Kata orang aku ini kafir. Padahal aku hanya punya banyak tuhan, salah seorang dari mereka suka ngopi waktu pagi di beranda rumah. Mau tahu tuhan itu siapa? Yaitu kamu. Loh, kenapa terkejut? Tidak suka aku panggil kamu tuhan? Bukankah kamu lebih kuat dari siapa pun, dan yang lebih kuat adalah tuhan. Secara pribadi, aku lebih suka bahwa tuhan itu kamu. Bagiku, yang lain hanya omong kosong. Masa tuhan minta disembah? Bukankah aku yang seharusnya menyadari untuk menyembah tuhan? Itu yang aku suka dari kamu.

Tetapi, aku manusia. Yang selalu berpikir menggunakan akal sehat, tidak begitu saja aku mengakui bahwa kamu tuhan dari segala tuhan, harus ada penelitian tentang itu, argumen dan referensinya jelas. Ada bukti tesis yang memperkuat tuhan yang suka minum kopi di beranda rumahku adalah tuhan. Maka, setiap hari aku berikan racun di kopi itu, kopi pahit yang sangat kamu suka. Namun, kamu tidak pernah mati.

“Rasa pahit harus harus dimiliki oleh siapa pun. Jangan pernah menghindar dari rasa pahit, sebab pahit adalah obat. Hahahahaha…,” katamu.

Itulah yang sering kamu ucapkan ketika mereguk kopi pahit hasil racikanku. Kini, aku tahu mengapa racun di dalam kopi itu menjadi tawar, karena rasa pahit. Dan aku semakin menyukai kamu.

Mataku menatap langit—warna biru menggambarkan betapa dekat jarak itu. Ya, jarak antara bumi dan langit. Baru-baru ini banyak orang berencana tinggal di planet Mars, ahli kimia, fisika, matematika, biologi sedang bekerja sama untuk membuat kesepakatan bahwa gas besar itu layak untuk dihuni oleh manusia. Mungkin inilah yang diagungkan oleh manusia-manusia pintar, bahwa segala sesuatunya dapat diukur.

“Hari ini tidak ada pertanyaan?” tanya kamu, membuyarkan lamunan.

Aku menggelengkan kepala—kemudian duduk di samping kamu yang tengah menyeruput kopi, suaranya sangat merdu di telinga. Setelah itu, kamu mengambil sebatang kretek lalu menyalakannya. Asap-asap mengepul dari mulutmu, ke angkasa dan berubah menjadi awan. Begitu saja, tak ada hal yang sangat sulit bagimu untuk menciptakan sesuatu.

“Enak, ya, di sini… adem. Bisa saja kamu nyari rumah, hahahaha…”

“Aku hanya mencari tempat yang tenang untuk berpikir.”

“Bepikir? Serius amat…”

“Loh? Bukankan manusia harus berpikir, sebab jika berpikir maka manusia ada?”

“Nggak berpikir juga… kamu pasti ada. Hahahaha….”

Aku menatapmu—sementara kamu malah enak duduk di kursi goyang, berayun-ayun seolah hidup memang harus diayun-ayun, agar ada keseimbangan, antara atas dan bawah. Lalu menimbulkan kenikmatan dalam ayunan itu.

“Tugas cerpenmu udah selesai?” tanyamu.

“Belum… aku lagi kesulitan membuat alur ceritanya,” jawabku.

“Gitu saja kok repot.”

“Yaaa… soalnya mau dikirim ke koran, biar kepilih redaktur.”

“Hahahaha… kenapa harus mengharapkan dipilih? Cerita yang bagus itu bukan karena dipilih tapi diingat selamanya. Jadi nggak usah bikin alur cerita yang bagus-bagus, sederhana saja…”

“Nggak punya duit dong kalau nggak dimuat?”

“Duit? Hahahaha… Duit…. Duit…Duit… hahahahaha…. Dasar otak picisan! Hahahahaha…”

Kamu beranjak dari kursi goyang, lalu berjalan naik ke langit, seolah memang ada tangga yang menghubungkan bumi dan langit, suaramu masih saja menggema di telinga. Begitulah, kamu datang dan pergi seenaknya, ngomong juga ngelantur, siapa bilang orang tidak butuh duit? Justru duit itu bisa menjadi segalanya, orang ibadah saja pakai duit, dasar tuhan gemblung. Aku lalu masuk ke dalam rumah, duduk di meja kerja. Menyalakan komputer, dan mulai mengetik sebuah cerita pendek, untuk dikirim ke Kompas, siapa tahu dimuat. Duitnya gede, lalu kulemparkan duit itu ke muka tuhan. Biar tahu rasa.

***

Sudah berhari-hari, tuhan tidak muncul di beranda rumah. Padahal aku baru saja menyelesaikan cerpen, tugas dari tuhan. Entah mengapa ada perasaan rindu mendengar gelak tawanya, mendengar suara seruputan kopi dan berdiskusi dengannya. Aku tiba-tiba saja merasa butuh, kepadamu tuhan. Walau bagaimanapun, saat ini tuhanku adalah kamu. Jadi, aku harus meminta persetujuan atas apa yang akan aku lakukan, termasuk mengirim cerpen ini ke Kompas.

Mondar-mandir aku di beranda rumah, hati gelisah menunggu kehadiran tuhan. Sepertinya manusia memang tidak pernah lepas dari campur tangan tuhan, namun anehnya aku merasa butuh kepada tuhan saat ini. Saat aku sedang sangat butuh pencerahan, saat butuh duit untuk hidupku. Kalau kamu setuju cerpen ini dikirim ke Kompas, aku yakin pasti akan langsung dimuat, sebab kamu tuhan, cukup bilang kunfayakun. Jadilah aku punya duit.

Tetapi tuhan belum muncul juga. Apa jangan-jangan tuhan telah mati? Iya, kamu pasti mati sebab racun yang aku masukan ke dalam kopi pahit itu berdosis tinggi, siapa tahu bereaksi dalam beberapa hari ke depan? Aduh, berdosa sekali jika aku membunuh tuhan. Bisa-bisa aku dimarahin oleh para penyembah kamu, lebih parah lagi didemo dan disuruh pindah dari rumah ini, rumah yang sudah aku bangun dengan keringat dan darah.

“Khairil! Mengapa kau mondar-mandir saja?” tanya Seno.

“Menunggu tuhan,” jawabku.

“Oaaalah… bocah gendeng!”

Setelah itu sepi—mataku memandang ke sekitarnya, hanya ada kekosongan. Lalu memandang langit, biru seperti dahulu. Awan-awan menggumpal di sana, putih berarak-arak seolah memberi kabar tentang kepergianmu.

***

Suara biola mengalun di telinga malam itu. Aku merasakan tubuhku ini terisi oleh jiwa, sepertinya suara biola itu adalah jiwa-jiwa yang mencari tubuh-tubuh. Mereka berterbangan dan mengisi tubuh siapa saja, aku menjadi orang lain. Mendengar, melihat dan merasakan penderitaan jiwa-jiwa itu. Rupanya, tidak semua suara yang merdu memiliki wujud indah. Bahkan penderitaan sering terjadi dari suara-suara merdu, mengucapkan harapan, janji dan diyakini beragama.

Apakah aku mempunyai agama? Semestinya, agama itu bukan sebuah ilmu, karena agama memang bukan ilmu meskipun ada ilmu agama. Walaupun umat manusia mempelajarinya, tetapi agama adalah keyakinan, dan keyakinan tanpa ilmu, iman seseorang akan tetap bertambah, tetapi semakin berilmu tidak menjamin keyakinan seseorang bertambah kuat, bahkan bisa lebih rapuh.

Nada-nada biola semakin nyaring, jiwa-jiwa terus berloncatan, berlarian mencari tubuh. Aku tidak tahu mana yang dibutuhkan terlebih dahulu, jiwa atau tubuh? Yang aku tahu, tubuh akan diam jika tak digerakan oleh jiwa, tetapi jiwa akan tidak berwujud apa-apa tanpa adanya tubuh. Si pemain biola ini mengerti bagaimana menggerakan jiwanya sehingga suara biola itu menjadi penyejuk, penolong bagi tubuh-tubuh sepi.

Inikah tuhan baruku? Suara biola? Nada-nada yang berwujud jiwa adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan, bukankah yang sangat dibutuhkan adalah tuhan? Kebutuhan akan dimiliki oleh yang kuat atau yang lemah, kebutuhan berdiri sendiri. Dia adalah kebutuhan bagi seluruh umatnya. Ya, tuhanku sekarang adalah dia.

Tiba-tiba suara biola terhenti.

“Nggak ada perkembangan nih!”

“Permainan biola lo jelek, Yanusa. Jangan Gundul-gundul pacul dong!”

“Yaelah… nggak ngaruh kali! Mmmm… kita laporkan ke Seno saja, gimana Gus?”

“Ditanggapi nggak nih!”

“Kita lihat saja nanti! Oh ya, bawa sekalian nggak cerpennya Khairil?”

“Nggak usah.”

Suara biola sudah tak terdengar lagi, aku sendirian menatap tubuhku tanpa jiwa di depan cermin. Menunggu tuhan dia, untuk memberikan seluruh kebutuhanku.

***

Secangkir kopi pahit untuk tuhan ada di atas meja, aku tidak berani minum, begitu juga dengan orang-orang yang ada di sini. Tak pernah berani menyentuhnya, sebab tuhan sangat sensitif, sangat mudah marah jika kesenangannya diganggu. Ya, tuhan-tuhan. Mereka selalu memiliki kesenangan pribadi untuk orang-orang yang menginginkan kesenangan itu. Setiap orang digoda untuk memiliki kesenangan tuhan-tuhan, saling berlomba, saling berebut, saling memfitnah, saling… saling…  dan saling.

Orang-orang menjadi ingin bebas setelah memiliki kesenangan-kesenangan itu, seolah hidup mereka adalah untuk kebebasan, dan kebebasan adalah kekuasaan tertinggi bagi mereka. Sedangkan aku berpikir, tidak ada orang bebas di sini, sebab ketika mereka mengatakan sebagai orang bebas, sebenarnya mereka sedang terikat oleh pikirannya.

Mataku selalu memandang ke atas langit, menunggu kamu, dia, tuhan atau siapa pun. Aku tidak terlalu peduli, sebab kini tugasku sudah selesai, membuat sebuah cerpen untuk didiskusikan, bukankah sangat indah jika sebuah tugas dilaksanakan dengan rasa bertanggung jawab? Begitu pun tugas yang diberikan Tuhan.

“Khairil… Khairil… pengen cerpennya dimuat saja sampe gila begini.” Seno meletakkan koran Kompas di atas meja dan meninggalkan rumah sakit jiwa.

Aku menatapnya yang melangkah semakin jauh. Dia memakai topi koboi, menghampiri Yanusa dan Gus di depan pintu gerbang, lalu pergi entah ke mana. Koran Kompas edisi minggu masih tergeletak di samping secangkir kopi pahit, tanganku perlahan menjulur untuk meraihnya. Namun, ada tangan lain yang menyambar, aku terkejut.

“Hahahahaha…. Jadi ini cerpenmu?” tanya tuhan, lalu duduk dan membacanya.

Nana Sastrawan, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Dia pernah menjadi peserta Mastera Cerpen (Majelis Sastra Asia Tenggara 2013) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Ia juga meraih Penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Tercatat sebagai pengurus harian Yayasan Hari Puisi dan Pendiri Pusat Dokumentasi Sastra Cirebon. Beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Solilokui (2019), Sumbi, Perempuan yang Mengawini Anjing (2020). Buku kumpulan cerpennya adalah Ilusi-delusi (2015), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Ingin Kuhapus Lipstik di Bibirmu dengan Bibirku (2021). Televisi Tanpa Antena (2021). Buku cerita anak Telolet (2017), Aku Ingin Sekolah (2018), Kids Zaman Now (2018). Buku antologi puisinya, Tergantung di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2011). Kabar Untuk Istana (2020). Ia bisa disapa di akun Facebook, Youtube, Twitter dengan nama pena di atas, atau kunjungi www.nanasastrawan.com.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *