Oleh Nana Sastrawan
Suara sepatu beradu dengan aspal, Malam ini sungguh sangat mengerikan untuk sebuah malam minggu. Aku sudah tak tahan lagi hidup seperti ini, sangat menyiksa. Mengapa hidup harus mati-matian, mengapa? Huh! Mati-matian untuk hidup. Ironis bukan? Sedangkan mati tidak harus hidup-hidupan. Tetapi harus bagaimana lagi, ini sudah takdir, jalanin saja. Setiap orang memiliki jalan masing-masing, paling tidak kata-kata itu dapat menghiburku dalam hari-hari yang suram, dan menyakitkan. Walaupun terkadang rasa sakit dan bahagia itu sangat tipis, setebal rambut.
Seperti malam ini, aku berlari menerobos pekat malam. Dunia sangat gaduh dalam hatiku, anjing-anjing penjaga toko-toko menyalak, mengiringi kakiku yang sudah tidak mau berhenti. Mataku sembab, tangis telah lama menjadi temanku, namun malam ini lebih sadis, tangisan seolah memerintahkanku untuk melakukan sesuatu, membunuh. Sementara, angin malam berhembus sangat pelan, menusuk tulang.
Namun aku tak peduli, aku ingin berlari sejauh-jauhnya, bahkan ingin meninggalkan Negeri ini atau berlari hingga melintasi batas, ke langit tujuh. Gila! Aku memang sudah gila, sangat tidak manusiawi. Membunuh adalah perbuatan yang keji, hukum akan menghancurkan hidupku berpuluh-puluh tahun, lebih lama dari mencuri, ya, mencuri uang rakyat. Tapi, sudah aku katakan bahwa aku tidak peduli, hidup sudah lama hancur, untuk apa diperbaiki, tak akan pernah bisa, seperti kaca yang jatuh dan hancur berkeping-keping hingga hanya tersisa serpihan-serpihan, tak akan mungkin dapat disambung kembali.
Tiba-tiba kakiku terhenti, di depanku adalah dinding. Ini jalan buntu, gawat! Aku menoleh kebelakang, mereka pasti akan datang dan menangkapku, aku harus segera berbuat sesuatu. Mataku melihat ke sekitar tempat ini, hanya bak sampah, plastik-plastik dan bau busuk yang menusuk hidung. Tak ada harapan, aku terjebak dalam pelarianku.
Aku melihat sebuah balok kayu tergeletak, dengan secepat kilat kusambar balok kayu itu, lalu aku bersembunyi di balik bak sampah, sekujur tubuhku menggigil, aku akan membunuh kedua kali menggunakan balok kayu ini, aku adalah malaikat maut malam ini bagi siapa saja yang berani mendekatiku.
Mataku menatap jalan yang baru saja kulalui, gelap. Aku membayangkan seorang wanita berjalan dari jalan yang diapit oleh tembok-tembok tinggi, terlihat seperti lorong yang gelap. Seorang wanita itu tersenyum, lalu menari-nari menunjukan pakaian bermotif bunga mawar, pakaian yang manis pemberian dari kekasih yang paling manis yang pernah dimiliki. Tariannya sangat muda dan menggairahkan, ia memutar tubuhnya, memamerkan semua keindahan yang ada di tubuhnya, tentu saja wanita itu adalah remaja belasan yang baru saja lulus sekolah, sehingga sangat pandai meniru gerakan tari yang menggoda. Siapa dia?
Kakinya berjingjit, kemudian tangannya melingkar di atas kepala, ia berputar kembali, seperti gerakan penari balet yang sering ada di film-film luar negeri di televisi. Tawanya pecah, lalu ia berlari memeluk seorang lelaki. Mereka sangat bahagia, lebih bahagia dari seorang pelajar yang lulus dari Ujian Nasional. Mereka berciuman, dan lelaki itu berbisik ke dalam telinga, suaranya lembut: Selamat ulang tahun sayang…
Dia adalah lelaki yang selalu memberikan kebahagiaan dalam hari-harinya, tak ada luka dalam hati, tak ada pengkhianatan, tak ada, kecuali kemesraan dan angan-angan tentang masa depan yang indah, bergelimpang cinta. Dia adalah teman dekat di kampus, selalu memberikan perhatian lebih, tak ada yang sebaik lelaki itu, tak pernah ada.
“Oh, kekasihku separuh hati yang tak akan pernah tergantikan. Lihatlah pakaian ini, melekat di tubuhku, sangat nyaman. Pakaian ini membuatku semakin terlihat nakal, seperti jari-jarimu yang sering membuat aku merasa geli.”
Dan dengan lembut tangan wanita itu membelai rambut si lelaki, mereka kemudian saling membisikan kata-kata mesra, kata-kata yang katanya terlahir dari surga, dan tak ada yang dapat menghentikan, mungkin mereka sudah suami-istri, atau hidup layaknya suami-istri sehingga tidak malu lagi melepaskan pakaian dan menggeliatkan tubuhnya di atas ranjang, malam itu, seekor ayam jantan berkokok nyaring, menandakan telah terjadi seorang gadis hilang keperawanannya.
Aku menatap bayangan pemandangan yang sangat menjijikan, di lorong itu, dari sebuah jalan yang baru saja kulalui. Aku membenci peristiwa itu, membenci ciuman itu, membenci semua yang telah terjadi. Tanganku semakin gemetar memegang balok kayu, kali ini bukan rasa takut yang menguasaiku, tetapi rasa benci, dan sesungguhnya kebencian itu sangat bahaya. Sadis dan menyesatkan.
Apa yang membuatku membenci hal yang paling dinantikan oleh setiap pasangan kekasih yang saling mencintai? Bukankah bercinta dengan orang yang diinginkan adalah hal yang paling menakjubkan? Wanita macam apa aku ini? Apakah aku sudah tidak normal, membenci lelaki? Ya, aku sangat membenci lelaki, sangat membencinya, terutama mereka yang senang mengumbar janji, yang dengan mudah melucuti pakaian seorang gadis, brengsek!
Ada seekor tikus keluar dari saluran air di pojok. Kepalanya muncul dengan moncong yang kemerahan, mengendus-ngendus, merayap mendekatiku. Tubuhnya hitam, basah oleh lumpur, dan menjijikan. Ia semakin mendekat, lalu terhenti. Memandang ke arahku, matanya hitam, bening. Aneh memang, sekujur tubuhnya yang menjijikan itu memiliki mata yang bening, lalu ia melangkah perlahan dan mengendus-ngendus kakiku. Semakin mendekatiku, ia mengendus-ngendus ujung baju, aku memejamkan mata. Tiba-tiba, tikus itu loncat kepangkuanku: Arrrghh… aku berdiri, tikus itu terjatuh lalu kuhantam dengan balok, hingga menggelepar, meregang nyawa. Sudah kubilang, aku sedang ingin membunuh!
Dan malam sesungguhnya mengerikan, dunia disesaki oleh nafsu-nafsu keji, untuk saling memiliki, menghancurkan bahkan memperkosa hak hidup orang banyak. Malam, sering dijadikan kambing hitam bagi para orang tua karena kegelapannya, anak gadis tidak boleh pulang larut malam, sebab malam menyimpan seribu kemaluan lelaki yang dapat dengan mudah menyetubuhi keperawanan. Namun, aku sudah tidak memiliki kehormatan itu.
Mataku menatap ke lorong gelap, jalan yang baru saja aku lalui. Aku khawatir suara jeritanku mengusik pendengaran orang-orang yang mengejarku, segera saja aku bersembunyi lagi di balik tong sampah, napas tersengal-sengal, mataku tajam mengawasi, dan bayangan itu muncul kembali. Bayangan seorang lelaki yang dengan santai memeluk seorang wanita di dalam kamar, aku melihatnya, dia lelaki yang telah merenggut keperawanaku, lelaki yang baru-baru ini membelikan pakaian untuk hadiah ulang tahunku. Hatiku koyak-moyak menyaksikan itu.
Bagaimana mungkin seorang yang sudah kupercaya akan menjaga hidupku berkhianat? Bagaimana mungkin seorang yang sudah aku kenal keluarganya dan asal-usulnya dengan mudah ingkar janji? Ini sangat tidak bisa dimaafkan, sungguh orang dikenal dekat ternyata lebih kejam daripada orang yang tidak pernah dikenal sama sekali. Rupanya, cinta bukan segalanya, mencintai dan dicintai tidak bisa mengubah sifat binatang yang sudah melekat dalam diri manusia.
Aku masih memakai rok mini, kemeja putih di tutupi blazer. Pulang kerja sengaja aku mampir ke kamar kosnya, hanya untuk mengajaknya makan malam. Namun, sudah tak pernah ada acara makan malam itu, tak pernah ada. Aku sudah gantikan dengan malam yang paling hitam, kutusuk perutnya menggunakan gunting, lelaki yang senang tidur dengan banyak perempuan memang layak mati.
Aku berlari meninggalkan dirinya yang masing mengerang, meregang nyawa. Aku tak peduli, hidup di kota harus tega terhadap orang lain, harus berani melakukan kriminal agar selamat, agar puas, sebab jika tidak, maka yang terjadi sebaliknya, aku yang akan menjadi korban kriminal. Sudah bertahun-tahun aku memercayai lelakiku, dari semenjak aku kuliah hingga bekerja, dan kami sudah memutuskan akan menikah. Pengorbananku sudah sangat cukup untuk seorang wanita. Dalam kodratku, seharusnya merekalah para lelaki yang berkorban untuk wanita, membahagiakan wanita. Bukankah aku terlahir atas keinginan lelaki?
Semakin kencang aku berlari, berusaha meninggalkan masa lalu, meninggalkan luka, meninggalkan segala macam ketidak-adilan yang sengaja diciptakan. Napasku tersengal-sengal, aku semakin berlari kencang. Lelakiku, yang selama ini aku cintai, aku sayangi, aku rindukan telah menjadi seorang yang aku benci. Memang hidup harus seperti ini? Dalam dunia modern, yang memiliki teknologi canggih, yang memiliki banyak agama dan Tuhan, yang memiliki gedung-gedung tinggi, yang dapat memutar balikan kenyataan menjadi kemayaan, atau sebaliknya. Apakah harus seperti ini?
Di tepi jalan, aku terhenti. Tanganku melambai ke sebuah angkot, lalu aku naik. Di dalam angkot, hanya ada tiga laki-laki, mata mereka merah. Menatap ke arahku dengan sangat menjijikan, aku tersadar bahwa hanya aku, seorang perempuan yang berada di dalam angkot itu. Segera aku rapikan letak rok mini agar tidak terlalu memperlihatkan paha mulusku, mataku mencoba tidak peduli dengan penumpang-penumpang angkot ini.
Angkot terhenti di tempat yang gelap, kemudian ketiga laki-laki itu menyergapku, mereka memaksa merobek seluruh pakaianku. Aku berusaha melawan, mati-matian untuk mempertahankan hidupku, kehormatanku. Walaupun aku bukan seorang perawan, tetapi aku tidak ingin diperkosa. Sialan! Di kota ini sudah sangat keterlaluan, tidak ada yang aman dan tenteram, semua lelaki sudah menjadi hidung belang, tidak ada rasa menghargai terhadap wanita, tidak menjaga kehormatan seorang ibu, ya aku ini adalah wanita yang menyusui setiap bayi.
Aku berontak—melawan untuk tetap dapat melanjutkan sisa-sisa hidupku, sisa-sisa harapanku yang baru saja dikhianati oleh lelakiku, aku tidak ingin mati suri. Sekuat tenaga aku melawan, mencakar, memukul dan menggigit, hingga akhirnya aku dapat loncat dari dalam angkot, lari sekencang-kencangnya.
Terdengar bunyi cericit dari pojok selokan, tikus-tikus bermunculan seperti gerombolan semut menemukan gula. Mereka mendekati tikus yang telah mati, mengendus-ngendus kemudian melihat wajahku. Tikus-tikus itu seperti wajah kekasihku, wajah yang baru saja aku bunuh. Beberapa lainnya seperti orang-orang yang berusaha memperkosaku di dalam angkot, tikus-tikus bau tengik! Mereka merayap mendekatiku, aku semakin kacau. Balok kayu kuhantamkan ke segala arah, aku bertarung melawan tikus-tikus sialan, tikus-tikus perenggut keperawanan gadis-gadis, tikus-tikus got dengan gigi putih menyeringai menatap paha-paha mulus.
Tikus-tikus itu tidak mudah ditaklukan, bahkan mereka semakin banyak, menyerang, seolah membalas dendam atas kematian kekasihku atau berusaha memperkosaku. Aku semakin kacau, seorang gadis di tengah malam bertarung melawan tikus-tikus. Kemana perginya pembasmi tikus di kota ini? Bodoh! Mereka pasti sudah tidur, mereka pasti tak akan mau menerima panggilan di tengah malam seperti ini. Aku harus melawan, dan jika tidak mampu, lari adalah pilihan.
Harus lari!
Aku Suka cerpen ini tapi Penulisnya siapa ini ya?