Sepasang Air Mata Perempuan Hazmat
Eri Setiawan
Malam-malam kian lebih panjang, sebab keresahan seperti menghantam degup jantungnya. Kesepian menjatuhkan air matanya. Jam dinding yang menggantung di tembok itu seperti tak berputar sewajarnya. Ruangan pun begitu sunyi. Hanya beberapa kali datang seorang dokter diikuti perawat yang tak lain hanya sebatas mengecek perkembangan kesehatan pasien dan memberi sedikit senyuman. Tak ada siapa pun; suami, keluarga besar, atau para tetangga dekat yang duduk di kursi atau bersila di kasur lantai. Sambil mendoakan, tentunya dapat sedikit berbincang-bincang untuk menutupi secuil rasa sakit sang pasien. Namun, hampir seluruh manusia di penjuru dunia memang sedang dilanda ketakutan. Ketakutan yang timbul dari kabar-kabar serba dahsyat dari media-media yang ditayangkan ataupun diterbitkan saban hari oleh pemerintah maupun pihak-pihak swasta. Memang tak dapat dipungkiri bahwa berita-berita itu kiranya benar adanya. Wabah yang dahulu hanya menyerang kaum perkotaan, kini sudah menjarah ke kabupaten, bahkan ke pelosok-pelosok desa. Itulah yang benar-benar menjadi momok luar biasa bagi orang-orang yang selama ini hidup dalam ketenteraman. Orang-orang yang sangat jarang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
***
Wulan pernah bercerita bahwa ia dan tenaga kesehatan lainnya pun tak luput dari rasa takut yang makin hari kian mengalut. Bagaimana tidak? Orang-orang yang hanya sekadar tidur, bercakap-cakap, dan duduk di serambi rumah saja gosipnya dipenuhi ketakutan. Yang biasanya sangat kental dengan gosip-gosip kehidupan rumah tangga tetangga, kini lebih tinggi derajatnya.
“Bu, Ibu, kemarin dengar suara ambulans?”
“Eh, eh, iya. Katanya membawa mayat korona.”
“Bukan koronanya yang jadi mayat, toh, Bu. Itu loh, katanya pegawai mal mati karena korona.”
“Duh, bahaya sekali, ya, Bu. Itu di desa sebelah, kan? Amit-amit sampai sini.”
“Mending kita jangan menerima tamu dulu dari desa sebelah, Bu. Risiko ini loh risiko.”
“Bukan hanya dari desa sebelah. Sudah pula sepantasnya ditegaskan, mereka yang kerja di rumah sakit juga jangan balik rumah dulu dong. Demi kebaikan bersama, kan?”
“Nah, nah, betul sekali itu, Bu. Ngeri banget,” ungkap seorang ibu dilumuri perasaan merinding.
Tentunya, perempuan yang sedang mengabdikan dirinya untuk negeri tercinta itu memiliki ketakutan yang sedemikian lebih dari masyarakat pada umumnya. Sumpah jabatan sebagai perawat di salah satu rumah sakit umum kabupaten besar yang telah ia ucapkan beberapa tahun lalu benar-benar mengikat dalam dirinya. Pastinya menjadi tanggung jawab besar yang tak mungkin seenaknya disimpangkan, apalagi akhir-akhir ini tenaga kesehatan begitu dibutuhkan. Di sana-sini rumah sakit penuh. Sementara, tenaga kesehatan justru bisa dibilang masih terbatas. Tak bisa dipaksa untuk pas.
Wulan, perawat yang sedang mengandung itu, memang sangat jarang pulang ke rumah sejak beberapa bulan belakangan, bahkan untuk sekadar berkeluh kesah dengan sang suami. Dalam sebulan, ia hanya dikasih empat hari untuk off dan baru bisa menemui keluarga di rumah, itu pun tak berturut-turut dan tak berlangsung lama semenjak kejadian waktu itu. Pak RT diikuti beberapa warga datang mengepung serambi rumah. Entah siapa yang pertama kali menghasut warga hingga hampir semuanya mengangguk. Kalau dipikir-pikir, perawat yang seharusnya dimuliakan justru dianggap seperti tersangka atau pembawa wabah penyakit.
“Jadi, begini, Mba. Maaf sebelumnya. Kan, demi kebaikan dan keselamatan warga desa ini, bagaimana jika Mba tidak pulang dulu ke rumah?” Pak RT dengan cukup hati-hati memberikan saran.
“Iya, Mba. Mana ada yang tahu. Kalau tiba-tiba Mba terjangkit virus itu, kan, kan, kami yang di sini bisa tertular,” seorang ibu paruh baya menyentil dengan cukup sengit, diikuti warga lain dengan nada setuju.
“Boleh saya yang ngomong dulu, Bu?” Pak RT sedikit kesal.
“Maksudnya, saya dengan suami harus meninggalkan rumah, Pak?” Wulan cukup terkejut. Tak pernah terpikirkan sebelumnya warga bakal secara halus mengusirnya.
“Ya, bukan begitu, Mba. Ini kan demi kebaikan kita semua. Toh, Mba Wulan juga menginginkan keluarga Mba dan kita semua baik-baik saja, kan? Kami tak mengusir. Cuma menyarankan supaya Mba jangan pulang dulu ke rumah. Untuk suamimu, bolehlah tinggal saja di sini. Pun tetap hati-hati dan seringlah cek kesehatan karena bagaimana pun suami cukup sering ketemu Mba,” ucap Pak RT lebih jelas.
“Tuh dengerin, Mba. Kami takut loh. Penyakit loh ini penyakit! Iya, kan, Pak Bu?” ketus perempuan itu memengaruhi warga lain.
“Bu Irah!”
Sejak peristiwa itu, rumah benar-benar sering kosong. Suaminya yang bekerja di salah satu bank swasta pun jarang sekali menyentuh kursi rumah. Entah ia memilih berteduh di mana dan dengan siapa. Mungkin dalam benaknya, jika ia memaksa pulang, ketidaknyaman justru makin membuncah. Lelaki berusia menjelang kepala tiga itu pernah beberapa kali mendapat perlakuan yang kurang ramah dari warga sekitar ketika pulang ke rumah, apalagi dari Bu Irah yang tiap ucapannya mengandung puluhan cabai rawit campur satu sekop garam. Seolah-olah ia dengan istri tercinta benar-benar bakal menjadi sumber mala petaka di desanya. Padahal, keduanya pun selalu menerapkan protokol kesehatan, seperti yang selalu diimbaukan oleh pemerintah pusat maupun daerah secara gencar dan masif. Orang tua Wulan, yang masih satu desa bahkan satu kompleks pun tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali mencoba menenangkan dan melibatkan kata-kata penguat kepada putrinya melalui ponsel. Kalau orang tua ingin ketemu, biasanya dua atau tiga minggu sekali datang bersama menantunya ke rumah sakit. Itu pun hanya bertemu dalam waktu yang singkat, bahkan kadang tak lebih dari sepuluh menit karena pasien tak bisa ditinggal lama-lama. Pernah juga, mereka hanya saling melambaikan tangan karena putrinya sedang mengenakan baju hazmat.
***
Kabar sakitnya Wulan tentu saja cepat menyebar, khususnya ke telinga-telinga warga kompleks desa tempat ia bermukim. Bu Irah yang selama ini memengaruhi warga-warga merasa bangga karena apa yang ia cemaskan terjadi juga. Bahkan, tak segan-segan ia hendak mendeklarasikan bukti keakuratan ‘ramalannya’ kepada warga kompleks walaupun sebenarnya sebagian orang sudah mengetahuinya. Dengan otak dan mulut yang sudah dipenuhi kata-kata, kini perempuan separuh baya itu pun mendeklarasikan kabar itu, sekaligus kembali memengaruhi warga-warga.
“Tuh, kan, apa saya bilang! Kalau saja saya tak memengaruhi Pak RT waktu itu, mau jadi apa kampung ini.”
“Benar, Bu. Bu Irah memang orangnya waspada dan solutif,” respon seorang ibu muda yang sama-sama sedang membeli sayuran di sekitaran kompleks.
“Untung ada Bu Irah. Kalau di kompleks kita tak ada Bu Irah mungkin kita semua sudah ketularan deh,” ketus Pak Kumis penjual sayur yang cukup lengkap dagangannya. Sementara pembeli-pembeli lain cuma mengacungkan jempol sembari senyum-senyum bangga.
“Terus begini, Pak Bu. Ya, bukannya mendoakannya atau apa. Tapi, tapi, denger-denger kondisinya sudah amat parah dan kemungkinan besar bakal…….,ya gitu deh. Apakah tak bahaya jika nanti dikuburkan di TPU kampung kita ini? Kan, tentu saja masih bisa menular,” Bu Irah kembali beraksi.
“Huss, ya jangan berlebihan begitu dong Bu. Kita doakan saja supaya lekas sembuh. Gitu-gitu Mbak Wulan orang yang baik loh. Mana pernah ia tak ramah dengan kita,” ungkap seorang ibu yang masih tetangga dekat dengan Wulan.
“Loh, siapa yang berlebihan, Bu? Banyak loh yang sudah mati karena korona, apalagi perempuan itu ‘kan sedang mengandung. Ketambah ia pasti lelah sekali, kemarin-kemarin ngurusi pasien-pasien yang mbludak itu. Pasti ngedrop dong.”
Sebagian orang menggeleng-gelengkan kepalanya karena mendengar ucapan Bu Irah yang begitu kejam dan seperti sudah tak punya hati nurani. Namun, sebagian lagi seperti mengiyakan, mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memilah-milih sayuran. Di akhir perbincangan, telah diputuskan bahwa nanti siapa saja yang meninggal karena korona tak diperbolehkan dimakamkan di TPU desa. Putusan itu akan segera dikabarkan kepada kompleks lain oleh Bu Irah, yang tentunya bakal melibatkan perkataan-perkataan yang begitu menghasut dan meyakinkan. Lalu, setelah itu baru ke Pak RT. Pak RT yang seringnya nurut dengan perkataan warga, sepertinya kali ini juga bakal mengikuti apa yang sudah menjadi keputusan warga bersama.
***
Kaca pintu Ruang Dahlia tampak mengembun, menjadi basah pada bagian tengahnya. Seperti berkali-kali ada seseorang yang bernapas tersengal-sengal di depan kaca pintu itu. Ya, ternyata memang benar. Seorang lelaki dengan raut muka begitu cemas, yang kini terduduk lesu di kursi panjang sebelah pintu, hampir tiap lima belas menit sekali berdiri di depan pintu memandangi sesosok perempuan yang sedang terbaring lemas dengan bantuan oksigen di hidungnya. Kecemasan itu makin menjadi-jadi setelah dokter mengabarkan bahwa kondisi Wulan makin hari makin mengkhawatirkan, begitu juga dengan kondisi bayi dalam kandungannya. Berbagai upaya sudah dilakukan, tetapi tubuh tetap berangsur luruh. Harapan sembuh menjadi sesuatu yang keruh.
Setelah menjalani perawatan sekitar dua minggu, Wulan pun benar-benar tidak kuat lagi menahan sesak dan sakit yang selama ini ia derita. Napas makin tersengal-sengal, tubuh makin lemas tanpa daya, degup jantung melambat selambat-lambatnya, dan air matanya luruh mengenai lembut pipinya. Tepat usai azan Magrib, ia pun mengembuskan napas terakhirnya setelah sebelumnya janin yang selama ini ia kandung terlebih dahulu dipanggil Sang Khalik. Mas Badrun, suaminya, yang sudah sejak tadi mengawasi dari balik kaca pintu ruangan pun kini sudah menyadari kepulangan istrinya ke rahmatullah. Seketika lemas, tubuh ambruk ke lantai. Disusul kedua orang tua dan mertuanya, sekejap terkejut dan air mata tak bisa lagi ditahan-tahan. Sementara, di sekitaran kompleks, ibu-ibu juga sedang ramai membicarakan kematian seseorang karena sakit. Bukan Wulan. Ya, bukan Wulan yang mereka bicarakan, tetapi justru anak Bu Irah yang dikabarkan meninggal di perantauan dan tak boleh dimakamkan di kampungnya sendiri.
Eri Setiawan. Lahir di Banjarnegara, 23 Januari 1993 dan tinggal di Ledug, RT 02/02, Kembaran, Banyumas. Ia tergabung pada Komunitas Penyair Institut dan bekerja sebagai Guru SMP N 2 Pengadegan, Purbalingga.