Kalau kamu punya cara lebih baik untuk menceritakan yang seperti ini, tolong beritahu aku. Ini baru halaman pertama dan masih awal, kamu boleh membacanya kalau memang mau. Tapi kuingatkan, ini bukan tentang apa-apa,mungkin agak membosankan kalau kamu tidak hobi membaca.

Di luar masih hujan

Sudah berapa labu darah yang masuk ke tubuhku? Aku bahkan tidak ingat kapan pertama kali aku menghuni  bangsal sialan ini. siapa juga yang berhasil memergokiku saat darah dalam tubuhku hampir habis? Pasti mbok Sum, yang dengan suka rela mengecek kamarku sewaktu-waktu. Kenapa sih, orang tua itu tidak diam saja saat melihat pergelangan tanganku tersayat?

Kubuang pandanganku ke luar jendela, tempat titik-titik air langit menetes dan menempel di sana. Sepi. Di sini pun begitu. Siapa yang mengharapkan aku hidup? Toh, mereka hanya membawaku ke bangsal ini, kemudian meninggalkanku sendiri, terpasung selang infus dan selang darah.

Kuakui, ini bukan pertama kalinya aku mencoba menghabisi nyawaku sendiri dengan menyayat pembuluh nadi, minum racun, dan selalu saja gagal! Ini menjengkelkan. Aku sudah bosan hidup. Benar. Kalaupun Tuhan belum menyediakan ruang kubur untukku, tidak masalah. Mungkin aku akan senang berkeliaran dulu di alam sana. Sampai satu ruang untukku disediakan. Aku menghela napas panjang, aroma obat yang menusuk hidung membuatku mual, aku mencoba bangkit, tapi gagal. Kepalaku mendadak pusing, badanku sangat lemas seperti tanpa tulang. Kuenyakkan lagi kepalaku di atas bantal putih. memejamkan mata rapat-rapat, kemudian mencoba melupakan semua pahit yang menimpa hidupku.

Apa kubilang? Biasa saja, kan? Kalau aku bertemu dengan kamu, pasti akan kutanyakan satu-satu, bagaimana menurutmu tentangku? Oke, aku  ingin melanjutkan sesuatu untuk kuceritakan, yang bosan … boleh berhenti untuk membaca.

Saat itu, salah siapa menurutmu?

Sebuah pisau tajam kini menempel tepat di leher mama. Bukan oleh tangannya sendiri, melainkan papa tiriku Uh! Aku lebih suka menyebutnya ‘suami mama’, karena dari awal pun aku tak pernah menerima kehadirannya di rumahku. Perseteruan hampir kudengar setiap  hari, muak rasanya harus menjadi penonton dua orang dewasa yang berseteru dengan saling lempar makian dan sepak terjang tangan-tangan mereka sendiri. Aku sudah lelah melerai mereka setiap hari, kalau kau jadi aku, mungkin sudah lari dari rumah ini. Aku pun ingin begitu, tapi tidak semudah itu melakukannya. Bukan karena aku takut terlantar hidup seorang diri, tapi … papa kandungku sudah berpesan  sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya. Aku harus menjaga mama saat dia tidak ada.  Dan itu amanat, menurutku.

Kepergian papa, mengundang sejuta luka untukku. Pernikahan mama dengan’suami’nya sekarang, adalah awal dari semua masalah. Aku bertahan di rumah ini, ya, anggap saja aku adalah makhluk bodoh yang mau menuruti pesan orang yang sudah mati, tapi … aku tetap menyayangi mama. Dan aku tidak bisa begitu saja mengabaikan pesan papa.

Angin musim kemarau berembus panas, kuseka bulir-bulir keringat yang jatuh di pelipisku. Sudah berapa lama aku kesepian di rumahku sendiri sudah bertahan seberapa lama pula aku mendekam mendengarkan orang berteriak-teriak marah setiap hari. Aku lelah. Tuhan … aku ingin sekali bertemu papa, dan menyatakan, aku menyerah untuk menjaga mama.

Kali ini, salah siapa menurutmu? Salahku yang terlalu bodoh menuruti pesan papa? Atau salah mama yang tak pernah menghargai ketulusanku menjaganya? Argghh …!

Masih di Bangsal yang memuakkan!

Mama datang. Mengecek keningku seolah aku gadis kecilnya yang demam, lalu mengecup lembut. Aku memang pura-pura  tertidur saat itu. Aku menghindar bicara dengan mama. Ada yang tebendung di kelopak mataku, aku menahannya agar tidak menangis. Aku ingin sekali memeluk mama kencang-kencang dan meminta maaf padanya, tapi kekesalanku akan sifat plin-plannya  mengalahkan rasa sesal. Kuurungkan niat itu dan memilih untuk tetap diam dengan mata tertutup.

Kudengar suara benda yang diletakkan di meja nakas. Mungkin mama membawakanku bunga Krisan seperti  biasanya. Aku sangat familier dengan aroma bunga itu.

“Cepat sembuh ya, Rin. Rumah sangat sepi tanpamu. Mama kangen kamu ada di rumah,” bisik mama tepat di telingaku. Well, mama ingin aku di rumah dan menjadi penonton mereka, kemudian bertepuk tangan setelah pertarungan usai! Seperti drama saja. Kurasakan mama menjauh, bau parfumnya semakin menghilang di indera penciumanku. Pintu terdengar berderit terbuka, kemudian tertutup. Kembali hening. Kubuka mataku dan memuntahkan semua  isi yang terbendung di mataku. Menangis.

***

Kamu masih bertahan membaca ini, kamu benar ingin tahu akhir ceritanya? Baiklah, bertahanlah sebentar kalau begitu. Kamu memang baik.

Kukira mama sepemikiran denganku, untuk meninggalkan laki-laki yang telah melukai hatinya juga hatiku. Aku akan sangat senang, kalau saja laki-laki itu pergi dan tak pernah kembali. Itu hanya mimpi ternyata, kamu tahu, mama memaafkannya, dan menerima kembali dia di rumah kami. Ini pengkhianatan menurutku. Ya, mama mengkhianatiku dengan caranya sendiri. Dia bahkan tidak peduli kalaupun aku terluka.

Sudah beberapa minggu ini aku mogok kuliah, berhenti beraktivitas dan memutuskan kontak dengan beberapa temanku. Aku merindukan seseorang saat ini, seseorang yang ingin sekali kutumpahkan segala luka dan air mata di bahunya. Tapi, dia di mana ketika itu? Di belahan bumi bagian mana dia menghirup udara untuk bernapas? Bara! Masih ingatkah kau denganku? Gadis riang yang selalu berbagi tawa denganmu beberapa tahun silam.

Doaku dikabulkan! Pikirku.

Masih kurasakan cairan infus menjalari tubuhku. Mataku terpejam, tiba-tiba kurasakan ada yang menggenggam lembut jari tanganku, aku sedikit tersentak, mungkinkah mama yang datang sepagi ini? aku belum berani membuka mataku, tunggu, aku seperti mengenal bau parfum orang  ini. tapi, benarkah? Benarkah dia …

“Bara,” bisikku sambil mengerjapkan mata. Membukanya perlahan, dan memastikan bahwa dia memang Baraku. Sepotong senyum manis terlempar untukku, senyum khas Bara. Senyum yang sama seperti saat pertama bertemu dulu. Kubalas senyumnya.

“Aku mendengarmu sakit, Rin. Kamu kenapa enggak pernah cerita apa-apa ke aku lagi?” tanyanya, ada nada khawatir yang kutangkap, dan itu membuatku senang, paling tidak dia masih peduli padaku. Bara masih seperti yang kukenal, hanya potongan rambutnya yang terlihat agak berbeda. Kali ini lebih rapi, khas seperti seorang eksekutif muda. Aku tidak menjawab pertanyaannya, terlalu pedih bila kuceritakan ulang, Bar. Batinku. Kita terlalu banyak membuat jarak, sehingga kita tidak pernah tahu apa yang tengah terjadi di kehidupan masing-masing.

“Kamu masih menggilai Krisan ternyata,” sindirnya sambil melirik buket yang kemarin mama bawa.

“Mungkin karena aku masih mengingatmu, Bar. Orang yang pertama kali mengenalkanku pada bunga itu,” timpalku. Bara meringis. Dilemparnya pandangan mata itu jauh menembus cakrawala, tatapan yang sudah lama kurindukan. Ah … andai kita bukan sebatas teman, Bara. Aku mencintaimu. Hatiku tak karuan saat merasakan itu.

“Kamu, orang yang paling kuharapkan datang saat pesta pernikahanku  nanti, Rin,” Bara menghela napas, lalu mengembuskan perlahan. “Kamu sahabat terbaikku, aku memang salah terlalu mendadak menceritakan kabar bahagia ini, Karina … kamu datang, kan?” sesuatu yang sesaat lalu menyentak di hatiku, kini mulai melemah dan mati. Sahabat? Menikah? Kabar apa yang kamu bawa untukku, Bara? Erangku dalam hati. Kulirik sebuah undangan yang tergeletak di samping buket.

Bara mengelus lenganku, “cepat sembuh, ya, Rin,” bisiknya di telingaku, sekilas tersenyum, lalu melenggang pergi. Kuremas selimut putih yang membungkus tubuhku. Tidakkah kamu tahu, Bara, aku membutuhkanmu saat ini. aku mencintaimu.

Masih betah membacanya? Kamu pasti berpikir kalau aku gadis lemah yang tak pantas hidup, kan? Ya, kamu benar … aku memang tidak pantas untuk hidup!

Kuncup Krisan mulai layu

Ini hari ke-lima belas aku menginap di rumah sakit, menurut mama, besok aku sudah boleh pulang. Pulang berarti bertemu laki-laki sialan itu. Pulang berarti terluka lagi. Kutengok kelopak Krisan yang beberapa hari lalu mama bawakan untukku. Beberapa ada yang mulai kering. Sudah saatnya dibuang.

Aku duduk di tepi tempat tidur, kaki kubiarkan terayun menyambar lantai rumah sakit yang dingin. Sudah tidak ada selang apapun yang menempel di tanganku, aku juga sudah merasa baik-baik saja. Aku sudah terlalu lelah untuk pulang. Muak melihat orang rumah, termasuk mama. Juga aku tidak ingin ditagih janji untuk hadir ke pesta pernikahan Bara yang sudah pasti menyakitkan untukku.

Sudah habiskah cinta untukku? Aku bahkan merasa tidak ada yang mengharapku kembali di kampus. Setidaknya, aku yang memang tidak mau kembali. Kupejamkan mataku rapat-rapat. Kali ini tidak boleh ada air mata lagi.

***

Udara malam di sekitar sini begitu dingin, aku bersyukur karena mama menempatkanku di ruang VIP, itu membuatku rileks. Aku melirik ponsel yang meninggalkan laporan pesan masuk dari mama, aku malas membacanya. Aku yakin tak ada pesan penting darinya. Memory otakku memutar-mutar kenangan tentang Bara. Semarang telah membekukan hatinya. Perpindahannya ke Semarang mengubah takdir bahwa dia akan kumiliki. Gadis cantik calon istrinya itu akan sangat beruntung mendapatkan Bara yang baik. Tidak sepertiku, gadis malang yang tak memiliki siapapun untuk dicinta.

Aku berjalan keluar, kemudian menaiki tangga menuju lantai atas. Di sini tidak ada siapa-siapa, hanya terdengar suara angin yang semakin kencang. Kutelusuri tepian gedung sepuluh lantai dengan seksama. Mobil-mobil yang melintas di bawah terlihat seperi semut-semut kecil.

Kurentangkan kedua tanganku dengan terpejam.

‘… meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan, semua takkan mampu mengubahku hanyalah kau yang ada di relungku …’

Kulantunkan lagu ‘Takkan Terganti’ milik Marcell, jika kamu dengar, mungkin lebih mendekati bisikkan daripada sebuah lagu. Kulayangkan tubuhku dan membiarkan terjun bebas terbawa angin. Aku tidak ingin membuka mataku, sampai aku bertemu papa nanti.

‘…Hanyalah dirimu mampu memvbuatku jatuh dan mencinta, kau bukan hanya sekedar indah, kau tak akan terganti …’

Lagu itu masih saja kudendangkan, sudah tiada kurasa apa-apa sekarang. Jauh dari rasa sakit, jauh dari mama … juga jauh dari Bara

***

Terimakasih kepadamu yang mau setia membaca sampai akhir. Kamu boleh memakiku sekarang, tumpahkan saja kekesalanmu atas tindakan bodohku ini. sekarang sudah tiada cerita lagi, sudah berakhir. Tidak aku, mama, atau pun Bara.

Titis Nariyah, suka traveling membaca dan pentas monolog. Ia tergabung di Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek.

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *