Hisyam billya al-wajdi Penyair kelahiran Yogyakarta, yang kini berbisnis di kampung halaman ini, ternyata masih menyimpan tenaga untuk melahirkan beberapa Puisi di tengah kesibukannya.

Latar belakang pendidikan dan lingkungan sekitar, kadang bisa menyeruak begitu saja, mungkin tanpa disadari oleh Sang Penyair, bahwa diksi diksinya memang beraroma tentang latar belakang Penyair.

Sebut saja beberapa Judul Puisi besutan Penyair yang pernah belajar Filsafat di Kampus UIN Sunan Kalijaga, berlanjut belajar di Universitas Negeri Yogyakarta dengan mengambil Prodi Pendidikan Kewarganegaraan, serta bisnis yang dijalankannya.

Di Puisi Sajak Buat Alina ada satu penanda bahwa Penyair memang pernah belajar filsafat. Kalimatnya bisa terpindai sebagai ungkapan filosofis, semisal: Dari balik jendela, tuhan terus saja menuangkan hujan ke cawan-cawan semesta.

Demikian juga tentang latar prodi pendidikan yang biasanya membahas tentang seputar mengerti dan tidak mengerti, tahu dan tidak tahu, serta bagaimana agar menjadi paham. Hal seperti ini bisa dinikmati pada Puisi Sajak di Skypiea pada kalimat: “Aku tau kesumat apa itu,” Warna putih yang menyebul ke arahku, “Aku tak tau kesumat apa itu,”

Begitu juga kehidupan bisnisnya pun juga mewarnai aroma puisi, Hal ini bisa dibaca pada usungan angka angka, semisal di Puisi Bunga Lima Puluh Hari.

Puisi puisi berikutnya, tentu tidak terlalu jauh dari latar belakang Penyair, baik dalam pemilihan logika kata, rasa bahasa, maupun diksi misteri yang ditayangkan di dalam puisi puisinya.

Pilihan katanya pun masih belum terendus bebas dari latar belakang si Penyair, dan justru mampu melekat menyatu pada setiap gaya ungkapnya.

Selamat menikmati, dan temukan misteri diksinya!

Sajak  Buat Alina

Kita menghabiskan malam-malam yang halus Alina; Berdua saja
Rembulan di wajahmu, tawa kecil yang lepas tiap kali kita bertatapan
Seperti di film-film roman itu; Angin melukis wajah kita di angkasa
Ada birahi yang lepas, Terjun bebas layaknya daun pakis
Kita setengah amnesia, Seperti wartawan koran ketika merekontruksi angle berita
Di luar hujan mulai renyai, di sini cinta menyergap kita,
Segelas sirup Tjampolay itu masih suci menyiksa mata
“Kau pernah mendengar lagu Moon River?” tanyamu
Tidak,aku penggemar kidung dan kakawin Alina
Dari balik jendela, tuhan terus saja menuangkan hujan ke cawan-cawan semesta
Mungkin di belahan bumi yang lain, para penyair menulis puisi-puisi masygul atau prosa yang gabuh
“Tapi Alina, kau pernah dengar kisah Shimamura dalam untaian haiku seputih salju?”tanyaku
(Lampu tugur itu mulai mengkerut,udara dingin mengalir)
“Aku pernah baca sekilas, rimanya cukup menyenangkan seperti suara empuk Sebastian Bach”
“Ya seperti freddie ia mungkin bisa melampaui empat oktaf Alina”
Kemudian ia menggengam tanganku, wajahnya mendekat bibirnya tiba-tiba merekah, senyum tipis itu mengembang mirip bunga gladiul
“kau membuatku terpukau”pujinya
Dan kita berciuman sangat lama
sangat-sangat lama

2021

Sajak di Skypiea

Sungguh kita memang tak tau apapun tentang lautan, dan dataran awan ini. Kita tak mungkin mengambilnya meski sejumput saja
“Hampir saja kita di lumat habis oleh knock up stream itu Nami,“ katanya
“Aku tau kesumat apa itu,” Warna putih yang menyebul ke arahku,
“Aku tak tau kesumat apa itu,” Flora fauna yang bermukim di sana, doa-doa yang tergantung di sekitar kita
Menit demi menit menyusut di sini; matahari menyala seperti tuan besar di kerajaan Alabasta. Luffy ini tanah nenek moyang kita, yang terpaut pada layar dan desir angin. Di bumi yang letih, barangkali akan senantiasa ada sepasang kurcaci, peri dan kerinduan tak bertepi
Diam-diam mimpi mengeras seperti bongkahan emas, ketika kau teguk umur dan puisi masa kecilmu
Akankah ada peramu kata di sini, di hamparan awan dan derak panas ini?
“Seseorang telah menginjakan kaki di sini, sebelum kita, waktu memang selalu mengulur rahasia demi rahasia,” ucapnya.

2021

Bunga Lima Puluh Hari

Bunga lima puluh hari telah sampai mengecup pipi
Linang-linang embun yang menyertai
Bunga lima puluh hari
Kecemasaan dan ragu-ragu tak lagi hinggapi
Bunga lima puluh hari
Mengikat janji dengan kupu-kupu dan lebah
Untuk esok yang lebih cerah

2021

Stairway to Heaven
-Led Zeppelin

Nona, gigi hujan yang rontok ke bumi; dari langit ketiadaan
Suara angin mencuat, teralis-teralis perak bersedekap
Cahaya matahari menyusup di Alpen dan menguyur town house
September tiba mirip bom waktu tertanam di bawah jantungmu
Di tengah-tengah arus dan batu
Nona, seringkali kata-kata memiliki dua arti mirip seruling Hamelin sebelum punah dan terkuduskan
Tiba-tiba angin mengantarmu ke langit
Dan berguling-guling diatas hamparan awan, lukisan nabi dan para rahib mencecap mata
Surga yang di janjikan jadi tawar
Nona kau julurkan leher,kepingan-kepingan pelangi melilit
Hawa panas menembus, Viennese emona memanjang jadi kaki bagi langit
Dimana warna laut, matahari meleleh tubuhku kau bungkus dengan turtleneck
Panas membara, burung-burung kabur

2021

Lorong Mei

Mei
Menitikan air mata padamu
Dari kejauhan
Sangat jauh
Sayup-sayup suaramu merambat kesana
Menyelinap pada lorong mei
Kuncung angin sekitarmu telah membabar jati diri
Dan kabut
Makin tebal

2021

Hisyam billya al-wajdi lahir di Yogyakarta, 11 februari 2002. Penulis mempelajari filsafat secara formal selama dua semester di UIN Sunankalijaga kemudian berhenti dan melanjutkan studi di Universitas Negeri Yogyakarta dengan mengambil Prodi Pendidikan Kewarganegaraan. Puisinya dimuat dalam berbagai antologi dan media baik cetak maupun online. Kini tengah menyibukkan diri merintis bisnis di kampung halaman.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *