Model Pembelajaran untuk Kultur Sosial Peserta Didik

Nana Supriyana, S.Pd 

Tugas sekolah terkadang sering menjadi hal yang menakutkan bagi peserta didik, sering juga tugas-tugas sekolah yang bersifat individu dan kelompok menjadi hal yang malas untuk dilakukan dengan berbagai alasan untuk tidak dikerjakan oleh peserta didik. Baru-baru ini, tugas sekolah sering dikritik sebagai hal yang tak berguna bagi peserta didik. Tugas-tugas sekolah malah membuat peserta didik kehilangan waktu bermain di sekitar rumah, dan bergaul dengan lingkungan. Peserta didik mengharuskan berdiam diri di rumah dalam mengerjakan tugas. Munculnya kritik dan pernyataan-pernyataan itu, saya sebagai guru berpikir. Tugas seperti apa yang diberikan oleh guru kepada peserta didik? Peserta didik pada tingkat yang mana? SD, SMP, SMA atau SMK? Dan guru tersebut menggunakan metode apa dalam memberikan tugasnya? Ini sangat penting untuk dipahami.

Seperti yang dikutip oleh Piaget dan Vygotski dari Christie (1980) bahwa bermain simbolik adalah prasyarat bagi berkembangnya berpikir logis, abstrak—kemampuan unik manusia yang memampukannya melakukan pemikiran tingkat tinggi seperti operasi kognitif untuk belajar ilmu pengetahuan alam, matematika dan pembentukan konsep lainnya dalam semua bidang pengetahuan. Dari definisi ini bisa kita tarik simpulan bahwa bermain bagi kalangan peserta didik adalah berusaha berkomunikasi dan mengintegrasikan pengetahuan konvensional sehari-hari mereka atau pengetahuan yang direkontruksi mengenai keterlibatan dunia (sosial) mereka dengan pengetahuan teman-temannya. Dalam segi produksi kebahasaan, mereka yang bermain dapat mengembangkan kreativitasnya jika dirangsang pada hal-hal yang bersifat produktivitas.

[iklan]

Lalu, apakah pekerjaan rumah dapat merampas hak bermain mereka?

Di Indonesia yang memiliki beragam suku tentu berdampak kepada beragam kebudayaan. Tingkat sosial ekonomi yang beragam pula menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam mengenal peserta didik ketika seorang guru akan memberikan tugas atau mengajar di kelas. Mari kita perhatikan sejenak, peserta didik di dalam kelas itu sangatlah beragam karakteristik, sosial ekonomi dan latar belakang lingkungannya. Dewasa ini, kita sering menyaksikan prilaku peserta didik di luar lingkungan sekolah, atau kegiatan setelah sekolah. Mereka terkadang tidak terkontrol oleh orang tua mereka, mengikuti geng motor, komunitas anak-anak musik, mengisi waktu dengan mengamen, memarkir mobil di pinggiran toko, bermain game di warnet dan lain-lain yang kebanyakan dari mereka adalah berlatar sosial dari kalangan menengah ke bawah. Lalu, melihat fenomena seperti itu, masih tidak perlu tugas sekolah? Kegiatan-kegiatan peserta didik yang cenderung mengarah kepada hal-hal yang negatif telah semakin luas di Indonesia ini, maka tidak heran, kualitas pendidikan Indonesia melemah ketika anggaran pendidikan naik drastis dari pemerintah. Ini dibutuhkan kedewasaan dari semua pihak, agar pendidikan anak-anak Indonesia semakin maju dan berkualitas, khususnya dari peserta didik dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, karena pendidikan bagi mereka adalah hal yang sangat penting untuk mengubah nasib.

Sebagai guru, tentu saja saya mesti ikut berperan serta dalam mencerdaskan anak-anak bangsa sesuai harapan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Melihat kultur sosial peserta didik yang seperti itu di sekolah, mau tidak mau saya harus mengubah metode pembelajaran, sehingga peserta didik merasa memang perlu untuk belajar. Melalui pembelajaran bahasa asing, yaitu bahasa Inggris sesuai dengan mata pelajaran yang saya ampu, perlahan saya membuka cara pandang dan wawasan peserta didik yang saya ajarkan. Project Based Learning adalah pilihan saya dalam memberikan pembelajaran kepada peserta didik, tentu saja dengan pendekatan kultur dan kehidupan mereka sehari-hari. Sebab belajar bahasa adalah belajar kehidupan sehari-hari.

klik di sini https://www.youtube.com/watch?v=giqChDqaPsk untuk informasi lainnya.

Di dalam pelaksanaannya, model pembelajaran berbasis proyek memiliki langkah-langkah (sintaks) yang menjadi ciri khasnya dan membedakannya dari model pembelajaran lain seperti model pembelajaran penemuan (discovery learning model) dan model pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning model). Adapun langkah-langkah itu adalah; (1) menentukan pertanyaan dasar; (2) membuat desain proyek; (3) menyusun penjadwalan; (4) memonitor kemajuan proyek; (5) penilaian hasil; (6) evaluasi pengalaman.

Model pembelajaran berbasis proyek selalu dimulai dengan menemukan apa sebenarnya pertanyaan mendasar, yang nantinya akan menjadi dasar untuk memberikan tugas proyek bagi siswa (melakukan aktivitas). Tentu saja topik yang dipakai harus pula berhubungan dengan dunia nyata. Selanjutnya dengan dibantu guru, kelompok-kelompok siswa akan merancang aktivitas yang akan dilakukan pada proyek mereka masing-masing. Semakin besar keterlibatan dan ide-ide siswa (kelompok siswa) yang digunakan dalam proyek itu, akan semakin besar pula rasa memiliki mereka terhadap proyek tersebut. Selanjutnya, guru dan siswa menentukan batasan waktu yang diberikan dalam penyelesaian tugas (aktivitas) proyek mereka.

Dalam berjalannya waktu, siswa melaksanakan seluruh aktivitas mulai dari persiapan pelaksanaan proyek mereka hingga melaporkannya sementara guru memonitor dan memantau perkembangan proyek kelompok-kelompok siswa dan memberikan pembimbingan yang dibutuhkan. Pada tahap berikutnya, setelah siswa melaporkan hasil proyek yang mereka lakukan, guru menilai pencapaian yang siswa peroleh baik dari segi pengetahuan (knowledge terkait konsep yang relevan dengan topik), hingga keterampilan dan sikap yang mengiringinya. Terakhir, guru kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksi semua kegiatan (aktivitas) dalam pembelajaran berbasis proyek yang telah mereka lakukan agar di lain kesempatan pembelajaran dan aktivitas penyelesaian proyek menjadi lebih baik lagi.

Nourtot dan Hoorn (1991) mendefinisikan intervensi sebagai segala sesuatu yang dilakukan guru untuk memengaruhi anak bermain. Mereka mengatakan bahwa intervensi dapat dipandang sebagai sebuah kontinum dari tindakan tidak langsung sampai langsung. Sejalan dengan definisi itu, intervensi strategis dapat berupa: berlatih bermain (play training), pembentukan pengalaman bersama, penyediaan objek-objek bermain dan perlengkapan serta ruangan khusus yang memadai untuk bermain, dan manajemen waktu.

Jika kita amati dari Metode Project Based Learning ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan kegiatan bermain anak yang dapat menumbuhkan kreativitas. Lalu, apakah peserta didik tidak bisa belajar sambil bermain? Atau, pengertian belajar itu hanya menekankan pada kegiatan di kelas? Jika demikian pemahaman pendidikan hanya sebatas lingkungan sekolah, maka kualitas kemampuan peserta didik di Indonesia akan semakin melemah. Saya, mencoba mencari cara agar pekerjaan rumah yang diberikan oleh peserta didik tidak mengganggu kegiatan bermain mereka. Sepakatlah pada satu proyek, yaitu pembuatan film pendek. Ya, pada prosesnya film pendek itu dilalukan dengan berkumpul dan bermain di kalangan remaja. Saya hanya memasukan teori-teori pembelajaran dalam mata pelajaran bahasa Inggris, sekaligus mereka melatih berbicara bahasa Inggris agar semakin mahir.

Dalam Project Based Learning guru dapat mengambil peran yang sangat strategis sebagai fasilitator. Untuk memperkuat perolehan pengetahuan pengalaman (experential knowledge), guru dapat mendorong anak menghidupkan kembali dan megontruksi pengalaman melalui bermain. Tentu saja, dengan berbagi dan bersandar pada pengetahuan latar, kultur dan lingkungan sosial peserta didik. Bermain bersama pada peserta didik dapat mengembangkan satu dasar pengalaman yang sama. Ini pada gilirannya akan memperkaya variasi dan meningkatkan kualitas bermain.

Apakah metode project based learning mudah diterapkan?

Tentu saja mudah jika langkah-langkahnya diterapkan. Tetapi akan menjadi sulit jika tanpa adanya kontroling dan komunikasi secara intensif. Sudah hampir tiga tahun saya menggunakan metode ini dalam memberikan tugas belajar di sekolah. Hasilnya ratusan tugas film yang menggunakan dialog bahasa Inggris ada di laptop saya. Satu per satu saya tonton, dan jika saya menemukan hasil yang lumayan baik, saya unggah ke media sosial seperti youtube Mister Nana TV (https://www.youtube.com/watch?v=Yxc8JWIU9TU) sebagai bentuk apresiasi terhadap peserta didik.

Belajar seperti ini mempunyai hubungan yag komplek. Konten bermain dalam belajar menyediakan beragam kesempatan bagi pembelajar muda (young children) untuk menjadi ahli dalam mengomunikasikan ide-ide mereka. Seperti pada banyak dimensi kehidupan anak, ada ruang bagi intervensi guru untuk memperkuat perkembangannya.

Ada tiga prinsip cara agar metode ini berhasil dilakukan dalam tugas belajar di luar sekolah. Di antaranya demonstrasi, pelibatan, dan pemberian dukungan.

Demontrasi ini dapat dimaknai seperti Peserta Didik belajar dari interaksi sosial. Mereka belajar dari praktik sosial. Dengan demikian proses belajar mereka akan difasilitasi ketika guru menyediakan demontrasi konret tentang apa yang diharapkan dari peserta didik. Kemudian, pelibatan penting untuk semua jenis pembelajarannya. Artinya, sebagai guru kita bisa memastikan semua peserta didik terlibat pada tugas belajarnya. Maka, di sinilah peserta didik diberikan kebebasan memilih dalam apa pun yang mereka lakukan. Dan yang terakhir, pemberian dukungan secara moral, memberikan apresiasi dan fasilitas untuk menunjangnya. Di sini, kerja sama sekolah, guru dan masyarakat dibutuhkan.

Selamat Mencoba!

November 2019.

 

Nana Supriyana, S.Pd seorang guru yang menulis. Dia pernah meraih penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan Republik Indonesia 2015.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *