SUGESTI DINI DARI DIKSI

“Bagaimana memulai menikmati puisi?” Pertanyaan yang mungkin memerlukan jawaban teknis. Betapa tidak sedikit orang telah membaca teori berpuisi atau bahkan serius belajar tentang puisi, malah ada yang bercerita mengaku sudah mengambil bidang pelajaran sastra, khususnya puisi, tetapi tidak juga paham bagaimana menikmati puisi. Mereka belum bisa membedakan antara: majas, diksi, sintaksis, semiotik maupun hermeneutik.

Kira kira mengapa hal semacam itu bisa terjadi?, satu diantara penyebabnya mungkin belum pernah menemukan jawaban dari pertanyaan: “Kenapa diriku berusaha menikmati puisi?”

Temukan alasannya, maka besar kemungkinan pertanyaan teknis semacam bagaimana memulai menikmati puisi, akan segera terjawab dengan sendirinya.

Seperti seorang anak kecil yang melihat teman sepermainannya bisa naik sepeda gowes. Bisa jadi si anak kecil itu belum sekolah, dan orang tuanya pun tidak pernah memberikan pelajaran khusus bagaimana caranya memulai naik sepeda.

Beberapa hari setelah dibelikan sepeda oleh orang tuanya, atau bahkan belum beli sepeda, tetapi teman mainnya meminjamkan untuk belajar naik sepeda. Tanpa banyak mengeluh, langsung naik, jatuh, naik lagi, jatuh lagi. Singkat cerita, si bocah kecil itu pun bisa naik sepeda, dan menikmati bersepeda. “Kenapa bisa begitu?”  Satu diantaranya karena si anak kecil itu sudah menemukan jawaban kenapa dia harus berusaha bisa naik sepeda.
Mungkin karena agar seperti teman teman sepermainannya, mereka bisa bersepeda, dia pun harus bisa bersepeda.

Temukan jawabannya:” kenapa bersedia berusaha bisa menikmati puisi?”
Dalam hal Puisi besutan Penyair Tjahjono Widarmanto yang berjudul /ABU/, mungkin bisa menjadi penyebab pembuka hasrat kenapa berusaha bisa menikmati puisi.

Karya Penyair tersebut sepertinya telah berhasil mensugesti penulis sebagai penikmat puisi untuk menikmatinya. Benarkah demikian? Mari kita mulai menikmati puisinya.

Puisi /ABU/ telah terbit di Jurnal Online mbludus.com di laman https://mbludus.com/puisi-puisi-tjahjono-widarmanto/. Di laman tersebut Penyair mengaku lahir di Ngawi, 18 April 1969. Puisi, esai, artikel dan cerpennya telah dipublikasikan di berbagai media. Disamping itu beberapa kali telah menerima penghargaan di bidang kesusastraan sampai di tingkat Nasional.

Adapun puisi lengkapnya tertuang di bawah ini. Untuk memudahkan proses penikmatan, masing masing bait diberi nomor urut, dari nomor 1 sampai dengan 4.

/ABU

1.
sama dengan bangkai ia sekejap akan sirna mungkin melesak
dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam
atau melesat ke angkasa, menabrak dan mengguncang pepohonan
sebelum lenyap jadi butir-butir molekul seperti gerimis tipis

2.
seperti juga sama dengan semua mayat yang tak pernah tahu dalamnya neraka
ia tak akan lagi merapal ayat-ayat. segenap mantra dan jampi-jampi kidung suci
berubah menjadi serabut-serabut yang ringkih seperti putik merambat menuju layu

3.
“hai, tak perlu kau menoleh ke belakang untuk mengingat-ingat apapun, campakkan ingatan
bergegaslah kau telah ditunggu kereta dihela delapan lembu melenguh tanpa henti!”

4.
maka, engkau pun berjalan sendiri dengan berdebar-debar mendengar lenguh itu.
cemas sendiri tanpa siapa-siapa, bahkan tanpa nama/

 MEMINDAI GERIMIS

Puisi besutan Penyair Tjahjono Widarmanto yang berjudul /ABU/ di atas, dari sisi diksi judulnya yaitu /ABU/, secara umum mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:

  1. Abu merupakan zat organik sisa hasil pembakaran bahan organik mahluk hidup seperti tanaman ataupun binatang. Kayu yang dibakar akan berubah menjadi arang. Jika arang terus dibakar akan menjadi abu. Jadi jika bahan organik dibakar secara pembakaran lengkap, maka akan menghasilkan sisa pembakaran berupa abu [1]. Pada umumnya abu berukuran sehalus tepung.
  2. Abu merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang telah populer di masyarakat luas. Abu berarti bapak [2].

Tentu, untuk memilih satu diantara keduanya, kira kira pengertian manakah yang lebih tepat sebagai tafsir harfiah atas diksi /ABU/, pengertian nomor1 ataukah nomor 2, atau justru tidak kedua duanya, karena berpotensi mempunyai arti simbolis [3], atau paduan keduanya.

Sebagai proses pemilihan makna, logika, ataupun rasa, memang sebaiknya mencari tahu lebih dahulu tentang informasi pada bait bait puisi, menelusurinya mulai dari bait 1 sampai dengan di bait terakhir. Adapun bait 1 seperti di bawah ini.

/1.
sama dengan bangkai ia sekejap akan sirna mungkin melesak
dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam
atau melesat ke angkasa, menabrak dan mengguncang pepohonan
sebelum lenyap jadi butir-butir molekul seperti gerimis tipis/

Diksi di bait 1 terpindai adanya aroma bahwa Sang Penyair membuat persamaan sesuatu dengan /bangkai/. Parameter sesuatunya itu apa, jawabannya masih menyisakan misteri, seperti pembakaran menyisakan abu. Boleh jadi misteri ini memberikan serupa isyarat yang terperam di pikiran, bahwa /ABU/ bisa lebih dekat ditafsirkan sebagai bahan organik sisa pembakaran dari pada ditafsirkan sebagai gelar bapak yang berasal dari bahasa Arab.
Oleh sebab itu jika tafsir diteruskan akan menjadi lebih nikmat apabila dipindai dari sisi pengertian bahwa /ABU/ merupakan material sisa pembakaran, meskipun dalam bentuk metafora sekali pun.Walau demikian potensi ditafsir sebagai bapak pun masih terbuka.Sebagai usaha agar bisa lebih memahaminya, sang penikmat perlu memindai lanjut diksi di bait 1 sampai selesai. Jika dibaca sekali lagi dari baris awal, maka bait 1, bisa berpotensi disusun ulang berdasarkan isi substansi diksi, dan tanda bacanya menjadi empat baris, yaitu:

/1.
sama dengan bangkai, ia sekejap akan sirna (1)
mungkin melesak dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam (2)
atau melesat ke angkasa, menabrak dan mengguncang pepohonan (3)
sebelum lenyap jadi butir-butir molekul seperti gerimis tipis (4)/

Jikalau penikmat puisi tidak menemukan informasi yang pasti di bait bait puisi tentang siapa dan apa maksud dari diksi /ABU/, maka penikmat puisi bisa berasumsi bahwa baris (1) di bait 1 merupakan penjelasan dari judul /ABU/, dan diksi /ABU/ ini pun bisa dipandang sebagai tanda tanda awal atau semacam kata kunci untuk memasuki misteri di bait bait puisi, dan gaya menikmatinya pun bisa dilakukan secara semiotika terdeskripsi, yakni memaknai tanda tanda maknanya sambil memberikan penjelasan tentang makna tersebut [4]. Oleh karena itu, sesuatu yang dianggap /sama dengan bangkai, ia sekejap akan sirna (1)/ merupakan /ABU/ itu sendiri. /ABU/ pun /sama dengan bangkai/, dan diksi /ia/ seolah menggantikan sosok /ABU/ sebagai orang ke dua tunggal, yang /sekejap akan sirna (1)/. Atau /mungkin melesak dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam (2)/.

Diksi /sekejap akan sirna/, dapat menimbulkan pertanyaan sekejap dibandingkan apa, atau bangkai apa yang sekejap akan sirna ?, misal bangkai cicak saja perlu waktu beberapa hari untuk sirna alias terurai kembali menjadi unsur unsur alam, apalagi jika bangkai gajah, tentu untuk bisa sirna perlu waktu berkejap kejap. Sedangkan pemilihan kata /sirna/ mempunyai arti mirip dengan lenyap atau pun hilang, tetapi lebih kepada sifat kehilangan yang tak mungkin kembali lagi. Disamping itu di beberapa tradisi, kata /sirna/ mempunyai makna hilang dari nilai nilai kebendaan [5]. Meskipun demikian, nuansa diksi /sekejap akan sirna/ seperti mengandung aroma ketidak senangan atau pun ungkapan kekesalan dari sang Penyair, bahwa bagaimana pun sosok /ABU/ lirik di judul puisi akan hilang lenyap, sirna dalam waktu sekejap. Di sisi lain diksi ini juga mempunyai semangat hermeneutik sebagai sindiran [6] bagi tokoh /ABU/ lirik.

Ketika sudah mulai melanjutkan telusur penikmatan di baris (2) di bait 1, ternyata ada aroma pindaian diksi yang terperam di pikiran, mencuat melalui diksi yang tidak pasti atau ragu ragu, yaitu penggunaan kata /mungkin/ seperti: /mungkin melesak dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam (2)/. Ditambah kata /melesak/, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata /melesak/ mempunyai arti ambles terbenam ke dalam benda padat, termasuk ke dalam tanah. Adapun kata /kerak/ menurut KBBI adalah lapisan yang keras kering atau pun hangus yang melekat pada benda lain, seperti kerak nasi. Sedangkan /palung/ pada umumnya merupakan istilah untuk lekukan semacam jurang berbentuk huruf  V di dasar samudra, sangat dalam dan panjang [7]. Palung laut mempunyai kedalaman dari sekitar 7000 m s/d 11.000 m. Untuk diksi /tanah paling liat/ sepertinya Sang Penyair mencoba bereksperimen dengan memasukkan kata paling di kata /paling palung/, dan diulang di kata  /paling liat/. Hal ini akan menghasilkan efek repetisi dan penegasan arti [8], lebih lebih ketika ditambahkan dengan kata /hitam/di akhir barisnya. Namun karena diawali oleh kata /mungkin/ maka ulangan penegagasannya tertuju pada penguatan keraguan, bukan pada kepastian.

Ternyata semangat pengulangan dan penegasan ini diteruskan pada baris (3) dan (4), dengan menggunakan gaya sintaksis yang tidak seperti biasanya, yakni menyatakan bahwa /atau melesat ke angkasa, menabrak dan mengguncang pepohonan (3)/. Sudah diketahui secara umum bahwa pepohonan adanya hanya di bumi, tidak ada di angkasa. Demikian juga terjadi keanehan logika bahasa pada baris (4) yaitu /sebelum lenyap jadi butir-butir molekul seperti gerimis tipis (4)/. Keanehannya adalah /butir-butir molekul/ dikatakan /seperti gerimis tipis/ padahal dalam ranah ilmu kimia umum diketahui bahwa gerimis merupakan butiran air hujan ringan, dengan ribuan tetesan air kecil kecil, dan jatuh secara pelan pelan. Gerimis terbentuk dari kumpulan senyawa air yang ukurannya jauh lebih besar dari pada molekul air. Sebab molekul air merupakan pembentuk senyawa air [9]. Molekul tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, sedangkan gerimis bisa dilihat dengan kasat mata.

Gaya sintaksis yang tidak seperti biasanya, dan keanehan logika bahasa yang diunggah di dalam bait bait puisi, masih bisa dimaklumi, karena seperti itulah gaya ungkap Sang Penyair ketika tidak lagi menemukan diksi lain yang tepat untuk menyampaikan gagasan, perasaan, maupun pikiran di bait bait puisinya [10].

Rasa maupun pikir Sang Penyair selanjutnya bisa ditelusuri pada bait 2, yang cenderung mengulang sindiran terhadap tokoh /ABU/ lirik yang diganti dengan diksi /mayat/ dan tokoh /ia/ lirik. Penegasan sindirannya dengan cara menjelaskan seperti di bait 2 di bawah ini.

/2.
seperti juga sama dengan semua mayat yang tak pernah tahu dalamnya neraka
ia tak akan lagi merapal ayat-ayat. segenap mantra dan jampi-jampi kidung suci
berubah menjadi serabut-serabut yang ringkih seperti putik merambat menuju layu/

Selanjutnya penikmatan puisi memasuki di bait 3, dan 4. Di bait bait ini Penyair berusaha menampilkan tokoh /kau/ lirik di bait 3, dan tokoh /engkau/ lirik di bait 4. Apa hubungan tokoh tokoh lirik ini dengan  tokoh /ia/ lirik di bait 2, belum bisa dimaknai kecuali menduga bahwa mereka semua adalah kata ganti dari diksi /ABU/ yang ada di judul puisi. Adapun bait 3 dan 4 seperti di bawah ini.

/3.
“hai, tak perlu kau menoleh ke belakang untuk mengingat-ingat apapun, campakkan ingatan
bergegaslah kau telah ditunggu kereta dihela delapan lembu melenguh tanpa henti!”/

/4.
maka, engkau pun berjalan sendiri dengan berdebar-debar mendengar lenguh itu.
cemas sendiri tanpa siapa-siapa, bahkan tanpa nama/

Benarkah  tokoh /kau/ lirik di bait 3, dan tokoh /engkau/ lirik di bait 4, serta tokoh /ia/ lirik di  bait 2 merupakan manifestasi Penyair terhadap tokoh /ABU/ lirik yang ada di judul puisi?. Persetujuan dengan jawaban “ya” diperkuat dengan cara ungkap Penyair di bait 3 dan 4.

Kedua bait ini bergaya ungkap semacam dialog nasihat antara Penyair yang mengajak bicara, dengan isi bicaranya seperti di bait 3 dan 4, dengan tokoh /ABU/ lirik sebagai sosok abstrak yang diajak bicara.

MISTERI TAK PERNAH BERHENTI

Puisi “ABU” guritan Penyair Tjahjono Widarmanto semakin didalami, dan dinikmati terasa semakin terkuak sisi abstrak yang realatif melahirkan aroma penasaran, terutama untuk memprediksi sejatinya siapakah, atau apakah yang dimaksud dengan diksi /ABU/ yang menjadi judul puisi. Apakah dia merupakan perwakilan dari /ABU/ sebagai material sisa pembakaran lengkap bahan organik, dengan segala macam metafora maupun majas yang mengikutinya, atau kah sebagai perwujudan dari simbol yang berarti “Bapak” yang berasal dari kata “Abu” kosa kata bahasa Arab. Ataukah perpaduan dari kedua pengertian tersebut, yakni menjadi semacam adanya majas kesebandingan yang berpotensi diartikan bahwa /ABU/ adalah simbol pemimpin keluarga, seberapa pun besar kecilnya keluarga, bisa mulai dari Keluarga rumah tangga, Rukun Tetangga, Rukun Warga, Desa, sampai ke Negara.

Semua level kepemimpinan itu pada akhirnya akan berakhir, dan kembali menjadi abu sebagai sisa pembakaran segala giat kehidupan. Meskipun ketika pembakaran berlangsung, selalu diperlukan lengkap tiga unsur utama penyokong berlangsungnya pembakaran, yaitu: Bahan bakar, Oksigen, dan Panas. Sehebat apa pun peristiwa pembakaran organik, selalu saja menghasilkan abu sebagai sisa pembakaran. Begitu juga pemimpin, sehebat apa pun kepeimpinannya, selalu akan berakhir menyisakan cerita tepat pada ruang, waktu, dan peristiwanya masing-masing.

SELAMAT BERPUISI

Dan teruslah berpuisi

Penulis: Kek Atek

Penikmat puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek

REFERENSI

  1. Kimia Pangan dan Gizi. 2004. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
    Di dalam Tanpa Ama, Analisis Kadar Abu
    , Agroindustry Laboratory
    http://labvirtual.agroindustri.upi.edu/analisis-kadar-abu
  2. Lisma Noviani, 2023, Arti Abi, Abu, Abati dan Buya, Kosa Kata Bahasa Arab untuk Sebutan Ayah, ini Perbedaan Penggunaannya, COM
    https://sumsel.tribunnews.com/2023/10/07/arti-abi-abu-abati-dan-buya-kosa-kata-bahasa-arab-untuk-sebutan-ayah-ini-perbedaan-penggunaannya.
  3. Kodrat Eko Putro Setiawan, Wahyuningsih, Devi Cintia Kasimbara, 2021, Makna Simbol-Simbol Dalam Kumpulan Puisi “Mata Air Di Karang Rindu” Karya Tjahjono Widarmanto, Tabasa: Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2021
  4. Puji Nurul Amalia Putri, Tiana Puspitasari, Indra Permana, 2013, Analisis Puisi Heri Isnaini “Prangko”, dengan Pendekatan Semiotika, Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Volume 2 Nomor 3, Mei 2019, https://journal.ikipsiliwangi.ac.id/index.php/parole/article/view/2788
  5. SIKel Kota Tasikmalaya, 2017, Sejarah Kelurahan, Sistem Informasi Kelurahan Sirna Galih, Kota Tasikmalaya
  6. Ryan Hidayat, 2020, Analisis Puisi Dengan Pendekatan Hermeneutika, Apollo Project, Vol. 9, No. 1, Februari 2020, https://ojs.unikom.ac.id/index.php/apollo-project/issue/view/356
  7. Rizky Setiawan, 2022, Mengenal Palung Laut, Lekukan Panjang, Sempit, dan Sangat Dalam, orami, https://www.orami.co.id/magazine/palung-laut
  8. Shafwan Nugraha, Nur Israfyan Sofian, 2023, Repetisi Dan Paralelisme Dalam Puisi “Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita Anak Negeri)” Karya Rieke Diah Pitaloka, Jurnal Bastra, Vol. 8, No. 3 Juli 2023, ISSN: 2503- 3875, http://bastra.uho.ac.id/index.php/journal
  9. Silmi Nurul Utami, 2023, “Mengapa Air Tergolong Senyawa?”, com
    https://www.kompas.com/skola/read/2023/06/04/170000269/mengapa-air-tergolong-senyawa-.
  10. Dra Henilia, M.Hum, 2021, Penyimpangan Bahasa Dalam Sebuah Puisi, Juripol, Volume 4 Nomor 2 September 2021, Jurnal Insitusi Politeknik Ganesha Medan
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *