Air Mata Surga
Aliawan Ghozali Isnaen
“Sembahyang apa to Mbok, Gusti Allah itu ngga pernah ada. Toh jika Gusti Allah itu ada kenapa hidup kita masih susah kayak gini padahal tiap hari Simbok selalu berdoa,” Sebuah ucapan yang kasar keluar melesat dari mulut ini ketika mendengar ucapan Simbok menyuruhku untuk sembahyang. Simbok selalu menyuruhku tiap waktu, tiap panggilan tak ada lelahnya mengingatkan untuk pergi sembahyang. Aku arahkan mataku dan tatap wajah Simbok setelah mendengar perkataanku berharap ia akan bosan untuk mengingatkan. Senyum yang terpampang jelas dari wajahnya yang sudah berkeriput karena dimakan usia.
“Ngomong apa to kamu Yu Wahyu, Gusti Allah itu ada. Allah itu memberi ujian pada umatnya tidak melampaui batasannya. Wes le sana kamu sembahyang,” simbok lalu pergi meninggalkanku menuju langgar dekat rumah untuk sembahyang. Aku hanya terdiam dan bertanya kenapa Tuhan memberikan ujian kepada tiap umatnya? Bukankah itu hal yang memberatkan.
***
Pagi ini seperti biasa, sarapan sayur dan gorengan yang dibuat Simbok khusus kepada anak semata wayangnya ini. “Mbok, Wahyu ke sawah dulu nggih,” ucapku sopan kepada orang tuaku yang masih tersisa setelah bapak meninggal karena serangan jantung.
“Ya le ati-ati, semoga berkah anggonmu kerja.”
Kuraih cangkul yang biasa menemani saat aku menggarap sawah milik tetanggaku. Maklum, tetanggaku orang kaya yang memiliki banyak sawah dan salah satunya ia serahkan kepadaku. Udara saat ini sangat segar masih sama seperti saat-saat aku masih kecil dan sering bermain dengan bapak. Di sela-sela lamunan indahku yang menghadirkan bapak, tiba-tiba dari belakang sebuah tangan datang menghujam pundak.
“Pagi-pagi udah berangkat, semangatmu lho Yu patut diapresiasi,” sebuah omongan yang membuatku kaget hingga hampir lompat. Untung saja, aku tidak mengumpat ketika kaget karena yang berbicara lebih tua dariku sehingga harus menghormati.
“Eh kang kaget aku, untung aku nggak lompat ke kali lho kalo lompat jenengan nanti tanggung jawab,” Jawabku sekenanya saja. Namun, membuat kita berdua tertawa. Sebenarnya tiap hari aku berangkat selalu jam segini hanya saja Kang Agus ini selalu berangkat siang. Ya pantas saja, ia tak pernah melihatku jika pagi-pagi buta.
“Simbok sehat kan Yu?”
“Sehat Kang.” Setelah jawaban singkat itu kita berdua terdiam seribu bahasa hanya berjalan menuju tujuan masing-masing. HIngga sampailah di pertigaan yang memisahkan, Kang Agus meninggalkanku tanpa sepatah kata hanya menepuk pundak lagi. Namun, kali ini kaget tak dapat lagi datang kepadaku. Ku balas tepukan hangat itu dengan senyuman kecil yang kupancarkan dari raut wajah. Sesampainya di sawah, langsung saja aku mengerjakan apa yang harus kulakukan dan harap-harap hari cepat sore agar aku bisa cepat pulang.
Sore pun telah mengunjungiku dan seolah-olah berkata seperti “ini waktumu untuk pulang, tak usah kau hiraukan sawah itu lagi. Rumahmu telah menunggu dengan sepenuh hati,” telah lama sore aku jadikan menjadi sahabat selain Simbok karena kedatangannya selalu membuat diriku menjadi segar lagi setelah seharian penuh mengerjakan sawah ditemani gagahnya matahari menyinari dunia. Aku pun membawa cangkulku dan berjalan pulang sembari berterima kasih dengan sore.
Langsung saja ku buka pintu sesampainya di rumah yang selama ini kami tinggali bersama. Tak berselang lama setelah pintu terbuka Simbok menyambutku seperti biasa dengan senyuman indah dan suaranya yang mampu memberi suasana hati menjadi tenang.
“Salamnya mana le? Kok masuk rumah ngga pake salam,” ucap simbok kepadaku. Memang selama ini simbok selalu mengajariku untuk salam jika pulang ke rumah, tetapi kadang aku tak menghiraukan salam yang disuruh simbok.
“Nggeh mbok, Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam, nah kayak gitu kan bener. Wes mandi sana le keburu malem.”
Ku jawab ucapan simbok dengan anggukan kepala dan melonong pergi menuju kamar mandi.
Hari pun sudah menuju malam dan ini waktunya simbok salat Magrib seperti biasa. Setelah mandi, aku berjalan menuju dapur untuk mencari makanan karena setelah bekerja seharian penuh perut ini pasti perlu bertemu dengan nasi dan lauk pauknya. Namun, disela-sela jalanku menuju dapur aku mendengar suara simbok sedang mengaji yang menyejukkan hati. Setiap Maghrib simbok selalu mengaji, tetapi kali ini entah mengapa hatiku merasa bergetar. Ada sesuatu aneh yang tak mampu aku ucapkan ketika mendengar suara itu. Ku dekati suara itu, makin dekat dengan sumber suara makin tenang hati ini dibuatnya. Mungkin sekitar lima menit badan ini terdiam mendengar lantunan mengaji simbok. Setelah tidak terdengar suara simbok mengaji aku bergegas pergi menuju dapur untuk mengambil makan.
“Habis ngaji to mbok,” tanyaku spontan kepada simbok yang mendatangiku.
“Kenapa le? Kamu mau belajar ngaji?” simbok malah berbalik bertanya kepadaku. Tak henti-hentinya beliau dalam mengingatkanku untuk urusan agama. Meskipun mungkin simbok tahu jawabanku selalu sama yaitu dengan gelengan kepala.
Ku gelengkan kepala seperti biasanya. Simbok hanya tersenyum kepadaku dan duduk di samping sembari membenarkan ikat rambutnya.
“Le, simbok itu pengen suatu saat nanti kamu belajar agama. Kamu ini kan udah gede, udah perjaka udah saatnya kamu harus belajar agama dan taat sembahyang le,” entah mengapa ketika mendengar hal itu, aku sedikit terdiam meski biasanya simbok selalu mengingatkanku untuk sembahyang. Akan tetapi, kali ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari ucapan simbok.
“Nggeh mbok,” hanya itu kata yang keluar dari mulutku. Tidak seperti biasanya aku meng-iyakan simbok untuk menyuruhku belajar agama. Mungkin simbok tahu batu yang sekeras apa pun lama-lama akan berlubang juga bila ditetesi air secara terus-menerus. Namun, aku belum tahu kapan hati ini mengajakku untuk memulai semuanya dari awal lagi. Ku anggap belajar agama adalah memulai dari awal karena seakan diriku memulai mengenali dunia baru yang sebelumnya belum pernah ku jajaki. Hal itu yang mungkin belum berani untuk aku coba.
Mungkin suatu saat nanti mbok.
Terdengar suara ayam jago sedang berkokok menandakan bahwa hari baru telah dimulai. Ku buka mataku lebar-lebar dan menatap tajam pada kerasnya hidup yang menerjang. Badan ini aku paksa untuk berdiri meskipun nyawa masih belum terkumpul penuh. Terdengar suara simbok yang sedang menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Simbok selalu bangun sebelum panggilan salat Subuh, beliau biasa salat malam. Sebuah kebiasaan hingga saat ini belum bisa aku lakukan. Aneh memang ketika mendengar suara ayam jiwaku tergugah, tetapi ketika mendengar panggilan salat jiwa ini tak tergugah seakan mendengar alunan musik klasik yang menawarkan ketenangan bila mendengarkan.
“Masak apa mbok?” tanyaku basa-basi kepada simbokku ini.
“Kayak biasanya le, kalo ngga sayur asem ya sayur gori. Yang penting kita masih diberi rezeki sama Allah buat makan, ya to le,” ujar simbok menjawab pertanyaan basa-basi tadi.
“Heem mbok, yang penting udah bisa makan ya syukur.”
Simbok hanya tersenyum mendengar perkataanku. Tanpa basa-basi ku santap habis sarapan pagi ini dan pergi mandi setelah selesai makan.
Hati ini terasa berbeda ketika berjalan ke sawah. Entah hal apa yang membuat hati ini terasa gelisah dan tak tenang. Ku tengok kanan kiri siapa tahu perasaan ini terganggu gara-gara makhluk dimensi lain. Namun, tak kulihat apa pun bahkan aku tak melihat juga kang Agus. Ahh, kalau Kang Agus palingan jam segini juga belum bangun kemarin cuman kebetulan ia bisa bangun pagi. Sesampainya di sawah langsung ku hajar sawah garapan selama ini. Walaupun dengan suasana hati masih tidak tenang.
Siang hari pun tiba adanya, sedikit aku ngaso atau istirahat agar badan ini kuat kembali menggarap sawah. Namun, dari kejauhan ku dengar suara seseorang memanggil-manggil namaku dengan lantang.
“Yuu… Wahyu!” ku lihat dengan jelas ternyata itu adalah Lek Tukimen tetanggaku sebelah rumah memanggil namaku dengan keras-keras sambil berlari tergopoh-gopoh bagaikan kijang yang sedang berlari kencang karena dikejar harimau.
“Wehh ada apa to lek, kok lari-lari sambil manggil,” tanyaku padanya
“Yuu simbok Yuu …” ia tak melanjutkan ucapannya karena nafas yang habis karena capek berlarian.
“Hahhh, simbok. Simbok kenapa lek ngomongg, simbok ngga papa kan?” Tanyaku memastikan meski rasanya deg-degan secepat kilat.
“Yu, simbok ngga ada Yu, tadi pas aku datang…”
“Hah? Mbokkk,” ku berlari meninggalkan Lek Tukimen, meninggalkan sawah, meninggalkan cangkul. Aku berlari sekencang mungkin memastikan bahwa Lek Tukimen itu salah, bahwa simbok masih ada untuk selamanya. Langkah ini semakin cepat seiring dengan air mataku yang tumpah ruah membasahi pipi dan jalanan. Ku lihat dari kejauhan rumahku sudah terdapat beberapa orang, mereka membuat tenda untuk acara lelayu. “Yuu yang sabar ya,” hanya itu ucapan yang ku dengar dari orang disampingku. Ku peluk simbok yang sudah ditidurkan dengan erat-erat seakan tidak percaya hal ini terjadi.
“Mbok, maaf Wahyu belum bisa buat simbok bangga maaf mbok. Wahyu belum bisa sembahyang seperti yang simbok selalu suruh. Maaf mbok,” semakin pecah tangis ini ketika ucapan itu keluar.
Kuangkat keranda simbok bersama tetangga yang lain. Aku bawa tubuh simbok tersayang ini ke peristirahatannya. Tiap langkah yang ditempuh dan semakin dekat dengan tempat baru simbok, semakin aku menangisi kepergiannya. Banyak yang ingin menggantikan untuk menggotong keranda karena kasihan kepadaku. Namun, aku tak mau. Aku lah yang harus mengantarkan simbok ke rumah barunya.
Ketika tubuh simbok mulai dikubur, di situ semakin pecah tangis ini terurai. Kurasa kan tangan Bulek Yani istri Lek Tukimen mengelus-elus punggungku. Hingga akhirnya, simbok telah tertutup rapat oleh tanah yang begitu teganya memisahkan diriku dengan simbok. Tak terasa tadi pagi merupakan pertemuan terakhirku dengan simbok dan tadi pagi sarapan terakhirku dengan simbok.
***
Setelah kepergian simbok, hari-hari yang aku lalui tak pernah semangat seperti ada yang hilang dalam hidup ini. Duka dalam hati ini masih menancap dan enggan pergi dari diriku yang malang.
Terkadang Bulek Yani memberi makanan. Namun, makanan sudah tak punya rasa lagi di lidah. Sawah tak pernah ku garap dengan sepenuh hati karena setengah hatiku telah direnggut oleh kejamnya tanah tempat pemakaman. Masih teringat kenangan-kenangan bersama simbok. Kenangan yang seakan masih hidup di dalam diri ini. Teringat pesan simbok agar aku belajar agama. Mungkin inilah waktunya untuk memulai hidup yang baru.
Terdengar suara azan dari langar dekat rumah. Hati ini bergetar ketika mendengar, tak seperti biasanya yang acuh tak acuh terhadap suara azan. Aku mulai mengambil wudhu dengan seadanya. Dulu simbok pernah mengajarkanku cara berwudhu dengan benar, tetapi sekarang ingatan itu sudah sedikit menghilang karena tak pernah dipraktikkan. Sarung yang selama ini hanya jadi selimut sekarang sudah kutekadkan berubah fungsi sebagai alat sembahyang. Berjalanlah kaki ini mengikuti kata hati untuk memulai semua dari awal dan untuk mendekatkan diri dengan yang mempunyai hidup.
“Weh, Wahyu mau ke langgar?” Tanya tetanggaku yang keheranan mengapa seorang iblis mau mendatangi tempat yang ia benci.
Ucapan itu hanya kubalas dengan anggukan dan senyuman saja. Tak perlu banyak bicara.
Sesampainya di langgar semua terlihat bingung karena seorang Wahyu yang selama ini dikenal tak mau dekat dengan agama dan Tuhan, kali ini ia mulai bersentuhan dengan dua hal itu. Mata mereka menunjukkan sebuah perasaan yang tidak percaya. Namun, hal itu tak membuat niat ini surut.
“Mari,” ucapku kepada tetangga-tetanggaku yang berada di serambi langgar. Mereka hanya tersenyum dan mengangguk bahkan ada yang masih tidak percaya dengan keberadaanku. Ahh, biar saja lah apa yang ada dipikiran mereka.
Sembahyang pun telah selesai, aku masih duduk tak berdoa apa-apa karena aku tak tahu. Kulihat semua orang seperti berkomat-kamit dalam duduknya. Aku hanya terdiam tak tahu mulut ini harus berdoa apa. Mungkin Pak Kyai Ahmad bisa membantuku. Kyai Ahmad merupakan seorang pemuka agama di desaku. Ia selalu menjadi Imam dalam sembahyang.
Ketika semua orang telah berlalu meninggalkan tempat sembahyang, terlihat Kyai Ahmad masih berada di tempatnya. Ku dekatkan diri padanya untuk menanyakan semua pertanyaanku selama ini. Agar semua bisa terjawab.
“Assalamualaikum Pak Kyai apa saya boleh bertanya beberapa hal?” Tanyaku kepadanya yang membuat ia membuka mata setelah larut dalam nikmatnya berdoa.
“Waalaikumsalam, eh Wahyu alhamdulillah datang salat. Gimana mau tanya apa? InsyaAllah saya bisa membantu.” Jawab Pak Kyai yang sorotan matanya terlihat bahagia dengan kedatanganku tak seperti orang-orang lain yang bingung dan beberapa juga memandangku sinis.
“Jadi begini Pak Kyai kenapa Gusti Allah itu memberikan perintah pada orang-orang untuk salat? Bukan kah itu menyulitkan?”
“Yu salat itu merupakan kewajiban yang diberikan Allah kepada semua hamba-Nya. Mengapa? Karena salat merupakan pembuktian bahwa kita menyembah Allah. Karena hanya Allah yang boleh disembah tidak ada yang lain. Jadi sebagai sebuah pembuktian menyembah Allah ya salah satunya dengan salat. Salat itu adalah tiang agama, ibaratkan sebuah rumah bila ingin kokoh ya harus ada tiangnya to. Begitu juga dengan iman jika pengen kokoh ya salat,” terlihat Pak kyai sedang menghela napas mungkin ia akan memberiku sebuah pelajaran panjang lebar tentang salat.
“Yu, ketika kita sudah wafat amalan yang pertama kali ditanyakan adalah salat. Salat bukan yang lain. Jadi itu membuktikan bahwa pentingnya salat. Ehmm, seseorang yang salat Yu akan Allah berikan kemudahan dalam hidupnya. Allah akan kabulkan doa-doa mereka yang rajin salat.”
Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Pak kyai. Mungkin benar selama ini aku tak mengakui Gusti Allah sebagai Tuhan. Selama ini aku menduakan Tuhan yang seharusnya kuakui sebagai Tuhanku. Semakin bergetar hati ini ketika selesai mendengar penjelasan Pak Kyai.
“Lalu Pak, bagaimana dengan doa-doa dalam salat?”
“Itu, kamu ambil bolpen sama kertas yang ada di lemari terus nanti kamu tulis,”
Tanpa pikir panjang, langsung kuambil kertas dan bolpen yang berada di lemari. Kudengarkan lalu kutulis setiap doa yang Pak Kyai ajarkan kepadaku. Beliau juga mengajariku doa setelah selesai salat dan baru kuketahui ternyata itu dinamakan dzikir. Jika Pak kyai tak memberitahu, selamanya mungkin aku hanya berpikir mereka sedang komat-kamit setelah salat. Tak terasa waktu telah menunjukkan ini saatnya untuk pulang. Saatnya untuk beristirahat dan memulai esok hari. Pak kyai berpesan padauk untuk datang salat Subuh esok.
Semua doa yang telah diajarkan sudah tertata rapi dalam kertas yang kubawa. Mulai dari takbir hingga salam telah duduk manis dalam kertas. Kuhafalkan semua doa tersebut hingga larut malam. Tak kuasa mata ini menahan kantuk yang menyerang. Tertidurlah diriku larut dalam hafalan doa.
Ketika bangun ternyata matahari sudah di atas dan tersenyum padaku sembari berkata “Kau melewati ibadah kedua mu,” matahari seakan tertawa bengis dihadapanku. Semua doa sudah aman dalam ingatan, tetapi aku malah meninggalkan salat Subuh. Ahh, kesalahan ini.
Seperti biasa aku berangkat menuju sawah, mengerjakan yang seharusnya. Dan sudah berencana untuk pulang dulu saat azan salat Dzuhur dikumandangkan. Kenapa waktu berjalan begitu lambat? Ketika hati telah menemukan apa yang diinginkan.
Suara adzan telah terdengar dan bergegas aku tinggalkan sawah untuk sementara waktu. Mandi dan bersiap ke langgar sekarang menjadi hal yang ditunggu.
“Tadi Subuh kemana Yu? Kok ngga dateng, belum bangun po?” Ucap seseorang dengan sopan tanpa menghakimi. Aku pindahkan pandangan ke belakang, ternyata seseorang itu adalah Pak Kyai yang sudah mengharapkan diriku untuk datang subuh.
“Aduh maaf pak, semalem keasikan ngehafalin doa-doa yang jenengan ajarkan. Sampe larut malam, tapi sekarang udah hafal saya Pak Kyai,” jawabku mencari pembenaran atas kesalahan yang telah kuperbuat.
“Emm yowes, besok lagi tidurnya jangan terlalu malam Yu. Wes ayo masuk.” Aku hanya mengangguk dan berjalan di samping Pak Kyai.
Aku lafazkan doa-doa yang telah aku hafalkan semalaman dengan penuh khidmat. Sambil memejamkan mata berharap bertemu Tuhan dalam kegelapan. Berdoa agar simbok mendapatkan tempat disisi-Nya.
Terdapat banyak perubahan dalam diri ini semenjak mengenal lebih dekat Tuhan dan agama-Nya. Rasa yang dahulu tak pernah aku dapatkan. Sebuah ketenangan hati dan jiwa seperti yang pernah dikatakan pak Kyai padaku bahwa Gusti Allah akan memberikan ketenangan baik hati maupun jiwa bagi hamba-Nya yang beribadah. Selalu, setiap selesai Subuh Pak Kyai memberikan ceramah kepada orang-orang yang datang sembahyang di langgar. Tak lupa pak Kyai juga mengajariku mengaji dengan benar.
Serasa hidup ini berubah 360 derajat. Agama ternyata tidak se-kaku yang dulu terbayangkan dipikiran. Hanya orang-orang berpakaian rapi, datang ke langgar tiap lima kali sehari, dilarang ini dilarang itu. Sungguh stigma atau pemikiran yang salah selama ini. Ternyata agama Islam ini memberikan kebebasan kepada orang-orang asalkan tidak melanggar larangan yang di atas. Perlahan aku mulai tahu kenapa banyak larangan ini dan larangan itu. Karena kita dijauhkan dari efek-efek atau dampak negatif dari perbuatan terlarang. Pak Kyai selama ini banyak mengajarkanku tentang arti kesabaran, ikhlas, bagaimana mencintai ibadah yang telah kulakukan. Untuk pertanyaan mengapa Allah memberi ujian kepada hamba-Nya karena Allah ingin umat-Nya selalu dekat dengan diri-Nya ketika banyak masalah. Kenapa? Karena manusia akan ingat Tuhannya ketika punya banyak masalah, dan Allah suka pada hamba yang jika memiliki masalah lari kepada diri-Nya.
HIngga suatu hari, aku terbangun untuk melaksanakan sembahyang Subuh. Mengenakan pakaian yang rapi karena bertemu yang mempunyai kehidupan. Berjalan menyapa orang-orang yang akan pergi ke langgar juga. Saat ini, tidak ada lagi orang yang membenci Wahyu karena iblis ke langgar. Mungkin mereka menganggap iblis pun bisa berubah arah seiring berjalannya waktu.
Salat pun telah dimulai dengan takbir dari Kyai Ahmad. Hingga saatnya untuk sujud terakhir, aku ucapkan doa sujud. Tidak terasa banyak sekali air mata yang terurai. Sampai-sampai air mata membanjiri seluruh tempat di mana aku sujud dan membawaku kepada tempat yang Kuasa.
Aliawan Ghozali Isnaen, lahir 26 Februari 2001. Tumbuh dan besar di Bantul. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Sastra Indonesia. Memiliki kecintaan terhadap bermain alat musik dan mencintai kegiatan menulis.
nggak ada salahnya untuk berubah jadi orang yg lebih baik????????