Mencari Karya yang Tidak Biasa
Catatan Kurator
Anugerah Sastra Litera memasuki tahun ketiga. Ini salah satu cara dari pengelola portal sastra litera.co.id untuk memberi apresiasi kepada para penulis yang mengirimkan karya dan ditayangkan di sana. Tiap tahun, redaksi menerima ratusan puisi dan cerpen. Tapi, yang lolos kurasi dan dimuat sebagian saja.
Nah, karya-karya yang dimuat itulah dinilai ulang untuk mendapatkan penghargaan dari Yayasan Master Kreativa Indonesia, yang membawahi Lembaga Literasi Indonesia dan menerbitkan litera.co.id. Sebenarnya, cita-citanya bukan sekedar penghargaan, tapi sebuah upaya untuk menemukan karya-karya yang memberi kesegaran, baik dalam tema, gagasan, isi, hingga cara pengucapan.
Kami membaca dengan saksama karya-karya yang tayang di Litera sepanjang 2018. Hasilnya, tak banyak yang menggembirakan. Bukan tak ada puisi dan cerpen bagus, tapi kami hampir tidak menemukan karya-karya yang menjadi semacam oase. Para penulis lebih senang menulis hal-hal biasa saja serta dengan cara dan perspektif biasa pula.
[iklan]
Apakah semangat menjelajah hal-hal baru para penulis sudah luntur dan mereka lebih asyik dengan hal-hal klise, termasuk dirinya sendiri? Menjawab pertanyaan ini jelas tidak mudah.
Litera hanya salah satu ruang publikasi karya sastra. Masih banyak ruang-ruang lain yang terbentang luas, mulai media konvensional (koran dan majalah), media digital hingga media sosial.
Boleh jadi memang tidak banyak penulis mengirimkan karya ke Litera. Sebagian besar penulis lebih senang bertarung di media-media arus utama, terutama koran, di daerah maupun nasional.
Koran masih dianggap sebagai barometer pertumbuhan sastra. Jika belum dimuat di koran, terutama koran nasional, seolah belum sah menjadi penulis sastra atau sastrawan. Koran masih dipercaya memiliki sistem kurasi yang baik dan bisa membuat sastra tumbuh lebih baik.
Jadi, mereka mengirim ke koran bukan semata-mata karena memberikan benefit ekonomi. Sebab tidak semua koran (mampu) memberikan honor, apalagi dengan layak, misalnya koran-koran kecil di daerah. Tapi lebih dari itu, mereka menganggap lewat koran-lah para penulis sastra bisa eksis.
Seandainya semua koran tak lagi memberikan honor kepada penulis, barangkali jumlah penulis yang mengirimkan karya ke sana tidak banyak berkurang. Sebab, ada citra tersendiri yang berhasil dibangun koran ketika sebuah karya muncul di sana. Apalagi muncul di koran ternama.
Nah, di sinilah persoalannya. Dalam banyak kesempatan, kita mendengar masa depan media cetak tinggal sedikit lagi. Banyak media cetak telah tutup atau beralih ke online dan digital, di Indonesia maupun di luar. Sejumlah perusahaan media cetak mulai gencar mengembangkan produk digitalnya, yang suatu waktu siap menggantikan produk cetak, yang oplah dan iklannya terus turun. Jumlah halaman koran-koran cetak pun makin tipis.
Pada gilirannya, posisi mereka akan digantikan oleh media online dan koran digital alias koran yang tampilannya persis seperti cetak namun terbit dalam bentuk digital. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa media-media mainstream yang nantinya beralih ke digital atau online akan tetap menyediakan ruang untuk karya-karya sastra, terutama puisi dan cerpen.
Bahkan kini, tidak semua koran cetak masih menyediakan halaman untuk puisi maupun cerpen. Ada pula koran nasional yang rubrik puisinya muncul dua pekan sekali. Bahkan, ada koran yang hanya menyisakan halaman untuk cerpen, sementara rubrik puisi telah tiada.
Maka itu, munculnya media-media online yang berfokus pada sastra atau memuat karya sastra menjadi keniscayaan. Setidaknya, media-media inilah yang kini telah memastikan menyediakan ruang bagi karya-karya para penulis.
Barangkali persoalannya adalah bagaimana mengetatkan kurasi. Sementara ini kualitas karya yang dimuat media online dianggap belum sebaik kualitas karya yang dimuat di koran. Ini, setidaknya dipicu oleh dua hal. Pertama, boleh jadi editor sastra sebagian media online bukanlah orang yang kemampuan yang baik untuk melakukan kurasi.
Kedua, karya yang masuk memang tidak banyak yang memenuhi harapan. Jika penulis belum merasa bangga mempublikasikan karyanya dimedia online akhirnya media online hanya menerima limpahan karya yang tak termuat di koran. Jadi karya-karya yang dimuat adalah sisa-sisa alias remah-remah. Jika terlalu menggetarkan seleksi media online tidak mendapatkan karya untuk dimuat.
Kondisi inilah yang barangkali bisa menjawab mengapa karya-karya yang dimuat di litera.co.id selama kurun 2018 kurang menggembirakan. Banyak karya muncul di sana, namun sangat sulit mencari yang benar-benar segar.
Kami sempat berpikir untuk meniadakan karya terbaik dan hanya memilih karya pilihan, namun lagi-lagi itu menjadi preseden tidak elok untuk ke depan. Jika itu kami lakukan seolah kami tak menghargai para penulis yang telah berusaha, seberapa pun hasilnya. Akhirnya, kami memilih yang terbaik di antara karya-karya yang ada.
Kami memilih puisi Bukit Kapur karya Deni Puja Pranata dan cerpen Reruntuhan Ketujuh karya Afryanto Keyn sebagai karya terbaik. Kedua karya itu kami anggap lebih segar dan menarik, karena mencoba mengangkat sesuatu tidak terlalu biasa. Bukit Kapur terasa orisinil dari sisi gagasan, diungkapan dengan penguasaan bahasa yang baik, kadang subversif dan pengunggapan cukup mendalam.
Begitu halnya dengan cerpen Reruntuhan Ketujuh, yang menghela cerita dengan sangat detil, filmis dan ketegangan begitu terjaga hingga akhir cerita. Gagasannya boleh dibilang cukup segar dan penulisnya seperti menebar ‘teror’ di tiap kata yang dirajutnya. Cerpen ini juga memperlihatkan kemampuan penulisnya di atas rata-rata dari cerpen-cerpen lain yang pernah dimuat di Litera dalam periode yang dinilai ini, sepanjang 2018.
Kami berharap karya-karya itu, setidaknya dapat mewakili semangat para penulis untuk menjelajah sejauh-jauh demi menemukan apa yang tidak ditemukan orang, menggali apa yang tidak kasat mata, lalu mengungkapnya dengan perspektif berbeda dan bahasa enak dibaca.
Dalam hal ini, keterampilan berbahasa, kepekaan menangkap hal-hal baru, keluasan referensi, keliaran imajinasi dan intensitas penghayatan, tidak bisa tidak, menjadi penentu kekuatan karya. Penulis sastra tak cukup hanya berkubang dengan dirinya sendiri, tapi ia harus keluar dari sana untuk menemukan hal-hal lain yang tak pernah dibayangkannya.
Ia bisa masuk ke wilayah sosial, budaya, sejarah, politik, ekonomi, teknologi, kesehatan, dan seterusnya. Tentu saja, ia bukan datang sebagai ‘fotografer’, yang memotret apa yang terjadi di wilayah-wilayah itu, tapi ia hadir sebagai ‘pengembara’ yang menjadikan hal ikhwal di sana sebagai pengalaman personalnya.
Perlu kami sampaikan pula, bahwa kurasi atau penjurian karya-karya ini dilakukan dengan sistem ‘peta buta’. Kurato tidak tahu karya siapa yang dia nilai, sebab semua nama penulis telah dihapus. Sehingga kami tidak punya beban subjektif ketika membaca karya-karya tersebut. Setelah memberi nilai, dijumlahkan hasilnya, dan ditentukan rankingnya, baru dibuka nama-nama penulisnya.
Ada dua tahap penjurian, yakni penjurian tahap pertama untuk menentukan 14 puisi unggulan dan 8 cerpen unggulan, dan tahap kedua untuk menentukan pemenang.
Selain pemenang utama, kami gagal bersepakat untuk memilih tiga puisi terpuji dan tiga cerpen terpuji sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Akhirnya, tiga karya terpuji masing-masing kategori itu ditiadakan. Jadi, sekali lagi, kali ini hanya pemenang utama.
Tentu saja, apa yang kami lakukan tidak sempurna. Tapi kami telah berusaha dengan segala upaya. Semoga ada gunanya.
Tangerang Selatan, 6 Oktober 2019
Kurator
Ahmadun Yosi Herfanda
Mustafa Ismail
Mahrus Prihany