Saya tidak pernah bertemu secara langsung apalagi berjabat tangan  dengan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) meskipun profesi saya memungkinkan untuk itu. Saya sudah bekerja sebagai wartawan di Jakarta sejak 2006. Pada kurun waktu itu sampai dengan beliau kapundut pada 2009, teman seperjuangan dan se-kosan saya, Dian Widyanarko di harian Seputar Indonesia—yang kini lagi naik daun di Youtube dan jadi selebgram–entah sudah berapa banyak berinteraksi dengan beliau. Iri rasanya melihat Dian bisa bersama sosok mengagumkan ini (Al Fatihah untuk beliau). Bagaimana tidak, Dian bisa leluasa diskusi hingga foto bareng dengan beliau seperti di kantor pusat PBNU Cikini.

Dian ini memang seharusnya ganti saja namanya jadi Dian Untung. Dia ini nyaris mutung, waktu melewati masa masa awal bekerja yang cukup berat, enam bulan tidak libur pad medio paruh kedua 2006. Sebagaimana saya, dia adalah anak rantau, saya dari Lampung, dia dari Jogjakarta. Nah, setelah lolos masa percobaan  dan menjadi karyawan, entah gimana nasib memilih dia menjadi reporter desk politik yang menjadikan peluang untuk bertemu Gus Dur terbuka lebar. Sedangkan saya ditugaskan di desk ekonomi sampai dengan karir saya berakhir saat pandemi Covid-19. Peluang saya ada, tapi tipis karena area liputan yang berbeda. Saya bahkan belum pernah–seingat saya–meliput acara bertema ekonomi yang sekaligus dihadiri oleh Gus Dur, entah sebagai pembicara atau tamu–hal amat lazim bila seminar atau acara tema ekonomi dihadiri oleh tokoh politik. Terbukti sampai dengan beliau kapundut, saya tidak pernah berinteraksi langsung dengan beliau, memang sudah nasib saya, dan saya terima.

Perkenalan dengan Gus Dur seusia dengan ‘kemelekan’ intelektual saya sesaat berkuliah di Universitas Lampung pada 1997. Kira-kira, 1999 saya mulai ngeh isu-isu nasional ketika menjadi aktivis di koran kampus Teknokra. Saya, sebagaimana jutaan orang Indonesia yang hormat atau mengidolakan beliau, berkenalan lewat tulisan-tulisan bernash Gus Dur  yang ada dimedia dan berita seputar sepak terjangnya saat menjadi anggota DPR dan kemudian presiden. Ada momen momen aneh yang menurut saya sampai saat ini tidak terjelaskan oleh logika, seperti saat dia bisa menjadi Presiden meskipun bukan dari partai pemenang Pemilu. Kemudian, kebijakan-kebijakannya yang menurut saya visioner dan sulit dipahami. Sampai akhirnya ketika beliau dipaksa mundur oleh Amin Rais cs, saya percaya bahwa Gus Dur itu satu-satunya wali yang pernah menjadi presiden di Indonesia, atau mungkin di dunia.

Sebagaimana keajaiban saat dia terpilih, kebijakan-kebijakan kontroversial hingga proses lengser yang tak lazim, membuat saya berkesimpulan bahwa beliau ini hidup terlalu maju, melampaui zamannya. Perlahan terbukti, banyak kebijakan atau bahkan kegemarannya memecat bawahan yang waktu itu jadi sasaran empuk media dan lawan politik kemudian terjawab oleh waktu. Ada yang jadi gelandangan politik, terjerat kasus korupsi dan lain sebagainya. Andai kata rakyat Indonesia waktu itu sudah berjiwa demokratis, dan secara ekonomi sudah masuk kelas negara maju–saya yakin–Indonesia ditangan beliau akan menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Kalaupun ada perbuatan yang saya sesali yang telah saya lakukan kepada beliau adalah penolakan saya terhadap rancangan undang-undang penanggulangan keadaan berbahaya (PKB) pada zaman beliau menjadi Presiden. Maklum, sebagai aktivis mahasiswa, pers pula, darah muda saya jelas tidak terima bila tentara yang oleh sebagian besar dari kami, mahasiswa, dengan susah payah bisa digelandang masuk ke barak lewat reformasi diberi kesempatan lagi oleh beliau bertindak di atas hukum. Ini benar-benar tidak bisa diterima, saya bahkan menulis sebuah kolom atas penolakan itu di koran lokal dan dimuat. Waktu itu saya bangga, setidaknya saya menyuarakan kebenaran, karena atas memberikan kekuasaan kembali adalah sebuah penghianatan atas reformasi. Alasan lain, teman dekat saya meninggal gara gara meliput demonstrasi besar besaran menolak UU PKB ini di Lampung.

Belakangan, ketika kesadaran intelektual dan wawasan politik bertambah saat menjadi  wartawan ‘beneran’ di Jakarta, dan mengetahui cerita dibalik layar tentang apa sesungguhnya yang terjadi pada kisruh UU PKB, saya terus terang menyesal. Maka itu, kalaupun ada kesempatan saya bertemu atau wawancara ekslusif seperti sering di dapatkan Dian aya akan minta maaf. Sayangnya, takdir berkata lain, saya tidak pernah di geser untuk penugasan politik atau sekedar menjadi pengganti sementara reporter politik.

Kesempatan itu datang, di depan mata. Bahkan, saya bisa berbangga dengan Dian bahwa dia mungkin tak akan pernah seberuntung saya. Bahkan, saya bisa mengklaim mungkin saya jadi salah satu dari sedikit orang yang bisa mendapatkan kesempatan ini, yaitu membonceng Gus Dur keliling Jakarta. Ya, membonceng beliau naik motor roda dua keliling Jakarta. Begini interaksi dan dialog saya dengan beliau.

Saat itu saya mau jumatan di masjid dekat istana, kalau tidak salah Masjid Istiqlal–kantor saya di bilangan Monas.

“Anterin saya!” ucap Gus Dur.

Dalam hati, wong saya mau jumatan–tapi entah mengapa masjid itu sepertinya penuh. Jadi saya bonceng beliau dengan motor butut. Batin saya bilang, mungkin Gus Dur juga seperti saya, hendak mencari masjid untuk sholat jumat.

Tapi ketika hendak mengambil motor di parkiran, motor saya itu ilang.

“Gus motornya ilang!” ucap saya.

Gus Dur tidak menjawab, tapi ada orang yang tiba-tiba memberikan motor kepada saya, seingat saya motor bebek, lebih bagus dari punya saya yang hilang.

Saya tidak berkata apa apa, dan Gus Dur juga diam saja, jadi saya hanya berputar-putar saja membonceng beliau dibelakang saya. Mungkin rutenya antara Monas, Senen, Salemba. Segan untuk bertanya. Tapi waktu terus berjalan, maka dengan terpaksa saya berkata, itu pun bukan kalimat tanya.

“Kalau daerah Cikini saya paham Gus.”

Saya memang pernah bekerja di salah satu media asing yang berkantor di situ, cuman itu setelah saya bekerja dari Seputar Indonesia. Tiba tiba saja motor berhenti dan Gus Dur sudah turun dari boncengan.

“Golek ono kandang mu!” katanya yang berarti, carilah kandang mu.

Saya tidak sempat meminta maaf atas kesalahan menolak UU PKB waktu saya zaman mahasiswa dulu, kira kira 20 tahun lalu. Bahkan, saya tidak sempat bertanya maksud beliau apa dengan kandang itu? Saya paham arti harfiahnya, tetapi makna kandang untuk keseluruhan kalimat untuk saya itu apa? Tempat saya pulang (bersiap untuk mati) atau mengabdi atau apa?

Saya tidak sempat bertanya karena saya terbangun, sebentar lagi Zuhur. Ya itu hanya mimpi, rupanya saya teridur di kamar saat menunggu sholat Zuhur. Terbangun kira-kira pukul 11.30 WIB, pada bulan Ramadhan hari Selasa, 4 Mei 2021. Saya heran dua kali. Heran pertama, apa hubungan saya dengan Gus Dur, saya ini cuma salah satu fans Nahdliyin, bukan santri, pernah bertemu pun tidak. Kedua, saya ini jarang sekali bermimpi, mungkin satu bulan bisa satu-dua kali atau bahkan tidak pernah. Anak dan istri saya selalu bilang; “Ayah kalau tidur berisik,” kata mereka yang di antaranya pernah pindah kamar gara gara saya ngorok terlalu keras. Mungkin lelah, atau bukti saya kalau tidur memang mati, bahkan hidup dalam alam mimpi pun tidak.

Satu-satunya petunjuk yang terkait dengan kata “kandang” itu adalah, pada pagi hari itu, bakda subuh saya sowan ke rumah Kyai Atik Bintoro, Profesor di Lapan yang berhidmat di NU Rumpin. Beliau sudah saya anggap sebagai guru saya. Salah satu yang saya kemukakan kepada Kyai Atik adalah kegelisahan saya soal Islam dan Sains. Intinya, saya meminta petunjuk beliau tidak kah NU seyogyanya mulai mempertimbangkan untuk menggunakan Ibnu Rusyd dan kawan-kawan untuk memverifikasi kebenaran dalam islam.

Sudah waktunya menurut saya, kiblat NU beralih dari Imam Ghozali dan para penjaga teologi Maturidiyah-Assyariah, kepada para ulama Andalusia cs yang memberi ruang lebih banyak kepada akal. Atau paling tidak, menggeser pendulum panduan teologis dari arah Assyariah yang cenderung menyatakan semua kehendak Tuhan ke arah Maturidiyah yang lebih menjunjung tinggi akal. Sebagaimana sejarah bilang, Assyariah Maturidiah adalah antitesis muktazilah yang  mengingkari sunah nabi.

Tidak ada niat saya mengingkari kepakaran apalagi meremehkan ilmu Hujjatul Islam, tapi perkembangan zaman tampaknya menuntut demikian. Bagaimana nanti, para kiyai-kiyai NU bisa menjawab pertanyaan umat dengan elegan dan memuaskan. Misalnya atas perrtanyaan mengapa manusia bisa menciptaan mahluk hidup pada teknologi cloning, atau mungkin saja menciptakan manusia tanpa penyakit dengan rekayasa genetika. Mengapa ada dunia atau bumi lain yang bisa ditinggali manusia selain bumi kita sekarang ini, bila para pemburu planet menemukannya–saat ini ada temuan soal tata surya seperti matahari. Atau, kalaupun nanti kiamat, sebagaimana diceritakan Quran bumi diratakan dan langit dilipat, apakah berarti Elon Musk dan orang-orang kaya akan selamat dengan pesawat komersil antariksanya? Bila benar, betapa tidak adilnya Allah kalau begitu.

NU

Dari berbagai ide yang saya utarakan kepada Kyai Atik, hanya satu yang relatif mungkin agak menantang–karena awalnya saya juga menolak ide ini muncul di kepala. Yaitu, sudah saatnya Islam –saya berharap melalui NU–menerima teori evolusi Darwin. Ide bahwa Nabi Adam bermuasal dari kera bagi saya bukanlah penghinaan, tapi justru sebaliknya pengagungan kekuasaan Allah SWT. Itu semua setelah saya mempelajari cerita yang lebih detail mengenai proses Adam dan Hawa di usir dari Surga dari kumpulan naskah kuno yang diitemukan di Laut Mati tahun 1947. Kumpulan naskah yang dinamai Qumran itu ditolak oleh Gereja Katolik. Naskah ini telah terverifikasi ada sebelum era Jesus, dan merupakan kitab dari sebuah sekte agama Yahudi. Saya tidak tahu alasan gereja menolak naskah itu, bukan itu tujuannya, meskipun setelah disandingkan, banyak isi naskah itu dikutip sebagian di Injil saat ini, kecuali kalimat the Holy One, dan sebaliknya tidak ada kata kata Son of God  di naskah itu.

Saya tidak berniat untuk bikin masalah dengan saudara saya yang Nasrani dengan mengangkat isu lawas Injil palsu dan Injil asli, ini bagi saya sudah lakum di nukum waliyadin. Sesuatu yang menurut saya akan ditolak Gus Dur karena komitmen kemanusiannya. Motif saya mengajak teman-teman Nahdliyin membuka cakrawala baru teologis Islam di era sains dan kecerdasan buatan ini. Jangan sampai, Islam gagal merahmati alam karena tafsir teologis yang tidak kompatibel lagi dengan zaman. Jangan sampai, Islam cuma jadi stempel ritual akikahan, kawinan dan kematian. Islam, sebagai agama paling rasional di antara agama samawi yang ada harus ada di gerbang paling depan peradaban manusia. Kalau alasannya ini, menurut saya dengan komitmen kebebasan berpikir Gus Dur, apalagi untuk kemajuan NU beliau akan pertimbangkan isu-isu tersebut untuk didiskusikan. Wallahualam Bishowab

 

Ditulis oleh Muhammad Ma’ruf, fans Nahdlatul Ulama

Masjid Al Mubarokah, Legok Nyenang, Rumpin Bogor. 5 Mei 2021 menjelang Dzuhur.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *