Namanya juga laki-laki. Demi harga diri dan kehormatan kalau perlu nyawa dipertaruhkan dalam sebuah pertarungan dalam sarung. Suku Bugis di Sulawesi Selatan punya tradisi unik yang juga bisa dibilang ekstrim, ngeri-ngeri asyik.  Tradisi ini bisa menelan korban, dikenal dengan sebutan Sigajang Laleng Lipa. Tradisi saling tikam menggunakan badik dalam satu sarung. Waw!

Sesungguhnya, tradisi ini adalah tradisi adat Bugis-Makassar dalam menyelesaikan sebuah masalah. Dua perwakilan keluarga yang bertikai menyelesaikan masalah akan saling tikam dalam sebuah sarung. Cara ini adalah cara paling terakhir apabila musyawarah mufakat tak menemui titik terang.

Baku tikam saja kok harus dalam sarung? Di arena terbuka kan lebih enak, lebih leluasa dan bebas untuk bergerak serta mudah memainkan jurus-jurus silat atau ilmu yang dimiliki oleh si pelaku . Ternyata, secara adat tradisi masyarakat Bugis-Makasar itu, Sarung dalam arena Sigajang Laleng Lipa memiliki arti sebagai simbol persatuan dan kebersamaan suku Bugis Makassar. Sarung yang mengikat bukanlah ikatan yang menjerat, melainkan sebuah ikatan kebersamaan antara sesama manusia.

Pertarungan Sigajang Laleng Lipa biasanya dilakukan di Tempat Terbuka atau tempat tertentu yang kemudian dijadikan sebagai arena. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Bugis Makasar dikarenakan mereka berpegang pada pepatah lama yang berbunyi: ‘Ketika badik telah keluar dari sarungnya, pantang diselip di pinggang sebelum terhujam di tubuh lawan.’

Dan apabila sudah menyangkut harga diri, mau tidak mau biasanya, tradisi Siganjang Laleng Lipa ini akan ditempuh oleh pihak yang berkonflik. Karena dalam budaya suku Bugis-Makassar terdapat dua hal yang digenggam erat, yaitu konsep Ade’ yang berarti adat istiadat yang harus dijunjung dan Siri Na Pacce/Passe adalah rasa malu atau harga diri yang perlu dijaga dan dipertahankan agar harkat dan martabat tetap terjaga.

Siri punya makna paling kuat dalam budaya masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat dari sebuah pepatah Bugis yang berbunyi, ‘Siri Paranreng Nyawa Palao’’, yang berarti harga diri yang rusak hanya bisa dibayar dengan nyawa lawannya. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, manusia yang tidak punya siri atau rasa malu bukanlah siapa-siapa, tapi seekor binatang.

Biasanya pertarungan Sigajang Laleng Lipa akan memberikan hasil yang imbang, antara kedua pihak meninggal atau kedua pihak sama-sama hidup. Setelah melakukan Sigajang Laleng Lipa, kedua pihak yang bertikai tidak boleh lagi memiliki rasa dendam, dan masalah yang menjadi bahan pertikaian dianggap sudah selesai.

Sebenarnya, tradisi ini adalah tradisi adat Bugis-Makassar untuk menyelesaikan sebuah masalah. Dua perwakilan keluarga yang bertikai menyelesaikan masalah akan saling tikam dalam sebuah sarung. Cara ini adalah cara paling terakhir apabila musyawarah mufakat tak menemui titik terang.

Tradisi Sigajang Laleng Lipa ini banyak terjadi pada masa lalu saat keluarga merasa harga dirinya terinjak. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan pendidikan dan teknologi, tradisi ekstrim macam ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis Makassar sendiri. Namun, tradisi Sigajang Laleng Lipa ini tetap menjadi warisan budaya leluhur Sulawesi Selatan. Bahkan, budaya ini masih dipentaskan di atas panggung sebagai hiburan semata tanpa harus menghilangkan nyawa.
****

Dihimpun dari berbagai sumber oleh : NS dan AY

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *