Sinar matahari menyelundup dalam ventilasi kamar. Semerbak pagi menyeruak dalam hidung seorang pemuda tanggung itu. Ini adalah akhir pekan yang suram bagi Arman. Sebab, tadi malam musibah menghampirinya.

Arman adalah mahasiswa agribisnis. Ia berhasil melanjutkan studi karena beasiswa. Selain itu, keputusan Arman untuk memilih jurusan agribisnis tidak lain karena latar belakang kehidupan. Ya, Arman adalah putra dari sepasang petani.

Bukan petani, lebih tepatnya adalah buruh tani. Sebab, orang tua Arman lebih sering menggarap sawah milik orang lain dari pada menggarap sepetak sawah yang mereka miliki. Hal inilah yang memotivasi Arman untuk menggeluti dunia pertanian. Ia ingin mengubah nasib keluarga.

Arman baru dipecat dari pekerjaannya. Sebagai seorang mahasiswa beasiswa, Arman dituntut punya penghasilan selama kuliah untuk biaya kos, makan, dan transportasi ke kampus. Arman bekerja di kedai kopi, terkadang Ia juga berjualan buket ketika musim wisuda. Sesekali Arman juga mengikuti kompetisi untuk mengembangkan bakatnya dalam menulis, tentu juga dengan harapan hadiah ketika memenangkan kompetisi.

Namun, Arman yang hari ini sedang sibuk menyelesaikan skripsi sering terlambat masuk kerja. Jadwal kerja sering bertabrakan dengan jadwal bimbingan. Inilah alasan pemecatan Arman.

Pagi Arman sungguh tidak ramah. Ia harus tetap bertahan hidup dan kuliah. Ia harus mencari peluang kerja yang tidak menggangu proses kelulusannya. Ia harus kerja agar bisa membayar kos, membeli sesuap nasi, dan mengantarnya ke kampus. Arman tidak ingin perjuangannya selama ini sia-sia. Toh selama ini Ia juga telah melewati berbagai ujian. Lantas kenapa Ia harus menyerah dengan mudah? Arman harus mencari solusi.

Perut Arman menggerutu.

Sepertinya perut Arman enggan membantu otak untuk memikirkan solusi dalam keadaan kosong. Tanpa pikir panjang, Arman memasak beras yang dia punya. Keningnya mengerucut, melihat stok beras menipis. Dia menggerogoti saku celana, terlihat selembar uang berwarna kuning dengan gambar Imam Bonjol dan Pengrajin Tenun dari Pandai Sikek, tempat Ia menjalani masa kecilnya. Melihat uang itu, Arman memutuskan untuk sarapan dengan mi instan dan satu sachet sambal terasi lagi.

#

Pada pagi yang sama, di desa yang terletak dibawah kaki Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Nurdin, ayah Arman sedang menyiangi sepetak sawah. Akhir-akhir ini, curah hujan deras bahkan diiringi badai. Sepetak sawah yang sebentar lagi menemui masa panennya, diratakan oleh kencangnya badai. Buah padi yang seharusnya mampu meningkatkan hasil panen, berjatuhan sia-sia ke tanah.

“Sepertinya, gagal panen lagi,” batin Nurdin.

Pagi itu dengan tetap bersabar. Nurdin menyiangi padi yang rebah ke tanah. Ia ikat dan diberi penggalah. Nurdin adalah seorang Ayah yang mengerti tanggung jawab menafkahi keluarga. Sudah lama Nurdin ingin mengganti hasil panen dengan sejumlah uang agar bisa dikirimkan untuk Arman. Namun, niat baik sering terhenti karena kebutuhan lain atau karena gagal panen. Sesak Nurdin sedikit hilang, ketika Arman mengerti dengan kondisi keluarga. Sebenarnya, Nurdin tidak tega membiarkan Arman bekerja ketika kewajibannya adalah belajar.

Matahari mulai naik diatas kepala. Nurdin pun beristirahat. Dia keluarkan handphone di saku celana yang Ia kantongi plastik. Nurdin ingin melepas penat dengan mendengar suara putranya.

“Halo Nak!” Sapa Nurdin.

“Iya Pak, Bapak Apa Kabar?” Balas Arman.

“Alhamdulillah baik Nak. Nak, sepertinya kita gagal panen lagi. Maafkan Bapak ya, masih belum bisa mengirimimu uang.” Ucap Nurdin dengan jujurnya.

“Iya engga apa-apa Pak. Arman disini baik-baik aja kok Pak. Alhamdulillah gaji Arman cukup kok untuk hidup disini. Ini aja, Arman baru selesai makan nasi padang.” Dusta Arman menimpal ucapan Bapaknya.

Selanjutnya, percakapan mereka dipenuhi tawa ria. Saling menceritakan kabar baik dan do’a untuk masa depan yang bahagia.

#

Selang dua hari, di samping Rumah Makan. Nurdin menemani istrinya ke Pasar. Tiba-tiba nomor tidak dikenal menghubunginya.

“Halo, apakah ini dengan Nurdin,” Tanya Penelpon.

“Iya, ada apa?” Tanya Nurdin kembali.

“Kami dari Rumah Sakit mengabarkan bahwa anak Bapak, Arman Surya harus menjalani operasi usus buntu,” Jelas Penelpon.

Nurdin membisu. Pada saat yang sama di Rumah Makan tadi. Nurdin melihat sekelompok elit partai yang sibuk mempersiapkan kampanye selesai makan siang. Makan siang dengan sisa nasi di piring.

Ramadhanur Putra, mahasiswa UMY berkebangsaan Minangkabau. Instagram dan twitter @ramadp__

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *