Tak ada yang lebih buruk. Laki-laki itu berusaha menyerahkan tubuhnya pada deras aliran agar menelannya hidup-hidup. Ia hanya ingin Serayu segera memakannya. Menyerahkan seluruh tubuhnya lenyap dilahap pusaran air hingga lenyap tanpa meninggalkan apa-apa. Namun, tidak dengan ingatan itu yang tak kunjung hilang dan berlalu. Entah kenapa ia begitu membenci masa lalu.

Tuhan Maha Pemaaf, kenapa ia tidak. Sedang untuk melupakan, ia seakan tak mampu. Manusia mana yang suka dengan kata perpisahan. Satu yang ia tahu, ia pernah merasakan kepingan-kepingan surga yang tercecer ke dunia saat keluarganya masih utuh. Hanya sesaat. Waktu berhasil merampas kebahagian itu dan membuatnya hidup sendiri.

Demi melupakan semua tentang itu, ia terus berusaha menyusur jalan tepian sungai dari Tambaknegara menuju Kebasen. Tak dirasa letih sekali pun. Ia tahu, semua bersarang dalam kepala. Untuk melupakan ingatan itu, ia seolah ingin memenggal kepalanya demi menghapus semua kepedihan. Di tangannya parang yang telah ia asah jauh-jauh hari dibawanya serta. Ia paham kepalanya akan mudah lepas dengan parang super tajam miliknya.

Laki-laki mana yang tak iba jika mendengar suara tangis darah dagingnya terus menerus tanpa henti. Ia tak pernah bisa memberikan apa yang dipintanya. Tak satu pun. Bahkan membelikan sepatu baru karena sepatu lama anaknya selalu menganga ujungnya, mirip buaya kelaparan. Ia merasakan pedihnya ejekan itu. Ia sudah berusaha. Ia merasa telah melampaui batas kemampuannya. Lalu istrinya menginginkan kata pisah tepat saat ia terlilit utang. Lengkap sudah segala kepedihan yang dirasakannya.

“Dera anakmu, tetapi ia juga darah dagingku. Biarkan ia yang memilih.”

“Silakan. Ia akan lebih tahu mana yang benar.”

Jika mencuri bukan bagian dari dosa tentu ia akan rela melakukannya. Lagi pula Haji Rungkat, pemilik toko bangunan tempatnya bekerja, sudah terkenal kaya raya. Mencuri sebagian kecil dalam rumahnya tak akan mengurangi jumlah hartanya. Awalnya ia hanya berusaha menyelundupkan besi dan papan untuk renovasi rumah. Ada satu karyawan lain yang bersekongkol dengannya demi memuluskan rencana, mengubah data harga dan jumlah yang ada. Keuntungan itu lalu diambilnya pribadi untuk mereka berdua. Mereka paham gaji bekerja di tempat itu belumlah bisa dikatakan cukup. Lebih-lebih temannya sudah punya anak tiga.

Tetapi, tidak ada kejahatan yang sempurna. Kebenaran kadang hanya tertunda. Lewat pengakuan seorang tetangga yang belanja bahan material bangunan, Haji Rungkat akhirnya tahu dan mereka tentu harus menanggung akibatnya. Kelicikan kadang harus dibayar kemalangan saat itu juga. Mereka berdua dipecat. Awalnya mereka ingin menghabisi nyawa Haji Rungkat. Namun, temannya terus menahannya. Ia sudah berbuat salah dan tak ingin menambah beban dosa itu lagi.

“Ini semua salahmu.”

“Di neraka nanti manusia juga akan berkata seperti itu pada semua orang yang telah menjerumuskannya.” Qodri temannya menjawab ambigu.

Lamunannya hilang seketika saat tetesan air membasahi ubun-ubun. Ia beranjak dari duduk, mendongak melihat pohon trembesi yang tak pernah terlihat ujungnya. Samar di kejauhan gemericik air di sebelah mengusik lubang telinga. Ia lalu memandang langit remang di depannya, mirip kesedihan di dalam kepala. Ia hanya ingin bebas dengan semua ingatan yang menyiksanya. Membayangkan ia bisa mencopot kepala itu dan sejenak melupakan semua beban.

Tak pernah terpikirkan jika semua cerita indah yang dibayangkannya dulu berakhir seperti ini. Satu-satunya wanita yang dikasihi pergi membawa darah dagingnya yang juga begitu dicintainya. Tadinya ia ingin melawan takdir. Mengubah segala yang ada. Sayang, waktu tak pernah bisa diputar ke awal. Masa lalu tetaplah masa lalu dan hanya bisa jadi kenangan. Ia paham, tak ada manusia yang bisa mengubah masa lalu, hanya bisa memperbaiki keadaan di masa depan. Sungguh, ia tak mampu memaafkan kesalahannya sendiri.

Di bawah pohon besar yang tak pernah ia tahu jenis kelaminnya, ia kembali bersandar. Merebah. Meluruskan kaki-kakinya yang perlahan beku. Sejenak tubuhnya menggigil, tetapi memang itu yang ia harapkan. Ia hanya ingin kereta malaikat maut segera menjemput. Membawa serta semua kepedihannya dan tak akan pernah kembali.

Dalam kesunyian itu, dalam akhir senja yang benar-benar redup sempurna, sebuah langkah kaki membuatnya menoleh. Binatang? Ia mengira-ngira dan mencoba menebak. Ia perlahan mendengarkan langkah itu dengan saksama. Ia malah bahagia jika yang datang seekor ular besar yang kelaparan. Ia benar-benar ingin memberikan kepalanya pada binatang itu. Bukankah tujuan awal ia memang menginginkan kepala itu segera lepas dari tubuhnya? Semua beban itu bersarang dalam kepala.

Namun, rasa-rasanya suara itu bukanlah hewan. Ia paham betul bayangan yang perlahan berjalan di depannya. Diamatinya lekat-lekat sampai ia meyakinkan jika yang di depannya manusia.

Keduanya bertemu dalam tatap ragu. Bola matanya membulat penuh demi melihat dan meyakinkan siapa di depannya. Ia meyakinkannya lagi. Melihat bentuk dan pakaian yang dikenakan.

“Sedang apa kau di sini?”

Perasaan bersalah pada orang di depannya membuat ia ragu untuk menjawab. Ia paham diam lebih berharga. Bahkan ia rela jika manusia di depannya yang dianggap suci oleh warga kampungnya itu membunuhnya sekarang demi melunasi kekesalannya. Siapa yang bisa tahu tentang takdir pencuri bisa bertemu dengan korban yang dicuri.

“Perlu apa Pak Haji ke sini? Aku sudah merasakan dinginnya jeruji besi. Tak lama, tetapi setelahnya aku kehilangan semuanya. Aku tak pernah bisa memaafkan masa lalu. Jika engkau masih menyimpan dendam itu, aku siap. Ambilah parangku ini. Aku ingin mati.”

Matanya menyipit. Dahinya mengerut. Ia mencoba mencerna apa yang diucapkan lawan bicaranya. Perlahan ia mulai paham laki-laki di depan yang dulu pernah jadi karyawannya ingin bunuh diri. Mungkin.

“Bunuh aku sekarang Pak Haji! Lakukan yang kau mau.”

“Aku tak mau mengotori tanganku. Kejahatan tak harus dibalas dengan dosa. Aku pun ke sini juga malu dengan keluargaku. Andai kau tahu, aku pun baru saja lari dari warga.”

“Maksud Pak Haji?’

Sungguh, ia tak menyangka Pak Haji Rungkat berucap sebuah pengakuan yang membuat matanya menyala. Tangan itu mengepal kaku dan melepaskan pukulan ke kepalanya. Bahkan saking panasnya dada itu, ia sampai lupa akan lebih mudah membunuh Haji Rungkat dengan parang yang tergeletak begitu saja di atas akar pohon.

“Semua yang kau katakan ini benar? Hah!” Dengan berani ia menarik sorban di leher Haji Rungkat. Ingin mencekiknya segera. Pengakuan ini membuat hatinya lebih meradang ketimbang mendengar tangis anaknya yang merengek meminta sepatu. Bagaimana mungkin Haji Rungkat yang terkenal suci telah tidur dengan istrinya gara-gara urusan utang.

“Aku tak pernah di sini jika aku berbohong. Aku hanya ingin melepas rasa maluku. Meninggalkan rumah sebelum aku dihajar kerumunan warga.” Haji Rungkat menjawab sambil bergeming dan tak membalas sama sekali.

“Bajingan!” Dadanya bergemuruh. Ia tak tahan lagi. Melayangkan pukulan itu tepat di pelipisnya. Haji Rungkat terpelanting. Ia tergagap dan mencoba duduk. Cairan merah segar mengalir menuju tepi matanya. Ia malah tersenyum.

“Bunuhlah. Biar aku bebas dari beban yang ada. Setelah ini aku tak pernah menanggung dosa dari apa yang kau lakukan sekarang.”

Ia lebih kalap. Ucapan itu seolah makin menghina. Membuat pukulan-pukulannya makin keras menghunjam perut dan dada. Haji Rungkat terpelanting kembali hingga tubuhnya tersuruk ke tepi jurang sungai. Haji Rungkat menggelinding bak bola yang terus menyusuri tepian tebing. Terjatuh di pintu terowongan. Ia malah tersenyum. Ia paham siksaan itu tak lebih berat dari apa yang akan diberikan Tuhan nanti.

Sebuah cahaya bulat terang tiba-tiba menyorot tubuh Haji Rungkat yang tergeletak tak berdaya di tengah rel. Ia mengejar. Mencoba menuruni tebing dengan susah payah. Ia paham apa yang telah dilakukannya salah. Cukup. Kematian Haji Rungkat malah akan membuatnya lebih lama lagi mendekam di jeruji besi jika polisi menemukan bukti-bukti.

Hanya waktu yang bisa menyelamatkan nyawanya.

Sepersekian detik saat ia tiba di bawah dan berhasil mendorong tubuh Haji Rungkat ke tepi rel, bersama lengkingan peluit panjang dari rangkaian gerbong yang menyusur rel menuju stasiun Kebasen, tubuh itu dibawa kereta malaikat yang ditarik tujuh puluh ribu pasukan kuda bersayap dan membawa tubunya ke alam abadi. Ia tersenyum. Ia telah melunasi semua kesalahan itu. Tak perlu mengungkit masa lalu. Tuhan selalu mencatat seperti apa akhir dari perjalanan hidup manusia. Dalam ingatannya, membayang senyum genit Lastri dan tawa renyah Dera saat ia berhasil membelikannya sepatu.

“Tunai ia melepas seluruh kenangan, rindu, dan kepedihannya di dalam kepala. Jika nanti kau menemukan kepala manusia yang mengambang di pinggiran aliran Serayu, tak perlu bertanya itu kepala siapa.”

 

Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *