Oleh Depri Ajopan

“Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan istriku. Sebenarnya ia tidak suka aku menemuimu. Setelah aku tahu kisahmu tentang dia dari seorang kakek, baru aku mengerti istrikulah yang salah dalam permainan ini, kau yang benar,” aku terdiam mendengar ocehannya. Hatiku ingin tahu siapa kakek itu. Pikiranku menerawang, dan aku tetap mengambil sikap seolah takpeduli. Apa aku harus mempercayai lelaki itu?

“Bagaimana menurutmu tentang istriku?”

Pertanyaan konyol. Aku merasa mendapat serangan fajar yang menyingsing naik sepenggalahan, sinarnya yang panas dan terik menjilat ubun-ubunku. Mungkin ia sengaja meretakkan kepribadianku di sini. Aku yang memegang gelas tak jadi menyeruput kopi, meletaknya kembali di atas meja perlahan-lahan. Kecurigaan dalam hatiku terus timbul, ketukannya semakin membahana. Aku yakin permainan ini sudah diatur sedemikian rupa. Tentang kehadirannya menemuiku tanpa sepengetahuan Asrianti, ini juga pasti suatu kebohongan belaka yang sengaja mereka ciptakan. Kemarin dalam pertemuan pertama ia mengerjabkan mata pada istrinya membuat satu kode, aku tak tahu maksudnya. Setelah itu istrinya mendadak pergi entah ke mana, seolah sengaja memilih mengundurkan diri.

Ia pikir aku tak melihat sandiwara mereka. Kecurigaanku semakin besar bunyinya. Aku yakin kedatangannya ke sini pasti sepengetahuan Asrianti, bahkan mungkin dia disuruh istrinya itu. Mereka bekerjasama dalam hal ini. Tapi untuk apa?  Aku jadi bimbang dan merasa penasaran. Rasa ingin tahuku semakin membludak dalam hati. Aku harus siap-siap menunggu serangan yang bertubi-tubi. Aku menyesal ikut duduk mendaftarkan diri, tapi tetap tidak mau memilih pergi. Ini penyesalan yang tidak bisa ditolak. Aku harus bisa menjaga keseimbangan sebelum ia menginjak nuraniku. Aku yakin kedatangannya ke sini sebagai angin kencang yang menerpa untuk mematahkan rantingku, paling tidak mengugurkan dedaunan yang ada pada diriku. Aku harus bisa bertahan. Mendadak aku menutup mulut, kemudian terbatuk yang dibuat-buat seperti orang habis kencing.

“Maaf kawan kalau kau merasa tersinggung. Aku tidak bermaksud menambah luka laramu. Tapi aku yakin kau mengenal Asrianti lebih dalam dari pada aku sendiri suaminya. Bahkan bagaimana mempermainkan tubuhnya yang lembut, kau lebih lihai dari aku. Karena kau dulu yang memulainya. Aku kan orang asing yang datang belakangan, hanya dapat sisa dari seorang laki-laki yang piawai bermain cinta. Menikahi  perempuan bekas, dan tahu tentang itu setelah menikah, adalah hal yang menyakitkan.” Ia telah salah menilaiku. Jantungku yang berdebar serasa copot. Aku merasa jijik mendengar deretan kata-katanya. Suami macam apa lelaki itu? Ia telah menelanjangi kebobrokan istrinya di depanku. Secara tidak langsung ia menampakkan jati diri sebagai seorang suami tidak bisa menjaga rahasia istri, dasar suami tidak berguna. Tapi aku tidak ingin menelusuri jejaknya lebih lanjut. Sikapku yang apatis  menunjukkan bahwa aku tidak menyukai caranya mulai kutampakkan.

“Aku tidak tahu apa-apa tentang Asrianti, apalagi mengenai kesuciannya.”

“Kau bohong. Kau yang telah menyentuhnya. Jujur kau yang telah menelanjangi tubuhnya kan?”

Akhirnya aku bangkit dari tempat dudukku, membelakangi lelaki keparat itu. Aku mengayunkan tangan, berjalan langkah demi langkah, berharap ia membuntuti aku dari belakang seperti anjing, kemudian meminta maaf. Aku lirik ia diam-diam membayar minuman kami berdua, lalu mengejarku. Di jalan yang sepi ia bermohon seperti hamba mengajakku kembali duduk di bawah pohon yang kering karena  kehausan. Daunnya yang kuning jatuh berguguran melambai-lambai diterjang angin, menempel di atas tanah yang berdebu.

“Asrianti itu perempuan yang baik, dan ia memiliki ketulusan.” Aku yang baru duduk mengikuti jejaknya mempromosikan perempuan yang pernah membuat perih hatiku. Jalan yang kutempuh ini tidak salah. Seharusnya kukatakan, karena menurutku sudah tepat sasaran. Demi kebaikan aku mengatakan ini pada suaminya sendiri, agar ia tenang dan tidak salah paham denganku. Tapi aku mendapat balasan yang tidak setimpal. “Kau telah membohongi dirimu sendiri. Kalau ia perempuan yang baik dan tulus, kenapa ia tega meninggalkanmu sebagai seorang lelaki yang setia. Dia telah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya. Aku harus objektif dalam hal ini. Asal kau tahu Asnul, untuk menemuimu saja, harus terjadi dulu konflik yang berbelit-belit antara aku dan  istriku. Dia tidak mau jujur dengan perasaannya.” Aku dan dia sama-sama terdiam sesaat.

“Aku mengatakan dia perempuan baik, bukan perempuan tulus. Mengenai ia yang meninggalkanku itu pilihannya.”

“Dia begitu mencintaimu Asnul,” sepertinya begitu berat ia mengucapkan kalimat itu.

“Percayalah cinta yang bersinar di matanya untukmu seorang bukan untukku sebagai suaminya,” aku melihat ada perubahan pada wajahnya.

Ia menonjolkan sejengkal keberanian di depanku. Katanya ia berani bersifat objektif. Tapi jujur aku belum mempercayai bangsat itu sepenuhnya. Bisa jadi nanti semakin ke ujung semakin ngaur omongannya. Jangan-jangan ia berkata begitu karena ingin menjebakku, bermaksud untuk melukai hatiku yang cedera. Atau hanya karena ia ingin menunjukkan suatu kemenangan yang gilang gemilang bahwa ia telah berhasil merebut Asrianti dari tanganku. Ketika itu Asrianti masih dalam genggamanku. Apa perlunya ia repot-repot datang menemuiku kalau hanya untuk bermusuhan. Aku bukan saja terkejut, tapi jantungku serasa tertusuk mendengar ia berkata seperti itu. Dari penjelasan itu sepertinya ia membelaku sebagai orang asing di matanya, takpernah ia kenal, dan takpernah jumpa selama ini. Apalagi sampai menjalin persahabatan. Aku dengar dengan jelas ia menyalahkan istrinya sendiri. Apa aku harus mempercayainya? Pikiranku berbolak-balik. Aku tidak merasa menang, dan tidak seharusnya bersiteru dengannya. Aku berpikir sejenak, kata-kata apa yang tepat untuk membalas tuduhannya. Semakin ke ujung nanti bisa jadi ia semakin menyudutkan aku. Tidak, dia tidak akan menyudutkan aku, juga tidak akan menuduhku yang bukan-bukan. Ia hanya mengatakan apa yang sebenarnya pernah terjadi antara ia dengan Asrianti sebagai istrinya. Rasa-rasanya aku tak perlu mendengar penjelasan seperti itu. Aku orang jauh dalam keluarga mereka. Aku merasa terpinggirkan, dan memang aku harus minggir.

“Kenapa kau diam saja Saylendra?” Ia menyebut nama belakangku, tidak seperti orang-orang memanggilku Asnul. Nada suaranya yang sok manja  seperti Asrianti dulu. Si gadis jelita itu memanggil namaku Syalendra penuh kelembutan sambil mencubit kuat pipiku, dan aku tetap tak berani menyentuh tangannya. Apalagi sampai menyentuh bagian yang lain.

“Percayalah aku datang ke mari tanpa sepengetahuan istriku. Dia sering menjelek-jelekkanmu di depanku, tapi yakinlah demi Tuhan dia mencintaimu. Aku melihat cinta itu di matanya hanya untukmu bukan untukku. Dalam musafir cinta, aku telah tersesat dan salah dalam memilih.” Mulutku yang serasa terkunci tidak bisa berkata sepatah pun, bibirku yang bergetar terus bergerak-gerak, ingin terus berkata-kata.“

Dalam hal ini yang baik itu bukan Asrianti, bukan aku tapi kau Syalendra. Kau yang telah disingkirkan. Makanya kau dan dia tidak ditakdirkan hidup bersama waktu itu. Orang baik tidak akan dipertemukan dengan seorang pengecut. Belakangan ini aku baru tahu, ternyata istriku adalah seorang penghianat, seorang pecundang, tega meninggalkan seseorang yang tulus kepadanya. Akhirnya ia sendiri yang sengsara. Aku yang dipilihnya tidak merasa diri ini merdeka. Aku tak pernah menganggap kau kalah dalam permainan ini, sesungguhnya kau menang. Soal aku yang berhasil menjadikan dia istri itu bukan soal kemenangan, tapi takdir yang sudah digariskan Tuhan. Tangan kotor manusia yang menjijikkan tidak akan bisa mengubahnya. Aku tidak merasa bangga mendapatkan dia, yang terjadi aku malu pada diriku sendiri, juga malu pada dirimu Syailendra.”

Apa Ia tidak tahu dia itu pilihan orang tua Asrianti, bukan pilihan gadis itu sendiri. Dalam perjodohan perempuan itu menurut saja pada orang tua, tanpa mempertimbangkan baik dan buruk ke depannya. Apalagi karena lelaki itu tampan dan berseragam. Itulah satu-satunya alasan yang tepat membuat Asrianti luluh pada waktu itu. “Sekarang aku lihat Asrianti menyesal dengan ini semua. Tapi ia belum mengakui, mungkin karena gengsi atau apa, aku pun tak tahu. Aku minta pertolonganmu orang baik.” Ia sering memujiku, dan meultimatum dirinya sendiri, juga memojokkan istrinya. Ia merasa jadi pribadi yang kalah dan ia dengan jujur mengakui kekalahannya itu. Aku tidak mau menelusuri jejak kisah cinta mereka yang segelintir. Aku tidak mau tahu, dan sementara tidak ingin tahu. Lebih baik aku diam pekik tiada suara. Biar saja dia berkicau merong-rongku, seperti seekor burung yang gesit merenggangkan sayapnya berdecak-decak, bikin gaduh dan ribut suasana.

“Apa kau masih mencintainya?” Lelaki itu mendekatkan bibirnya ke telingaku. Suaranya menyerupai bisikan setan.

“Apa kau yang sudah memetik kesuciannya sebelum Asrianti menikah denganku?” Lelaki keparat itu semakin kurang ajar di depanku. Aku tak membalas igauannya. Biar saja ia menggerutu mengutukku, menyumpah serapahiku, aku takpeduli. Tapi aku jadi penasaran siapa lelaki yang memetik kesucian Asrianti. Siapa orang ketiga itu? Kenapa Asrianti takpernah jujur sebelumnya? Jangankan padaku, sama suaminya pun tidak. Kapan terjadi kecelakaan itu? Lebih baik aku memilih pergi dalam suasana kelam seperti ini. Untuk apa aku melayani orang seperti dia yang mungkin membenciku dan aku benci. Aku tak perlu menggunakan hati kalau berhadapan dengan orang seperti dia.

“Tunggu dulu Syalendra, kau jangan salah paham denganku. Aku tidak ada niat setitik pun mengatakan kau lelaki tidak bermoral. Tapi siapa tahu setelah berpacaran dengan Asrianti imanmu yang kukuh runtuh, kejantananmu melonjak-lonjak, kau tidak bisa mengontrol lagi sahwatmu yang brutal.” Aku sudah tak sabar lagi, aku punya firasat dia benar-benar bermaksud ingin mengancamku. Apa sebaiknya aku harus melayaninya, siap bertarung dengannya di sini, tanpa menggunakan senjata apapun. Perseteruanku dengan seorang prof belum selesai, musuh bebuyutan baru muncul lagi. Ini saat yang tepat aku harus perang mulut dengannya, kalau perlu perang fisik.

“Kalau memang aku yang memetik kesuciannya, apa urusannya denganmu. Kau merasa keberatan, dan ingin menuntutku.” Melihat aku geram ia terkekeh. Menganggap tuduhan-tuduhannya terhadapku sebuah lelucon kecil. Ia pikir pertemuan ini sama dengan bermain sirkus. Ia telah menjadikan dirinya seorang badud di depanku.

“Asal kau tahu, aku lebih dulu mengenalnya, dan aku lebih dulu mencintainya daripada kau.” Aku sendiri yang terlihat lebih agresif, sementara ia nampak tenang-tenang saja. Aku merasa ia telah memandang rendah diriku, dan telah menunnjukkan sikap sebagai seorang suami yang tidak punya kepribadian.

“Syalendra, sekali lagi kukatakan, aku sebagai seorang lelaki yang tidak baik, tidak ada niat memojokkanmu sebagai lelaki yang baik. Aku hanya ingin tahu lebih dalam tentang istriku. Aku sudah menemukan orang yang tepat untuk melakukan diskusi tentang istriku. Aku sudah tidak tahan lagi hidup bersamanya. Aku ingin berpisah dan menceraikannya. Karena itu aku minta pendapatmu.”

Sedikit aku merasa lega dengan ucapannya. Aku menganggap dia seorang musuh bebuyutan. Padahal dari tadi ia bersikap lembut. Namun aku tetap berhati-hati, siapa tahu ini sebuah jebakan. Dan siapa tahu juga dengan cara diam-diam ia sudah berbulan-bulan menelusuri jejakku, dengan itu ia tahu  cara jitu untuk menjurumuskan aku. Kemudian dia melakukan suatu trik tertentu menjatuhkan aku ke jurang paling dalam, begitu jatuh masih diinjak-injak. Ini sebuah dugaan yang lahir dari pikiranku, belum tentu benar. Yang penting aku harus bersikap waspada. Setelah pertemuan itu, aku berpikir, siapa yang merusak kesucian srianti sebelum ia menikah, yang jelas bukan aku dan bukan suaminya. Kesucian perempuan untuk saat ini perlu dipertanyakan, karena sulit dipertahankan oleh perempuan itu sendiri.

Depri Ajopan. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru Mandailing Natal. Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di berapa media cetak dan online. Sekarang penulis aktif di Rumah kereatif Suku Seni Riau mengambil bagian sastra.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *