
Di Mata Sineas. Benarkah Narasi “Kawin Campur” Masih Seksi?
Christian Heru Cahyo Saputro
Narasi hubungan percintaan beda agama ternyata masih seksi. Buktinya, dalam sebuah gelaran acara nonton bareng (Nobar) dan Rembuk film Calon karya sutradara Diego Batara Mahameru dan film CINtA karya Steven Facius Winata yang mengusung isu intoleransi menyedot perhatian kaum muda Semarang.
Pada sebuah malam, nampak puluhan muda-mudi nampak menyesaki rumah budaya Galeri 360 yang berlokasi di Jalan MT Haryono 360, Semarang. Apa yang jadi sihir sehingga mereka rela duduk lesehan berhimpitan berbagi tempat?
Mereka antusias hadir untuk Nobar (nonton bareng) film Calon karya sutradara Diego Batara Mahameru dan film CINtA karya Steven Facius Winata yang sekaligus diramu dengan diskusi mengusung tajuk: “Keharaman dan Kesucian “.
Nobar dan rembuk film ini dinisiasi Komunitas film independen dari mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro “Kinomugedi” yang menjalin kerja bareng dengan Sineroom, Rumah 360, Yayasan Budaya Widya Mitra dan Ein Institute.
Kegiatan ini merupakan dari Rangkaian Pemutaran Film “Jangan Bilang Papa” yang mengusung isu intoleransi dalam keluarga dan masyarakat yang banyak terjadi di Indonesia mengenai hubungan percintaan beda agama.
Nonton Bareng
Seperti apa wajah perkawinan beda agama dalam bidikan lensa sineas Indonesia? Pada sesi pertama para penonton disuguhi tayangan film bertajuk: Calon (Diego Batara Mahameru) yang mengisahkan hubungan percintaan beda agama antara Nisa dan Adam. Dikisahkan ayah Nisa yang curiga akan hubungan anaknya Nisa dan Adam yang tak hanya sekadar “kawan”. Tetapi Adam mencoba mengelak, ketika ayah Nisa mempertanyakan hubungan mereka. Adam menjawab dan mengaku “hanya sebagai teman baik”. Nisa pun meng-iya-kan status hubungan mereka dan mengaku masih dalam tahapan masa perkenalan.
Semua kebohongan terkuak, ketika di meja makan. Perlakuaan Nisa ketika mengambilkan nasi untuk Adam, seolah menjawab: bahwa mereka benar-benar bukan sekadar teman. Saat akan memulai makan dan berdoa, satu hal yang ditutupi akhirnya terungkap. Akhirnya ayah Nisa, tahu kalau Adam adalah seorang non-muslim.
Dalam film yang berdurasi sekira 14 menitan ini, Diego Batara Mahameru–sutradara dan penulis film–ingin menyampaikan permasalahan dengan sederhana: tidak berbelit-belit. Memang tidak ada konflik-konflik tajam dan menunjukkan apa yang akan disampaikan Mahameru dalam karya filmnya. Puncaknya, semua terungkap pada menit terakhir ketika mereka ke ruang makan. Penolakan tak terlihat dalam kata. Isyaratnya, ayah Nisa meninggalkan ruang makan ketika tahu Adam non muslim.
Kesederhanaan kisah yang diusung Mahameru dalam menyampaikan narasi kawin campur menjadi relevan, ketika diungkapkan di ruang yang dekat dengan kehidupan keseharian, dengan isu perbedaan agama yang cukup kompleks di tengah kehidupan beragama.
Pada tayangan kedua film CINtA karya Steve Facius Winata, menampilkan seorang keturunan etnis Tionghoa bernama A Su, yang jatuh cinta dan meminta Siti Khadijah wanita dari keluarga muslim untuk dijadikan istrinya. Namun setelahnya Siti ternyata sudah dipilihkan jodohnya dan terpaksa memilih calon suami yang sudah direstui oleh orang tuanya. Walau A Su memaksa untuk berpindah agama dengan mengucap kalimat syahadat, Ayahnya tidak merestui dan Siti pun meminta maaf dan menyampaikan keterpaksaan memilih calon suami ini adalah pilihan terbaik bagi dirinya saat ini. Film ini lebih kompleks tak hanya menusung narasi beda agama, tetapi juga isu indentitas lain beda etnis.
Rembuk Film
Usai nonton bareng dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan nara sumber Khoirul Anwar (Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Semarang) dan Pdt. Aryanto Nugroho dari Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI) sebagai pemantik diskusi.
Diskusi yang dipandu Yvonne Sibuea dari EIN Institute berlangsung gayeng dan cair. Lalu bagaimana perkawinan beda agama disikapi? Kepelikan yang timbul atas dasar legalitas negara, ajaran agama plus perbedaan etnis inilah yang didedah dalam diskusi ini.
Menurut Pendeta Aryanto Nugroho tema klasik perkawinan beda agama juga etnis ini tetap menarik bagi para sineas untuk diusung dalam karyanya. “Narasi kawin beda agama atau kawin campur ini akan tetap seksi sepanjang legalitas negara dan ajaran agama belum bisa memberikan jalan keluar,” ujar pendeta Aryanto.
Perkawinan adalah proses melegalkan hubungan dua insan secara agama dan negara; bertitikberat pada pengakuan masyarakat. Perkawinan yang sedianya ditujukan untuk menjaga kesucian, ternyata justru diharamkan bila dilakukan antara insan berbeda agama. “Masalahnya juga beberapa ajaran agama masih memiliki pembatasan atas perkawinan beda agama. Kalau mau nekat dan menjadikan pilihan harus diperjuangkan dengan mencari celah dan siasat. Tetapi kalau tidak mau ribet, ya, jangan pilih pasangan beda agama,” ujar Pendeta Aryanto mengingatkan.
Aryanto juga menambahkan, persoalan lainnya, selain harus siap berkonflik dengan keluarga, pasangan berbeda agama juga perlu mendiskusikan agama apa yang kelak diajarkan pada anaknya.
Hal senada juga diungkapkan, Khoirul Anwar (Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang) Hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama, sehingga ada kekosongan hukum.
Aturan perundang-udangan di Indonesia sendiri, jika dilihat memang tidak disebutkan secara khusus bagaimana praktik beragama dalam pernikahan beda agama. Seperti dalam pasal 2 ayat (1) UPP: sah tidaknya perkawinan diatur dalam agama dan kepercayaan masing-masing. Permasalahnnya, tiap agama punya aturan berbeda dalam hal ini. Dalam ajaran Islam wanita muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non-muslim, namun sebaliknya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita non-muslim. UU Perkawinan menyerahkan keabsahan perkawinan sesuai ajaran agama masing-masing.”Semisal karena Anda sebagai laki-laki yang beragama Islam dan dalam ajaran Islam masih diperbolehkan untuk menikah beda agama.Apabila pihak laki-laki yang beragama Islam dan pihak perempuan beragama lain,” papar Khoirul yang bergiat di eLSA Semarang.
Persoalan lain yang juga mengemuka, mengapa yang dibidik dalam narasi perkawinan campur ini agama yang pemeluknya mayoritas seperti Islam dan Kristen. Pertanyaan kompleks ini memerlukan banyak jawaban.
Aryanto juga Khoirul, keduanya nampak sepakat, kalau persoalan kawin campur tak bakalan selesai hanya diajang diskusi. Harus ada political will dari pemerintah dan tentunya dari institusi agama.
Sepulang nonton bareng dan diskusi malam itu, tentunya, sejumlah pertanyaan masih terus berkelindan di kepala muda-mudi yang sedang menjalani pacaran beda agama apalagi yang sekaligus beda etnis. Wah! (*)
Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis, pengamat film juga bergiat di Jung Lampung Heritage dan Jaringan Sumatera untuk Pelestarian (Pan Sumatera Network.