Ketika kemudian puisi menjadi alat atau media untuk mengekspresikan diri, maka dari hati bening akan muncul karya yang juga bening, bahkan mampu mengalahkan beningnya embun pagi yang menggantung di ujung daun. Hati terasa sejuk ketika kita dengan ikhlas menikmatinya. Begitulah puisi-puisi yang ditulis oleh Arsy Fathya Ningrum. Bening, sejuk, membuat kita merasa adem tentram. Selamat menikmati.
Sang Maha Cinta
Dengan ibujari, aku berpuisi
Tiap jengkal tubuhku adalah milik-Nya
Sesempurna itu hidupku diatur-Nya
Tak melihat dosa apa yang aku cipta Dia tetap cinta
Tak pernah bosan mendengar apa yang ku pinta
Tak ada yang bisa ku ucapkan selain kata sempurna
Dia-lah yang tetap setia
Pada tubuhku yang mulai renta
Saat jatuh Dia selalu ada
Dia-lah yang selalu ku puja
Selalu ku titipkan namamu pada-Nya
Agar hidupmu selalu terjaga
Satu mimpiku yang masih disimpan di angkasa
Semoga surga semakin dekat ketika kita bersama
Bersama dalam ridho-Nya
Menuju kehidupan yang abadi selamanya
***
Serpong, Januari 2019
Surat Cinta dari Fiksiku
Tiap-tiap masa kelammu aku di situ
Hela nafasmu adalah hal yang kurindu
Menari-nari di ataskelabu, lalu kamu terpaku
Mengapa menjadi bisu?
Guratkan lagi penamu yang dulu
Tak bisa ku dekap lama cinta kasihku
Berdirilah semampumu
Temui kelabumu jangan takut karena aku bersamamu
Kemana kamu mencariku, aku ada di situ
Bersama tumpukan buku-buku atau puisi baru
akulah kamu dan fiksimu
***
Serpong, Maret 2019
Dari Aku Untuk Aku
Tak siapa-siapa kecuali aku;
Yang mengerti rintihan
Yang percaya kekuatan
Yang menyembuhkan kesakitan
Yang memeluk tangisan
Yang menguatkan ujung yang hampir usai
Yang membangkitkan keyakinan yang hampir hilang
Tak siapa-siapa kecuali aku;
Bertahan pada tiang-tiang yang siap runtuh
Pulang saat mulai ramai
Datang pada malam-malam menemui kelam
Berdiri di kalimat-kalimat mereka yang menghujam tajam
Berdiam di sudut kota berminim cahaya
Berteman dengan sunyi
Tak siapa-siapa kecuali aku;
Tak tahu siapa lagi
Tak mengerti apa-apa kecuali diam
Tak dengar suara siapa-siapa kecuali angin
Tak terasa siapa-siapa yang cinta
Tak takut pada pena yang menodai kertas
Tak bisa mencium apa-apa yang busuk
Tak siapa-siapa kecuali aku;
Bermalam bersama pikiran yang runyam
Berkebun di ladang rindu
Berbalik arah melawan angin sendu
Berbisik di balik secarik kertas
Bercanda bersama secangkir kopi
Bertukar rindu pada dini hari
Aku adalah hadiah untuk diriku, tak siapa-siapa kecuali aku
***
Serpong, Februari 2019
Apabila Kamu
Apabila kamu pagi
jadilah pagi yang menyejukkan
Apabila kamu siang
jadilah siang yang menyilaukan
Apabila kamu senja
jadilah senja yang jingganya berkilauan
Apabila kamu malam
jadilah malam yang meneduhkan
Kamulah yang paling membahagiakan,
di awal dan di akhir kehidupan
***
Serpong, April 2019
Aku Aku dan Aku
Bekerja paruh waktu sembari menuntut ilmu
Menemui sunyi membaca buku
Menikmati jerih payah sendiri atau bersama sendu
Aku, aku, dan aku;
Menarik diri, memilih sendiri, didampingi sunyi, tak bermain api, meski tak abadi
namun tetap menyinari
Menyinari aku yang setia menari-nari pada hujan di atas sanubari
Aku, aku, dan aku;
Berusaha terbiasa, menatap terik yang menyapu asa yang tak akan menjadi nyata
Sibuk sendiri
Membenahi pikiran-pikiran yang berserakan
Menyapu jiwa-jiwa yang berantakan
Asik sendiri
Membuang rupiah untuk perut yang lapar
Untuk wajah yang warnanya hampir pudar
Diam
Tapi hatinya berisik
Karena pikirannya terusik
Bosan
Pada apa-apa yang merusak ketenangan
Pada denting yang penuh angan
***
Serpong, 2 juli 2019
Arsy Fathya Ningrum, Penulis aktif, saat ini menetap di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan. Kelahiran Tangerang, 1 Maret 1997. Aktifitas sehari-hari mengajar les privat. Email : fathyaarsy@gmail.com