Hari-hari terakhir dihabiskan dengan berjalan-jalan ke sudut kota. Menuju benteng yang berada di sekitaran sungai Vistula. Tepatnya di sebelah katedral dekat stasiun kereta. Kamera ia bawa ke mana-mana. Keriuhan para pelancong. Wajah sedih anak-anak bermain biola sedang mencari uang. Atau tunawisma duduk membisu di bawah pohon maple di seberang jalan itu. Potret-potret ini direkam meskipun dalam sekejap nanti, semua akan sirna.

Ia tidak jarang digoda para gadis. Entah karena melihat dirinya membawa kamera. Gadis-gadis itu kemudian berpose untuk difoto. Tentu saja dia tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Pernah suatu waktu, dia keluar saat malam, hanya untuk melihat-lihat keadaan kota sekaligus merayakan kesepiannya. Seperti orang yang belum mau berpisah. Hujan gerimis dan benar-benar dingin. Dia melewati deretan toko perhiasan. Di persimpangan jalan, dia memutuskan belok kiri ke arah gang sempit. Temaram sedikit redup dan gerimis tidak kunjung berhenti. Terus berjalan hingga tiba di sebuah tangga. Dia menaiki tangga itu sampai puncak. Pagar besi dan lanskap kota tengah malam sangat menawan.

Cahaya lampu penerang muncul dari gelap – menusuk matanya. Gradasi warna-warni meriah memancarkan keindahan kota. Seperti redup di lorong-lorong dengan bayang-bayang pejalan kaki yang kentara.

Dalam kesengajaannya datang ke berbagai tempat di hari-hari terakhirnya sebelum pergi dari kota ini. Dia menyadari betapa perjalanan akan segera menjadi kenangan. Bidikan demi bidikan lensa kamera terus ia lakukan. Tidak hanya diingat, namun juga pada album-album foto. Seperti air yang dilempar batu dan bersemburat di udara – kemudian tanpa berbekas. Dia tidak ingin semuanya dijelang pergi.

Malam itu, meski udara dingin bertiup, tetapi rasa panas dan gelisah menyeruak di dada. Tanpa disadari, dia menghela napas panjang. Kemudian diam membisu, dan mulai berjalan pulang ke apartemennya di Dorycka, pinggiran kota Warsawa.

***

Kereta merayap, melesat di bawah riak-riak cahaya bulan yang mulai masuk melalui jendela. Rel berderit, beradu dengan raungan mesin. Kereta itu mulai meninggalkan kota menuju Berlin.

Setelah melewati musim dingin yang berkepanjangan. Hanya saja di Warsawa tidak ada salju. Dingin yang terus berkelabat serta menusuk. Tunawisma banyak meregang nyawa kedinginan. Selama musim, koran-koran dan berita-berita di televisi, diisi informasi kematian dan cuaca buruk.

Berita duka juga datang dari seorang mahasiswa Indonesia yang meninggal. Tubuh kakunya tertahan di sebuah rumah sakit dan seminggu kemudian baru bisa dipulangkan ke tanah air. Persatuan Pelajar Indonesia mengirim belasungkawa mendalam melalui poster yang disebar melalui media sosial.

Kesedihan dan kematian tidak pergi dengan sendiri, tetapi juga diikuti perasaan kehilangan dari orang terdekat.

Dalam perjalanannya ke Berlin. Aku bertemu dengannya. Di dalam kereta express yang rutin membawa penumpang melintasi kota-kota. Gerbong ke lima. Di kursi paling ujung dekat jendela.

Pemuda itu adalah Farhan. Kami pernah bertemu sebelumnya. Setahun lalu. Tepat ketika mengikuti sebuah konferensi teknologi di kota Wina, Austria. Waktu itu, kami berdiskusi panjang lebar terkait keamanan data, juga perihal politik – tentang mereka-mereka yang tidak henti-henti obral janji.

Sekarang kami sedang duduk di dalam gerbong dengan arah sejajar dan mulai menatap ke arah yang sama. Lampu-lampu redup di kejauhan terlihat jelas setelah kereta menjauh meninggalkan kota.

“Bagaimana perjalananmu sekarang. Membawa dua koper dan tas gunung sekaligus, seperti orang mau pindahan saja,” tanyaku untuk memulai percakapan.

Raut wajah tidak bisa disembunyikan lagi. Gelisah bercampur aduk menampak dalam sunggingan bibir yang tersenyum tipis. Begitu kentara, apalagi pantulan sinar bulan mendarat di wajahnya.

“Ini kali kedua kita bertemu ya, Han.”

“Sebelumnya di Austria dan sekarang di dalam kereta ini.”

Farhan masih dengan posisinya. Memandang ke arah luar. Perjalanan menyuguhkan hamparan luas persawahan, menyatu bersama tabir gelap. Diguyur rembulan. Kereta terus merayap menuju ujung malam yang semakin dingin.

“Ya,” dia mulai menjawab dengan sangat singkat. Suaranya berat dan berhenti sejenak.

“Aku masih ingat setahun lalu. Di salah satu sudut kafe di pusat kota Wina. Kita bergegas mencari tempat hangat setelah mengikuti konferensi. Dan kamu cerita banyak hal tentang keamanan data, kampung nelayan, sekaligus konservasi laut. Aku masih ingat betul itu!”

Sesaat obrolan kami terjeda. Hanya suara mesin yang berlomba dengan jerit rel kereta. Terus meraung-raung melintasi hutan pinus.

“Koper lebih kecil itu,” jarinya menunjuk ke bagasi.

“Ada buku-buku pemberian sahabatku. Termasuk catatan hariannya selama dia tinggal di negara orang. Kami sempat tinggal di satu apartemen. Nampaknya dia disayang Tuhan. Meskipun terlalu dini. Tidak ada seorang pun tahu perihal kapan datangnya kematian bukan?”

Farhan mengambil tas gunung dari atas bagasi besi. Lantas diambilnya album foto. Dijelaskan satu persatu perihal sahabatnya. Adalah jejak terus menggapai-gapai. Seperti di perantauan, kampung halaman tetaplah menjadi impian untuk pulang.

“Lihat ini. Autumn terakhir kami di pinggiran sungai Vistula,” Farhan menunjukkan foto itu.

Sejurus kemudian. Dia membuka buku catatan kecil berwarna merah menyala. Pada sampulnya terdapat pohon maple dengan serakan daun berguguran. Entah, aku tidak mengerti kenapa dia memperlihatkan buku itu padaku.

Lantas dia mengenang sahabatnya yang telah pergi dengan berbinar-binar.

“Tangis! Apa yang kau cari. Di sini hanya ada aku. Yang tidak ke mana-mana. Bulan. Dia bisu, juga kerinduanku tenggelam.” Dengan suara lirih. Dia membacakan salah satu tulisan di lembar terakhir. Entah, itu ditulis menjelang maut menjemput – ketika raga menunggu perpisahan tinggal sehari.

Suasana di dalam gerbong sangat sepi. Perasaan ini terkuliti hingga hati hendak menangis.

Kereta melaju cepat. Kota-kota kecil yang berada di garis perbatasan nampak begitu mungil. Sebentar lagi kereta akan melintasi garis batas negara. Di depan sana ada Jerman.

Redup lampu-lampu penerang sepanjang lintasan. Biasnya meradang di kegelapan, meskipun cahaya bulan masih terang.

Aku mendapati jika Farhan belum menjawab atas pertanyaanku. Namun sudah bisa ditebak.

“Kereta ini akan tiba besok pagi. Berlin sepertinya akan sepi. Sorenya berangkat ke Amsterdam dan besok pagi harus pulang ke Indonesia.”

“Aku sudah melintasi berbagai kota. Termasuk Berlin. Perjalanan ini yang ke tiga kalinya. Meskipun sudah menetap cukup lama. Tetapi pada akhirnya jua, aku harus pulang,” ucapnya lagi kepadaku.

Kesenyapan kian hadir diikuti sesak. Aku berdiri dari tempat duduk dan membuka jendela. Udara segar masuk. Aroma alam begitu terasa.

“Meskipun jasad sahabatku telah berbaring di bawah tanah. Setidaknya buku-buku ini akan selalu aku bawa,” Farhan menambahkan bicaranya sembari memegang buku kecil itu.

Berlin masih jauh.

Dengan perasaan perih. Aku bisa merasakan kegetiran yang tidak terkatakan dari Farhan. Dari cara bicaranya ketika menceritakan sosok sahabatnya. Turun naik napasnya. Patah-patah suaranya. Sesekali bisu guna mengakali tangis agar tidak pecah.

Malam benar-benar larut. Jam benar-benar purba – seolah tidak bergeser. Seperti baru saja gelap. Ke Berlin, aku hendak mengunjungi sahabatku. Perjalanan ini seharusnya disertai perasaan bahagia. Hanya saja, seketika lepas dan terperangkap dalam jerat kesedihan. Aku jadi mengingat perjalananku ke Kruszyniany Podlaskie di musim dingin dua tahun silam.

Dalam perjalanan seorang diri. Dengan bus yang melesat jauh menuju perbatasan Belarus. Aku menyukai perjalanan namun tidak dengan kesedihan, meskipun kadang ia kerap datang tanpa diundang.

Di Podlaskie waktu itu. Aku berjumpa seorang ibu tua renta di sudut gereja. Dia bermain musik di bawah riak salju yang gugur dengan riang. Dingin menusuk. Ritme musik terus dimainkan tanpa henti. Mendayu-dayu seperti ombak yang tidak putus-putus. Suara jerat kemiskinan disertai kepedihan hadir ditengah kesendirian.

Tetapi ketika tiba di desa Kruszyniany. Padang sabana luas telah berubah menjadi daratan salju. Sungai-sungai beku. Pohon-pohon tinggal ranting. Pemandangan semacam itu telah menghilangkan segala persepsiku tentang perjalanan – yang ada kemudian ucapan terimakasih kepada semesta.

Semua perjalanan ada cerita dan segala kisah tidak kubiarkan meradang dalam sepi.

Masih di dalam gerbong.

Di depanku ada Farham yang tertidur bersama kenangan-kenangan. Pulang dan rumah, seperti dua pasangan tidak terpisahkan, meskipun di ujung kalimat ini aku masih dibayangi kepulangan.

Lombok, 3 Agustus 2021

 

Mohamad Tamrin, Lahir dan besar di Lombok Utara. Pernah menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta dan Polandia. Saat ini menjadi dosen di Fakultas Teknik UNU-NTB dan wakil ketua Lesbumi-NU Lombok Utara sekaligus partisipan di Yayasan Pasirputih. IG: @mohamad.tamrin.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *