Ketika Teater Rendra Diprotes Penonton dan Dilarang Penguasa
Edi Haryono
Sikap Rendra pada tradisi: Tradisi adalah kebiasaan yang berguna menggulirkan kehidupan masyarakat. Bagi Rendra, tradisi seumpama sebuah wadah bagi kegiatan kreatif dirinya. Bila ternyata geliat kegiatan kreatifnya lebih besar dan tak tertampung lagi oleh wadah ini, maka Rendra akan memperbesar wadah agar tradisi ikut mengalami kemajuan.
Bengket Teater di Yogya mulai terbentuk Oktober 1967. Rendra dan kawan-kawan kala itu berlatih sendiri dengan cara menggali untuk menemukan jenis pentas teater yang sesuai dengan naluri bangsa dan isinya mampu mengajak maju masyarakat (Rendra membedakan teater tradisional dengan teater modern yang saat itu dianggap baru. Menurut Rendra masyarakat memerlukan teater modern untuk mendiskusikan dan mencerna persoalan-persoalan baru di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, misal: parlemen, yang tidak dibicarakan dalam teater tradisional).
[iklan]
Latihan yang suntuk tak mengenal waktu menghasilkan penggalian yang detail dan mendasar. Isi kepala Rendra yang dipenuhi kesenian Jawa dan Bali berbaur dengan pengalaman bertetaer selama 3,5 tahun di Amerika tersirat dalam karya Bengkel Teater itu yang untuk sementara waktu disebut: eksperimen. Dan untuk menguji eksperimen ini digelarlah pertunjukan di halaman rumah dengan penonton para tetangga di kampung serta beberapa seniman dan sastrawan Yogya yang khusus diundang untuk menonton dan mereview.
Meski demikian dalam pergelaran berikutnya di Pendopo Sonobudoyo, dengan nomor eksperimen yang lain lagi, beberapa penonton protes. Bahkan ada batu yang melayang ke arah panggung. Terjadi kegaduhan, namun pertunjukan selamat hingga selesai. Beberapa anggota group sempat mengejar si pelempar batu namun tak tertangkap. Menurut Amak Baljun (alm) yang waktu itu ikut main dalam pentas itu, penonton marah karena di panggung Rendra benar-benar mencium pasangan mainnya.
Protes berikutnya lebih beringas. Rendra menuturkan, saat pentas salah satu nomor mini kata di Gedung PPBI Yogya, sesuai pertunjukan sejumlah mahasiswa menerobos sampai ke kamar rias dan menodongkan pisau mengacam Rendra. Para mahasiswa itu bersedia mundur ketika Sunarti, istri Rendra, membalas tantangan itu dengan berduel satu lawan satu.
Berdiskusi dengan Pemrotes
Masalah di atas diselesaikan oleh Rendra dengan mendatangi pihak Kepolisian. Rendra meminta bantuan agar diijinkan menyelenggarakan diskusi dengan para penonton yang memrotes bertempat di kantor polisi Ngupasan. Publikasi acara diskusi itu dilakukan dengan memasang poster-poster di tembok-tembok strategis di pusat kota. Poster bertuliskan “Diskusi 13 Menantang Kota”. 13 adalah jumlah Anggota Bengkel Teater.
Diskusi berlangsung seru. Menurut penuturan Rendra, seorang ibu maju ke depan dengan wajah merah padam. Sambil menuding ke arah muka Rendra ibu ini menyoal peran Tuhan (dalam pentas mini kata ‘Piip’) yang tidak sesuai dengan gambaran Tuhan yang diimaninya. Rendra meredakan ibu yang penuh perhatian ini dengan menerangkan: “Ibu tidak usah khawatir, masalah Imaji kita tentang Tuhan bisa berbeda, Tuhan bermahkota duri, tetangga ibu isi kepalanya Tuhan bermahkota daun, padahal sama-sama seiman. Apakah perlu disoal?”
Alhasil, sejak terjadi diskusi tersebut pertunjukan karya-karya Bengkel Teater selalu diminati banyak penonton. menurut Rendra, kenyataan itu membuktikan penonton amat tertarik pada suguhan kesenian yang menawarkan kemajuan kehidupan.
Artikel ini diambil dari Buletin Dramakala edisi 11, Oktober-November 2012.
sumber foto kompas.id