Samsul Hadi Penyair kelahiran Lombok Timur ini termasuk Generasi Milenial, jika dilihat dari tahun lahirnya. Penyair memperkenalkan diri sebagai aktifis perpustakaan jalanan di Lombok Timur. Disamping itu, dia ingin menjadi mahasiswa namun belum kesampaian sampai saat ini, bersamaan dengan ke empat puisinya ditulis, yaitu : 1. Puisi yang Hilang. 2. Tersesat. 3. Kata-kata adalah senjata. 4. Bahasa Kasih Sayang.
Kata sebagian orang bahwa menikmati puisi tidak harus mengerti teori-teori yang terkait puisi mulai dari diksi dan estetika sampai epistemologi puisi. Baca saja mengalir, maka engkau akan menemukan rasa transenden yang mengajakmu tenggelam pada masing masing huruf di dalam puisi. Begitulah kira-kira suasana ketika menikmati Puisi puisi besutan Samsul Hadi kali ini. Betapa tidak, sang penyair di antaranya menampilkan bahasa simbul dipadu padan dengan diksi yang mampu memancing imajinasi pembaca. Sebut saja di Puisi yang berjudul /Puisi yang Hilang/.
Puisi ini terdiri dari 4 bait bernomor, dari angka 1 sampai dengan 4. Pada sebagian masyarakat umum angka 4 adalah simbul adanya sesuatu yang hilang, bahkan dalam ajaran Islam bagi orang yang meninggal disholati dengan baca takbir sebanyak 4 kali. Pemilihan angka 4 itu sendiri dihubungkan dengan judul Puisi /Puisi yang Hilang/, sudah menjadi tanda bahwa sang penyair bukanlah orang yang tidak cakap dalam penentuan logika maupun rasa. Padahal sang penyair mengaku belum menjadi mahasiswa. Ternyata mampu membuat kekuatan sinergi antara simbul dan diksi di dalam Puisi. Mungkin karena sering berada di perpustakaanlah yang mampu menambah wawasan tentang kekayaan diksi, arti maupun keragaman cara ungkap di dalam puisi-puisinya.
Perpustakaan memang bisa menjadi sumber berbagai macam ilmu dan informasi dunia literasi, apalagi “perpustakaan jalanan” yang membutuhkan seni tersendiri di dalam menjaga kelangsungan aktivitas sehari-hari. Selamat menikmati puisi-puisi penyair “Pustaka jalanan”! (redaksi).
PUISI YANG HILANG
1.
Pagi-pagi sekali,
Anak kalimat mencari induknya,
Ingin menanyakan kabar puisi. Sebab semalam ia tak kunjung pulang.
Sedang induk kalimat sedang sibuk-sibuknya menyiapkan sarapan.
Setelah pukul 7 tadi menyiram gagasan di halaman.
“Barangkali puisi terjebak di antara kebisingan kota, dan tidak tahu arah jalan pulang.” Kata sang induk sembari mengaduk-aduk adonan kenangan.
“Bukankah ia sudah hafal betul seluk-beluk jalan kota ini. Lagi pula ia bukan tipe pelupa.” Kata sang anak menimpali.
Ah, ini tidak memuaskan!
2.
Kemudian sang anak coba menggali pada kubangan kemunafikan.
Barangkali di sana ia temukan jejak puisi, yang tengah asyik bersenggama dengan alam.
Namun, hasilnya sama saja.
Puisi tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
3.
Sang anak lelah mencari. Padahal sebelumnya ia telah berjanji dengan puisi, untuk menemaninya menulis surat rindu, pada kekasihnya yang Rock n roll itu.
Tapi…
Ah sudahlah,
Sepagi ini sarapan api.
4.
Karena putus asa dan tak kunjung menemukan jejak puisi, sang anak akhirnya menyalakan kretek yang menggambarkan sepi, menyesap kopi buatan induknya, kemudian bergegas pergi ke kamar mandi.
Ketika membuka pintu, betapa kaget ia melihat puisi duduk sendiri di pojokan.
“Ah, di sini kau rupanya puisi. Pada jiwa yang tenang dan bau pesing kamar mandi.”
TERSESAT
Pada iman yang masih terlembaga.
Dan omong kosong petuah agama.
Hidup sudah jungkir balik.
Dan Tuhan?
Sepertinya masih sama saja.
Ketika mawar tumbuh di ruang tamu,
Menembus beton dan durinya menusuk kalbu.
Alam lebih beradab dari pada manusia.
Yang katanya manusia,
Hanya sibuk oleh rutinitasnya yang begitu-gitu saja.
Sibuk menghakimi, saling caci maki, dan menjadi Nabi kurang ahli.
Bagaimana bisa mereka hidup seperti itu?
Kapan mereka bisa menikmati waktu duduk di teras sambil baca buku?
Kapan terakhir kali mereka menertawai hidup?
Aku tersesat pada kehidupan yang serba instan.
Menghilangkan nilai dan membunuh Tuhan.
Mata-mata itu terus saja menatapku dengan penuh curiga,
Aku benci itu.
Aku lebih suka punggung mereka,
Karena di sana tidak ada kebohongan.
Aku tenggelam di kedalaman lautan,
Tanpa bisa mengerti makna kehidupan.
KATA-KATA ADALAH SENJATA
Malam ini kuketuk pintu diksi,
dan berharap bisa membuat puisi.
Jadi begini;
Barangkali kata-kata adalah senjata paling mutakhir yang sering digunakan untuk menjelaskan perasaan.
Sedih, gembira, senang, apapun, terkumpul dalam tulisan-tulisan yang serumpun.
Saat jatuh cinta,
aku membayangkan diriku menjadi Sapardi.
Menulis puisi dan mencintai dalam bentuknya yang paling sederhana.
Saat hilang arah,
aku membayangkan diriku menjadi Chairil.
Yang puisinya seperti api membakar hati.
Tetap berkobar dan ingin hidup seribu tahun lagi
Dan saat sendiri,
aku membayangkan diriku menjadi Aan Mansyur.
Yang selalu bersahabat dengan sepi.
Sebab terlalu banyak kejahatan di mana-mana,
di kota-kota atau di kata-kata.
Atau pada segala sesuatu yang kau sebut kita.
BAHASA KASIH SAYANG
Aku pulang dengan sejuta harapan.
Menembus malam yang kerap dipertanyakan.
Merayakan sepi.
Menunaikan ibadah puisi.
Riuh.
Laut menyambut marah-marah.
Rembulan bertengger di atasnya memberikan senyum ramah.
Sepasang yang serasi untuk saling melengkapi.
Sunyi.
Adalah Bahasa kasih sayang.
Kau terlampau ramai untukku bicarakan.
Resah dan gelisah, membuat kita terpisah.
Kian terasing, lalu menjadi masing-masing.
Pada segenap harapan yang tercecer di jalanan.
Aku bersaksi.
“Tiada kiblat selain hati Nurani, aku, dan malam ini.”
Samsul Hadi lahir di Labuhan Haji, Lombok Timur pada tanggal 17 Desember 1999. Aktif berkegiatan di Perpustakaan Jalanan Minor yang ada di daerah Lombok Timur. Cita-citanya pengen jadi mahasiswa tapi belum kesampaian hingga sekarang.
Susunan naratif dalam “PUISI YANG HILANG” karya Samsul Hadi – https://mbludus.com/puisi-yang-hilang/ – berhasil mempersonifikasi sesosok ‘puisi’ tanpa banyak diribeti permainan-kata ataupun idiom. Ornamen suasana cukup sederhana, berlatar percakapan antara sang induk dan si anak. Langkah pencarian pagi itu membawa alir kegelisahan berakhir di sebuah ‘kamar bebersih’. Di situlah ditemukan onggokan kata yang bertanggung-jawab sebagai tubuh artikulasi sebuah puisi. Namun, tugas si anak (baca: misi penyair) kuharap belumlah usai. Ia musti mengolah puisi menjadi fakta atau pun kredo yang tidak tercemar bau pesing. [*21E09]
Salam,
Suhandayana