SASTRA DAN TEKNOLOGI[1]
Sapardi Djoko Damono
/1/
Sebelum nenek-moyang kita memutuskan untuk belajar menulis, yang kita miliki adalah dongeng lisan, mencakup begitu banyak jenis yang oleh orang Barat dipilah-pilah menjadi mitos, legenda, folklore, fabel, dan sebagainya. Kita tidak pernah memiliki istilah-istilah tersebut; semuanya kita sebut dongeng. Pada hakikatnya dongeng bahkan tidak membedakan apa yang kita kenal sebagai fakta dan fiksi. Kalau ada anak Solo pergi ke Jakarta, sepulangnya dari kota besar itu neneknya mungkin saja berkata, ‘Mbok kamu ndongeng tentang Jakarta, Le.’ Dongeng kita sampaikan secara lisan, dan karenanya bersifat terbuka – kalau disampaikan pada waktu dan tempat lain selalu berubah. Ketika di zaman entah kapan kita menciptakan teknologi untuk mengubah bunyi menjadi aksara, dongeng yang mula-mula terbuka itu menjadi tertutup. Dongeng yang ditulis tidak berubah, terutama kalau sudah dicetak. Walter J. Ong dalam bukunya yang berjudul Orality and Literacy. The Technologizing of the Word(1995) menjelaskan panjang-lebar tentang hal itu.Kata yang sudah mengalami proses teknologi telah melewati jalan panjang, mulai dari yang tercatat di batu, lewat lontar, sampai ke deretan aksara yang kita lihat di lembaran kertas ini. Dan ketika kata mencapai habitatnya di lontar dan kertas, kita menyebut dongeng itu sastra. Sampai sekarang. Setiap kali berbicara tentang sastra, yang kita acu adalah benda budaya yang berujud kertas: bisa berupa buku, bisa berupa dongeng yang ‘hanya’ tertulis di media massa. Dongeng lisan yang mungkin masih disampaikan Nenek ke cucunya di tempat tidur tampaknya harus menyisih dari konsep tersebut.
Bahasa berkembang, teknologi yang kita ciptakan ternyata berkembang lebih laju lagi. Karena kita sudah terlanjur menempatkan kata dalam proses teknologi, ia pun terseret dalam proses itu. Kita lihat saja perbedaan mendasar antara kata yang diucapkan dan yang ditulis atau dicetak di atas kertas. Kata yang mula-mula lenyap begitu selesai diucapkan, sekarang tetap berada di atas kertas setelah selesai ditulis: ia telah menjadi residu, suatu keadaan yang bisa berlangsung dalam waktu tak terbatas. Kita tidak akan bisa mendengar suara pujangga kita di masa lampau, tetapi masih bisa membaca residu yang ditinggalkannya di atas kertas. Kita bisa membaca dan ’membaca’ residu itu: memelototi deretan aksara di atas kertas atau melisankannya – kata lain untuk mengembalikannya ke habitatnya semula, yakni bunyi. Demikianlah maka kita sebenarnya telah melaksanakan perjalanan ulang-alik dari aksara, yakni gambar, ke bunyi, suatu proses yang telah berlangsung bahkan sejak nenek-moyang kita memiliki niat kuat untuk masuk ke dunia aksara. Lebih dari masa-masa sebelumnya, kita sekarang ‘menuntut’ agar dongeng yang sudah susah-susah ditulis untuk dilisankan. Mata kita pun mengenal poetry reading, dramatic reading, dan segala rupa reading lain. Teknologi tidak berniat memisahkan bunyi dari aksara, malahan ternyata menyandingkannya.
Seperti buru-buru kita sekarang mengambangkan teknologi, tentu dengan niat membuat kita merasa lebih bahagia. Mula-mula kita menciptakan bulu angsa untuk menulis, kemudian Guttenberg menciptakan mesin cetak untuk memudahkan pekerjaan menulis, dan kemudian kita rame-rame menciptakan komputer. Maka semakin ruwetlah cara kita menuangkan pengalaman, penghayatan, dan pengetahuan tentang kehidupan saking begitu banyaknya wahana atau kendaraan yang bisa kita manfaatkan. Dan, pada umumnya, kita tetap mengacu ke buku setiap kali membicarakan sastra. Di tahun 1950-an, misalnya, muncul perbantahan tentang krisis kesusastraan, yang dibicarakan adalah langkanya penerbitan buku dan pemuatan karangan di media cetak lain. Waktu itu komputer belum dikenal, tetapi kita sudah menyaksikan dan mendengar dongeng lewat film dan beberapa jenis rekaman. Dongeng, dengan demikian, telah diteknologikan menjadi rentetan aksara, gambar bergerak, dan bunyi dalam berbagai alat rekam lain seperti radio dan piringan suara. Aksara dalam buku hanyalah salah satu wahana untuk menyampaikan dongeng tetapi menjadi sangat penting posisinya sebab konsep dongeng kita ‘terjemahkan’ menjadi sastra, dan sastra ada kaitannya dengan aksara, sama dengan litterature yang ada kaitannya dengan letters.Itulah sebabnya kita selalu mengacu ke aksara kalau berbicara tentang sastra, meskipun kita sepenuhnya tahu bahwa aksara tak lain adalah gambar yang kalau dideretkan menjadi kalimat dan kalau terus ditumpuk berubah menjadi dongeng. Setiap aksara di kertas adalah gambar mati, sama dengan gambar yang dicoretkan di kertas, sama dengan foto. Kalau suatu deretan gambar digerakkan atau bergerak, muncullah film. “Tetapi film bukan sastra,” kata kita dalam hati. Apakah deretan aksara yang digerak-gerakkan dalam komputer bukan sastra? Bukankah di situ aksara juga bergerak-gerak? Hanya karena ‘sastra’ ada kaitannya dengan aksara maka berbagai jenis kesenian lain yang tidak terutama menggunakan aksara sebagai wahana tidak kita anggap sebagai dongeng, padahal kita tahu bahwa dongeng bisa kita angkut dengan wahana apa saja, tak peduli aksara atau bukan aksara. Kita suka lupa bahwa aksara tak lain adalah gambar, penanda yang harus ditafsirkan berdasarkan kode tertentu agar menjadi petanda – dan berproses sebagai tanda.
/2/
Namun, baiklah. Jika kita tetap berpegang pada konsep bahwa sastra ada kaitannya dengan aksara, sudah tiba waktunya – meskipun terlambat – untuk membaca kata yang beredar di komputer dan gadgetry yang semakin banyak fungsi dan jenisnya. Sebagian besar yang kita temui adalah dongeng dalam berbagai bentuk yang tentunya tidak pernah dibayangkan oleh nenek-moyang kita, dan bahkan oleh kita sendiri sekarang. Ada fiksi mini, flash fiction, dongeng sambung-sinambung yang ditulis oleh beberapa orang, dan sebagainya. Tetapi itu semua kan konsep-konsep dari luar sana.Ya tentu saja, seperti halnya puisi, prosa, drama, novel, hikayat, syair, gurindam, dan hampir semua jenis wadah dongeng yang kita ciptakan – kecuali mungkin pantun. Kita ‘hanya’ memiliki dongeng, yang kalau ditransfer menjadi aksara harus diklasifikasikan sesuai dengan konsep-konsep yang kita impor tadi. Dongeng yang dengan tenang berada di alam lisan harus siap dipilah-pilah gara-gara kita berniat menjadikannya residu yang bisa diakses kapan kita mau.
Kalau yang kita maksudkan sebagai sastra adalah dongeng, maka kekayaan rohani kita itu telah mengambil ujud yang semakin banyak ragamnya. Ada baiknya kalau kita, meski hanya sejenak ini, mencoba melupakan konsep sastra sebagai rangkaian kata dalam buku dan menerimanya sebagai ungkapan yang bisa saja tidak usah berujud buku. Dongeng adalah ‘sesuatu’ (amanat, suasana, ideologi, keyakinan, dsb.) yang bisa naik kendaraan apa pun ujudnya, tidak hanya yang berupa tulisan yang pada hakikatnya adalah gambar. Bahkan dalam permainan, yang sekarang biasanya disebut games, kita dapatkan dongeng. Dongeng memang tidak bisa dibicarakan secara terpisah tetapi selalu terkait dengan kendaraannya, yang bisa saja berujud novel atau film atau games.Hanya dengan demikian kita bisa menerima segala yang dimunculkan di layar komputer, misalnya, sebagai dongeng. Dengan demikian kita sekarang bisa merayakan ‘kelahiran kembali’ dongeng yang mula-mula hanya berujud bunyi menjadi berbagai jenis akal-akalan yang bisa kita kendalikan di komputer. Kata diketik, dihapus, diketik lagi, digeser, diubah font-nya, ditimpa gambar, dan diseret ke sana ke mari sesuai dengan kehendak kita. Kalau perlu kita bisa menorehkan warna dan menyelipkan bunyi-bunyian dalam dongeng yang kita susun. Komputer telah menciptakan panggung yang hampir tak terbatas kemungkinannya untuk mewadahi isi kitab, nyanyian, dan tontonan yang selama ini kita ciptakan – yang sering kita anggap sebagai unsur-unsur yang terpisah-pisah.
Kalau dengan istilah sastra kita hanya memaksudkan yang ditulis, maka sebenarnya kita berbicara tentang residu, tidak tentang dongeng yang diwadahinya. Namun, dalam pandangan sedemikian pun kita masih juga menyaksikan residu itu di layar komputer sebab sekarang aksara tidak lagi tergantung pada batu, lontar, atau kertas. Deretan residu itu bisa kita kendalikan di dunia maya lewat komputer. Dengan demikian dongeng tetap saja kita dapatkan di layar komputer dan berbagai jenis gadget lain dalam ujud yang biasanya kita sebut novel, cerpen, puisi, dan segala genre lain. Kita tahu, ada gadget yang bisa mengunggah dan menyimpan ribuan buku. Dan dongeng bisa diciptakan siapa saja, tanpa ada yang mengganggu, dalam ribuan blog dan situs lain yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Sekarang kita menemukan alat dan cara yang sangat praktis untuk berkomunikasi, dan itu merupakan sesuatu yang hakiki sebab manusia adalah makhluk yang senantiasa berkeinginan untuk berkomunkasi; dongeng itulah isi komunikasi kita.Bahkan sebenarnya kendaraan yang mengangkut dongeng itu bisa kita terima sebagai dongeng. The medium is the message, untuk meminjam frasa Marshall Mcluhan. Binatang juga punya keinginan untuk berkomunikasi, tetapi saya tidak tahu apakah yang mereka komunikasikan juga ‘dongeng.’
Kalau apa yang kita maksudkan sebagai sastra mencakup juga segala yang diciptakan dan diterima di komputer, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan nasibnya – yang selama ini cenderung kita anggap tidak mendapat perhatian masyarakat, yang dianaktirikan. Di zaman ini, kalau ada masih ada yang dengan menggebu-gebu mensyiarkan bahwa nasib sastra dalam bahaya karena buku sastra tidak laku dan tidak diajarkan di sekolah, kita berhak meragukan pengetahuan orang itu tentang makna proses pengembangan teknologi bagi peradaban kita.Apa lagi kalau selanjutnya dikatakannya bahwa, misalnya, tanpa buku sastra anak-anak kita jadi nakal dan tak tahu aturan dan tak berbudaya – dan biasanya kemudian menuntut agar sastra dipisahkan dari bahasa seolah-olah sastra bukan bahasa. Sastra, sebagai dongeng, tak lain adalah bahasa yang diangkut dan sekaligus menjadi pengangkut nilai-nilai dan norma yang kita sepakati, yang senantiasa berubah dan bergeser dalam proses yang kita kenal sebagai pembentukan tradisi.
/3/
Aksara jelas masih diperlukan, dan memang tetap kita manfaatkan untuk menyampaikan apa pun, tidak terkecuali dongeng. Dan aksara masih juga kita tulis di atas kertas agar bisa diproses menjadi buku; berkaitan dengan dongeng, buku semacam itu disebut buku sastra. Berlawanan dengan anggapan kita semua bahwa komputer akan menggantikan buku dan mengurangi penggunaan kertas, sekarang justru lebih banyak kertas diperlukan, antara lain untuk memproduksi buku. Kita sulit menghitung berapa buku sastra yang terbit setiap bulan sebab teknologi telah memberikan kemudahan untuk memproduksi buku. Tidak hanya penerbit besar yang bisa menerbitkan buku, tetapi juga (dan mungkin, terutama) penerbit kecil-kecil yang tersebar di negeri ini, sampai di kota-kota kecil yang dahulu tidak pernah membayangkan adanya kegiatan penerbitan buku. Teknologi, dengan demikian, telah memerdekakan kita untuk menerbitkan buku tanpa harus dikontrol dan didikte oleh penerbit besar. Akibatnya, antara lain, sulit bagi kita sekarang untuk memeriksa dan memberi penilaian buku-buku sastra yang terbit. Dan, kata sejumlah orang, untuk apa pula kita menilai buku sastra? Pertanyaan itu tentu tidak usah menghalangi niat baik pihak mana pun untuk memberikan penilaian dan hadiah. Alhamdulillah, begitulah.
Di lain pihak, pasar semakin penting dalam menopang kebutuhan ekonomi penulis buku sastra. Itu sebabnya muncul akal-akalan menerakan label best-seller di kulit buku. Namun, apakah itu selalu menjamin mutunya? – tentu kalau kita masih percaya adanya mutu dalam karya sastra. Apakah itu tidak bisa ditafsirkan semata-mata sebagai niat untuk berjualan? Kita tampaknya tetap percaya pada demokrasi, tetapi sastra tidak mengenal demokrasi, kalau konsep itu hanya dikaitkan dengan suara terbanyak, dan bahwa suara terbanyak selalu berarti paling bermutu. Dan hal itu menjadi semakin tidak jelas apa maknanya ketika dongeng yang ada dalam karya sastra kemudian dinaikkan ke wahana lain, misalnya film atau sinetron atau komik. Dongeng, yang dengan mudah ditransfer ke berbagai wahana, akan menjadi lain karena harus tunduk pada wahananya yang baru. Sebuah film yang dinilai bagus bisa saja dengan cerdik telah memanfaatkan dongeng yang dimuat dalam sebuah novel yang dianggap buruk oleh pengamat sastra. Dan dalam kaitannya dengan pembicaraan ini timbul pertanyaan, apakah kita masih harus membaca novelnya sebelum atau pun sehabis menonton film? Apakah kita masih perlu membaca sajak yang tercantum di buku atau majalah sesudah mendengarkan hasil musikalisasinya? Apakah kita masih harus berurusan dengan deretan aksara sehabis menonton serentetan gambar bergerak atau mendengarkan suara penyanyi dan alat musik yang mengiringinya? Bukankah kita boleh menonton pementasan drama tanpa sebelumnya membaca naskahnya?
/4/
Sejauh ini kita membicarakan sastra terutama sebagai dongeng yang dengan mudah dipindah-pindahkan wahananya. Namun, bukankah yang kita sebut sastra sebenarnya bukan dongengnya tetapi cara menyampaikannya? Nah, kita pun membicarakan bagaiamana cara menata kata dalam menyampaikan dongeng, dan itu juga menimbulkan masalah sebab kata pada hakikatnya adalah bunyi, bukan residu, oleh karenanya tidak bisa ‘ditata’ sebagaimana aksara. Setiap kali dilisankan kata akan berubah, apa lagi kalau yang melisankan orang lain lagi. Kalau yang kita maksudkan sebagai sastra adalah deretan aksara yang disusun sedemikian rupa sehingga mampu menampung dongeng, maka kita berbicara tentang sastra sebagai gambar. Dalam hal demikian ada berbagai segi intertekstualitas yang perlu dipertimbangkan, terutama yang berkaitan dengan ujud visualnya. Bentuk buku, jenis font, blurb yang biasa ada di kulit belakang, kata pengantar, dan sebagainya – karena masing-masing itu juga mengandung ‘dongeng.’ Deretan aksara yang disusun dengan hati-hati menggunakan font tertentu, dalam susunan larik tertentu, ditaruh di lembaran kertas dengan cara tertentu akan sama sekali tidak artinya ketika dilisankan. Melisankan aksara berarti menghapus sama sekali posisinya sebagai residu; membuka kembali bunyi yang telah kita kunci dalam gambar. Pantun akan kehilangan larik-lariknya dan soneta akan kehilangan oktaf dan sestetnya kalau dilisankan. Jenis puisi yang kita kenal dan mengenalkan dirinya sebagai puisi konkret akan lenyap ‘gambar’-nya kalau dilisankan dengan gerak-gerik, yang tinggal di panggung hanya suara dan gerik-gerik itu. Tidak terbatas pada puisi, tentu saja. Sejumlah buku cerita pendek yang saya baca juga memanfaatkan cara penyampaian hampir serupa; ada lembar-lembar yang sengaja dikosongkan, ada lembar-lembar yang sengaja diburamkan, ada jenis-jenis font yang silih-berganti muncul – itu semua tak lain merupakan bagian dari cara penyampaian, saya kira. Itu semua dimungkinkan atau diakibatkan oleh jenis teknologi yang kita kembangkan.
Moga-moga tersampaikan pandangan saya tentang ‘perkembangan’ sastra kita, kalau kita menafsirkannya sebagai deretan aksara. Perkembangan demikian saya anggap penting karena semakin lama, berkat teknologi, semakin kabur batas-batas antara yang sampai hari ini kita anggap sebagai sastra dengan jenis seni lain. Seni rupa menjadi penting kalau kita memastikan bahwa sastra adalah urutan gambar yang disebut aksara. Dan seni suara menjadi utama kalau kita melisankan dongeng kita. Tampaknya jenis-jenis seni lain, seperti seni gerak, juga berkaitan dengan perkembangan sastra kalau kita mempertimbangkan ‘pementasan’-nya di panggung. Di samping itu, seni mengemas buku juga menjadi penting dan bahkan sering menjadi bahan pertimbangan dalam membaca dan menafsirkan dongeng yang ada di dalamnya. Aksara yang tercantum dalam buku adalah penanda yang menghasilkan petanda kalau kita membacanya; proses itulah yang disebut tanda. Dan, setidaknya kata seorang pakar semiotik, kita hanya bisa berpikir lewat tanda. Akal-akalan menciptakan tanda visual itulah yang dengan progresif telah dilaksanakan oleh para sejumlah sastrawan kita. Maksudnya tentu agar niat untuk menyampaikan dongeng yang ‘baru’ bisa lebih meyakinkan, tidak peduli lewat cara yang lugas atau ambigu. Keduanya terbaca dalam karya sastra kita mutakhir.
Sastrawan kita masa kini telah berusaha menciptakan penanda-penanda baru yang banyak di antaranya menuntut kemauan baik dan kesabaran kita untuk memrosesnya menjadi petanda – agar bisa berfungsi sebagai tanda. Dari segi visual, usaha menciptakan penanda baru itu dimungkinkan oleh teknologi, dari segi semantik penanda baru dihasilkan oleh imajinasi, kreativitas, dan kecerdasan. Esai ringkas ini akan penuh dengan contoh kalau saya harus menyampaikannya. Yang ingin saya katakan sederhana saja, yakni bahwa penguasaan linguistik sastrawan kita sekarang semakin kuat untuk mendukung dongeng-dongeng ‘baru’ yang ingin mereka sampaikan kepada kita. Penguasaan itu mutlak sebab dongeng menuntut penguasaan bahasa yang jauh melebihi rata-rata, yang mengatasi pembaca. Hanya dengan demikian sastra ada makna dan manfaatnya, hanya dengan demikian sastra perlu dibaca agar dongeng bisa menjadi bagian dari pengalaman dan penghayatan kita terhadap diri kita sendiri dan dunia sekitar kita. Dalam membaca karya beberapa sastrawan akhir-akhir ini, saya suka bertanya-tanya dari mana mereka mendapatkan kemampuan itu, dari mana mereka belajar berbahasa. Dan jawaban harus saya reka-reka agar pertanyaan tersebut tidak sia-sia.
/5/
Kalau jawaban atas pertanyaan saya itu dikaitkan dengan kegelisahan orang akan kurangnya minat baca dan apresiasi masyarakat terhadap sastra, yang terjadi adalah keadaan yang bertolak belakang. Pertanyaan itu, dengan demikian, harus mengacu ke semakin tingginya semangat sastrawan untuk ‘belajar,’ untuk membaca, untuk menirukan, untuk mengembangkan yang mereka baca dan tirukan. Saya berpendirian bahwa bahasa hanya bisa didapat dengan cara menirukan: menulis hanya bisa didapat lewat membaca. Masalahnya adalah bahwa pendidikan kita rupanya tidak memberi peluang kepada anak-anak untuk meniru dan menirukan, dalam pengajaran bahasa yang diberikan bukan bacaan tetapi konsep. Namun, kenyataannya kita (dan anak-anak kita) bisa belajar bahasa di luar kelas – berkat teknologi. Kalau kelas tidak memberikan kesempatan untuk membaca, dunia di luar dinding kelas, yang nyata dan yang maya, yang tak terbatas luasnya menyediakan kesempatan itu. Dan anak serta cucu kita dengan khusuk membaca kisah tentang Harry Potter yang seribu halaman tebal bukunya. Komputer, hasil teknologi yang kita ciptakan itu, alhamdulillah, telah membalas kebaikan hati kita dengan memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar: memroses segala jenis tanda kebahasaan terus-menerus yang pada gilirannya memberi kemampuan kepada kita untuk menciptakan dan membaca tanda.
Berbagai jenis bahasa ‘aneh’ telah diciptakan anak-anak muda, perubahan kebahasaan mereka pacu selaju-lajunya – tidak lewat guru di kelas tetapi lewat media: televisi, komputer, keping cakram, dan segala jenis gadget lain yang semakin lama semakin canggih. Kita suka terkejut melihat kemampuan anak dan cucu kita menulis tanpa pernah diajari bagaimana caranya. Dan ‘coreng-moreng’ di layar komputer, misalnya, ada yang kemudian diproses menjadi buku yang, berkat kiat bisnis kapitalis, bisa memberikan keuntungan materi kepada beberapa di antara mereka. Berbeda dengan generasi sebelumnya, anak-anak itu bisa langsung bergaul bebas dengan tanda-tanda yang datang dari bangsa dan masyarakat lain lewat dunia maya, yang meluaskan pengetahuan dan mempertajam kecerdasan. Mereka tidak sekadar menerima tanda-tanda itu, tetapi justru mencarinya untuk kemudian belajar menafsirkan, menirukan, dan menciptakannya kembali. Apa yang mereka ciptakan tidak jarang membuat kita bertanya-tanya bagaimana cara mereka belajar keterampilan itu. Jawaban yang saya berikan kepada pertanyaan yang saya ajukan sendiri adalah: dengan mengikuti dan menguasai tata cara dunia maya, terutama. Dengan memanfaatkan hasil teknologi yang jauh lebih canggih dibanding dengan yang telah dipergunakan untuk memroses buku. Dan saya yakin-seyakinnya bahwa proses itulah juga yang telah terjadi atas sejumlah sastrawan kita. Kita tahu bahwa komputer tidak hanya menyediakan ruang untuk berbagai jenis situs, tetapi juga kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan buku – fisik maupun elektronik – lewat ‘toko buku’ maya. Kesempatan itu tidak terjadi ketika Kwee Tek Hoay, Amir Hamzah, Armijn Pane, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Nh. Dini, dan Marga T. mulai menulis. Bahkan juga tidak bagi penulis yang sebaya dengan saya ketika baru mulai menulis, misalnya.
/6/
Keadaan sedemikian itu menyebabkan saya merasa memiliki hak untuk meragukan ucapan sastrawan yang kalau ditanya apakah ia suka membaca, menjawab “Saya tidak pernah membaca karya siapa pun.” Saya curiga jawaban itu muncul karena adanya ketakutan terhadap apa yang dikonsepkan sebagai the anxiety of influence, yang bersumber pada teror pengaruh dan keyakinan akan utamanya orisinalitas. Karya sastra masa kini yang cemerlang justru timbul dari situasi yang sama sekali bertentangan, yakni yang merupakan buah dari berkerumunnya teks-teks entah dari mana–yang disadari atau tidak disadari oleh sastrawan – yang menghasilkan tenunan baru. Karya sastra yang menantang adalah yang ‘memaksa’ kita untuk menciptakannya kembali, membentur-benturkan dan mempertemukan helai-helai tenunan itu untuk kemudian mendamaikannya – dan tidak sekadar menerima bubur teks yang siap disuapkan kepada kita. Dan tenunan berbagai teks itulah yang menyebabkan ‘petualangan’ pembacaan menjadi seru.Yang sedemikian itu merupakan perwujudan dari petualangan sastrawan di mana pun, tidak terkecuali – dan mungkin malah terutama – di dunia maya. Tentu saja tidak semua anggota masyarakat suka bertualang, itu wajar demi keberagaman cita rasa; toh tidak semua anggota masyarakat iklhas menerima teknologi ‘baru.’ Pikiran saya mengatakan bahwa kita justru harus terus-menerus mengupayakan teknologi yang baru lagi agar dongeng yang lahir di zaman yang semakin rumit dan sulit ditebak ini bisa mendapatkan wahana yang baru pula. Hanya dengan demikian kesenian berkembang, permainan yang merupakan hakikat hidup kita tidak menjemukan.
Dalam proses penulisan esai ringkas ini melintas beberapa nama yang terus-menerus mendesak untuk disebut. Dan, seperti yang sudah saya sampaikan belasan tahun yang lampau, nama-nama itu milik perempuan. Sejak Nh. Dini dan Marga T, sederet nama perempuan penulis fiksi memaksa kita untuk mau-tidak-mau memperhatikannya. ‘Anak-anak muda’ ini memiliki hampir semua kualitas yang sudah saya sebut dalam alinea-alinea terdahulu; semua memiliki akses ke dunia maya, semua bersinggungan langsung dengan dongeng dari dunia sana. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya berkeinginan untuk membuat catatan mengenai sejumlah perempuan penulis fiksi, terutama cerita pendek, yang kualitas dongeng dan wadahnya merebut perhatian saya, daftar nama untuk catatan itu semakin panjang. Saya mula-mula berniat menyembunyikan nama-nama itu, tetapi tampaknya niat itu harus saya batalkan dalam kesempatan ini. Ayu Utami, Dewi Lestari, Nukila Amal, Linda Christanty, Intan Paramaditha, Oka Rusmini, Lily Yulianti Farid, dan mungkin ada lagi yang memaksa saya untuk memperhatikannya. Mereka akhir-akhir ini hanya menyisakan ruang sempit untuk laki-laki dalam menyampaikan dongeng, dan – dengan beberapa perkecualian seperti Seno Gumira Adjidarma – ruang yang tersisa itu ‘hanya’ dimanfaatkan untuk menulis puisi. Perempuan-perempuan itu perakit dongeng: bukan juru dakwah, bukan guru budi pekerti, bukan tukang penataran, bukan ‘tokoh’ yang berniat masuk penjara agar mendapat perhatian. Mereka adalah petualang. Mereka adalah ‘bohemian’ dalam pemikiran. Sangat beragam jenis dongeng yang mereka sampaikan, sangat beragam pula akal-akalan yang mereka manfaatkan agar dongeng-dongeng tersebut mampu memaksa kita untuk mendengarkan.
Dan dengan esai ringkas ini moga-moga tersampaikan pandangan saya dalam merayakan sastra, di samping upaya untuk merayakan teknologi, merayakan kebutuhan sastra akan teknologi dan kebutuhan teknologi akan dongeng: tanpa dongeng, apa pula isi teknologi yang kita ciptakan?
Ciputat, 6 Desember 2012
[1]Naskah untuk diskusi tentang perkembangan seni terkini yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta, 13 Desember 2012, di Galeri 3, Taman Ismail Marzuki.