mengikatnya kembali dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Bordes bergegas berjalan membawa tas ransel itu menuju Stasiun Harapan Baru. Sepanjang perjalanan, ia merasa malam ini sedang salah sasaran.
— oOo —
“Mau laporan Pak. Tas ransel saya hilang di kereta, sepertinya sengaja ditukar oleh orang,” kata Paijo kepada petugas keamanan di Stasiun Tepi Kota.
Sebelumnya, saat KRL akan memasuki Stasiun Tepi Kota, seorang penumpang membangunkan Paijo. Ia gelagapan dan langsung menyeka air liur yang membasahi mulutnya. Peristiwa hari ini membuat Paijo lelah dan terlelap di dalam kereta.
Paijo perlahan bangkit dari duduknya untuk mengambil tas ransel di rak bagasi. Paijo kelabakan karena tas ranselnya tidak ada. Di rak bagasi hanya ada dua tas. Satu tas laptop milik penumpang yang berdiri di sampingnya. Satu tas lusuh entah milik siapa, tak ada satu penumpang yang mengakuinya.
Beberapa penumpang sepakat untuk membuka tas itu. Ternyata isinya koran dan majalah bekas. “Wah ini pasti sengaja ditukar,” kata seorang penumpang.
Paijo mendadak lemas. Sebagai pengguna rutin KRL, Paijo sudah beberapa kali mendengar adanya kasus penukaran tas di rak bagasi oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Namun Paijo tak menyangka kalau kasus tas yang ditukar menimpa dirinya. Biasanya, ia selalu waspada saat meletakkan tas di rak bagasi.
Saat turun KRL, satu orang penumpang membantu memapahnya hingga duduk di bangku panjang peron stasiun. Setelah mengumpulkan kekuatan, Paijo berjalan menuju ruang petugas keamanan.
Di depan petugas keamanan, Paijo menjelaskan ciri-ciri tas ranselnya yang hilang. Tas ransel hitam bertuliskan Seminar Nasional Pemberdayaan Keluarga dalam Pencegahan Stunting. Isinya buku, beberapa potong baju, power bank, dan earphone.
“Apakah ada barang berharga seperti handphone, laptop atau dompet?” tanya petugas keamanan bernama Syahrul.
“Laptop tidak ada, handphone dan dompet saya kantongi pak. O iya Pak, di dalam tas ada kantong plastik merah, isinya..,” kata Paijo.
“Uang?” tebak Syahrul.
“Bukan, isinya ari-ari,” kata Paijo.
“Ari-ari bayi?” tanya Syahrul keheranan.
“Iya pak, adik ipar saya baru saja melahirkan. Ari-ari itu mau saya kubur di halaman belakang rumah,” jelas Paijo.
Suasana ruang keamanan stasiun mendadak hening.
“Baik Pak, saya akan berkoordinasi dengan petugas di stasiun lain. Semoga tas Bapak segera ditemukan,” kata Syahrul memecahkan suasana.
Telepon genggam Paijo tiba-tiba bergetar dan memendarkan nama Paidi di layar. Paijo bergegas menjawab panggilan dari Paidi. Dengan suara terbata-bata, adiknya menyampaikan kabar duka. Paijo tidak dapat membendung air mata.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” kata Paijo dengan bibir bergetar.
— oOo —
Depok, 6 Januari 2023
SETIYO BARDONO, Penumpang KRL yang tinggal di Depok ini telah menerbitkan antologi puisi tunggal yaitu Mengering Basah (2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (2012). Tiga karya novelnya yaitu Koin Cinta (Diva Press, 2013), Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014), dan Bukan Celana Kolor Biasa (Kwikku, 2020). Cerpen dan puisi karyanya dimuat di berbagai media massa.