Pada sebuah lahan bekas abu, bekas arang, bekas jelaga
seribu orang datang berjalan dari darat ke laut
dan ada seribu orang datang berjalan dari laut ke darat
mereka bertemu di satu jalan kenangan yang sudah terlalu lama
ditinggal merana begitu saja
 
Dalam perjalanan pulang ke hotel Alia daerah Cikini, Jakarta Pusat aku masih terngiang awal bait puisi ‘Epos Pulau-Pulau’ yang sempat kubuka setelah mendengar pengumuman 5 buku puisi pilihan tahun 2021 dalam perayaan Hari Puisi Indonesia ke sembilan yang diadakan oleh Yayasan Hari Puisi. Ya, puisi itu ada dalam buku ‘Suara-Suara dari Alifuru’ yang ditulis oleh Oppa Rudi Fofid dari daerah Maluku, selain buku itu ada buku-buku lain yang aku bawa pada saat itu, di malam yang dingin di dalam teater kecil Taman Ismail Marzuki.

Anehnya, suatu rasa sedih menyelinap ke dalam hatiku ketika itu meski belum kuselesaikan membacanya, aku seolah merasakan sesuatu yang lain, mengembara pada tanah seberang sana yang sering kudengar atau kubaca lewat berita-berita koran tentang konflik, ketertinggalan. Dari situ, setelah tiba di hotel, segera kubaca lanjutan puisinya.

lihat, saudara-saudara
orang-orang itu telah bicara dalam bahasa tanah dan logat tanah
sebab tanah adalah ibu, sebab tanah adalah ayah
dari sana terbitlah mata air yang mengalirlah perjanjian
pengharapan dan mimpi-mimpi
 
lihat saudara-saudara
orang-orang itu telah baku tempel
ibu jari tangan kanan
mereka telah berteriak dalam lagu-lagunya
heka leka, habis leka lalu leka
 
Sejenak aku terhenti, pada bagian ini aku mulai menyadari bahwa puisi bukanlah sekadar berindah-indah, beraneh-aneh, atau mistis dengan kata-kata, namun puisi memiliki visi. Oppa Rudi Fofid mungkin satu di antara para penyair yang menyadari tentang itu. Aku menghirup kopi yang baru saja selesai diseduh, terasa pahit. Kucampurkan gula agar hirau pahit lenyap, namun lidah selera pasti beragam dalam merasakan kopi, begitu pun dengan menafsir puisi. Hanya saja, untuk mencapai hikmah dan manfaat tentu segala rasa telah dijalani.

“katong sudah brenti bakale
tagal bakale memang seng bae
tetapi, bakubae memang lebe bae”
 
Ya, dari dialog bahasa Maluku atau Ambon itu dapat juga kita ambil hikmah bahwa perkelahian tidak akan membawa kepada sebuah visi yang lebih baik, asam garam kehidupan biasa membawa manusia pada suatu kebijaksanaan. Puisi ini pun seolah menyeru kepada tanah Maluku untuk kembali pada tanah moyang, pada kedamaian.

o, dari pulau-pulau
ada laki-laki pukul tifa
ada laki-laki toki gong
ada laki-laki lempar tombak ke udara
lalu tombak turun jadi tenun tanimbar
 
dari laut-laut ada perempuan berjalan lenggang kangkung
dia melambaikan lenso dan bulu cendrawasih
maka seluruh mata panah yang tajam telah berubah jadi mata pena
manakala setiap orang akan menulis cerita damai
dengan jemari tangannya sendiri
 
mari, saudara-saudara
kita tuang minyak-minyak harum pada kain gandong
yang dipakai melingkar pulau-pulau dari morotoi sampai ke wetar
supaya pada satu rantai emas putih
kita hanya satu darah, kita hanya satu diri
 
kitalah orang-orang yang rela menyalakan api
sehingga dengan hanya satu sentuhan
maka seribu pulau telah mandi cahaya
yang begitu rahman
yang begitu rahim
“di lautan maluku, ombak berkilau-kilau
di bawah sinar bulan, airnya gilang gemilang”
 
Begitulah awal perkenalan dengan puisi-puisi Oppa Rudi Fofid, yang menghantarkanku pada larik-larik puisi berikutnya. Tentu saja bagi setiap orang yang menggeluti dunia puisi mengetahui dengan sadar bahwa dunia puisi adalah dunia tersendiri, yang kerap kali dihubungkan dengan dunia imajinasi yang tak ada kaitannya dengan realitas. Meskipun, sumbernya ditemukan dari dunia realitas. Akan tetapi, bisa saja ini tidak berlaku pada puisi-puisi Oppa Rudi Fofid yang secara gamblang berbicara pada wilayah isu sosial dan politik, sangat terasa pada puisi Metroxylon Louhenapessy.

(pattimura makan sagu, tijahahu makan sagu
sagu adalah roti yang diniatkan di dalam doa
berikanlah kami makanan kami secukupnya
tetapi tuhan curahkan sagu limpah ruah
molat, tuni, ihur, duri rotan, makanaru
dan sagu yang mulia, louhenapessy)
 
ela e, ela sagu, perasaan sagu ada padamu
adakah yang lebih sagu dari pada sagu?
sudah lama kita berlayar dari pulau sagu ke pulau sagu
sudah lama kita berjalan dari lembah sagu ke lembah sagu
kita pernah bertemu seribu rumpun sagu di rimba rakyat
tetapi sagu apa tumbuh di tengah denyut jantung peradaban
yang serabut akarnya menggenggam ulu hati maluku?
 
ela e, ela sagu, perasaan sagu ada padamu
adakah yang lebih baja dari batang sagu
manakala hati adalah tiang yang lurus dan tulus?
adakah yang lebih lembut dari pada papeda
manakala empulur jiwa lebih putih dari pada putih?
adakah lambaian sagu tetap muda remaja
kendati seratus tahun merambah sejarah zaman?
 
ela e, ela sagu, perasaan sagu ada padamu
dari rimba almamater kehidupan terimalah metroxylon louhenapessy
batang lapis baja sebab prinsip tidak pernah kalah
seribu kali ditebang secara brutal oleh mesin jahanam perambah liar
metroxyon louhenapessy tidak pernah tumbang
sebab tumbuh di tengah laha basah kebenaran
 
ela e, ela sagu, perasaan sagu ada padamu
metroxylon louhenapessy, tidak ada duri di sekujur tubuh
metroxylon louhenapessy, daun bising tetapi tumang hening
metroxylon louhenapessy, riwayat hidup tak pernah punya ujung
metroxylon louhenapessy, sagu adalah kedaulatan sebuah bangsa
metroxylon louhenapessy, sagu adalah lagu tentang roti kehidupan
metroxylon louhenapessy, selamat maka sagu bersama malaikat-malaikat
 
Membacanya, kembali menyadarkan kita bahwa kerja menulis puisi adalah upaya untuk menyempurnakan rasa kemanusiaan, yang pada kenyataannya memang penyair selalu dihadapkan pada persoalan realitas. Oppa Rudi Fofid berada di tengah-tengah Maluku di zaman yang telah mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, manajemen, sistem politik dan ekonomi, namun pada kenyataannya di mata penyair ada sesuatu yang belum lengkap untuk sebuah kemajuan Maluku.

Sikap itu dipertegas pada puisinya ‘Syair Orang Kampung’ yang bernada protes sosial pada suatu kenyataan yang dilihat, didengar, bisa jadi dirasakan juga olehnya. Puisi ini memberikan gambaran kehidupan orang-orang pribumi dengan pendatang, ia memadatkannya dengan metafor-metafor dan ungkapan yang semakin mengerucut menikam pada peristiwa-peristiwa pergeseran kebudayaan.

kami datang dari udik
mama biang iris tali pusat kami
pakai sembilu
 
kampung kami amat perawan
malaikat sering mandi
dewa-dewi tamasya
 
rimba raya, gunung mulia, sungai lagu, laut ajaib
semuanya hanyalah kamar-kamar
tempat kami sederhanakan hidup
 
kalau orang kota datang
kami sambut bagai raja
barang dan jasa, semua cuma-Cuma
 
kami suka orang kota
baju, sepatu, tustel, pisau cukur
pomade, logat, semua itu pesona
 
kalau orang kota pergi
kami antar dengan air mata
kami kenang mereka secara kaya raya
 
batin kami kenal dua kasta orang kota
satunya pembela dan pembina kami
satunya pecah-belah dan binasakan kami
 
banyak orang kota berhati putih
mereka inilah para pembela dan pembina kami
jika bertemu, mereka ingin gendong kami
 
tidak sedikit orang kota berhati hitam
mereka pecah-belah kami dan mau binasakan kami
jika bertemu, mereka ingin bius kami
 
kami lugu tetapi orang kota itu lucu
kalau kami ke kota, jadilah berita
mereka tatap ujung kaki sampai ujung rambut kami
 
kalau kami bicara dengan nada-nada kampung
mereka tertawa geli sampai bertahun-tahun
seakan lagu bahasa kami itu satu kesalahan budaya
 
kami diperkenalkan pada kota
beginilah kota, kencing bayar, parkir bayar
beginilah kota, tidak ada mangga dan pepaya gratis
 
kami orang kampung kecil
tetapi kami punya mimpi besar
maka kami belajar melihat dunia
 
ketika kami sanggup melihat ketidakadilan
ketika kami ikut protes dalam unjuk rasa
kami diserang kata-kata payah: kampungan
 
dulu, kami pernah sesali takdir
mengapa lahir di udik
bukankah itu abadi di akta kelahiran
 
kini, setelah kami kenal dunia
barulah kami mengerti
kampung kami adalah surga yang diperebutkan
 
maka atas nama tanah kami
atas nama nenek moyang kami
kami akan kembali jadi anak kampung nan udik
 
kami akan pergi ke batu baboso
bicara dengan orang baboso-baboso
dalam bahasa sirih, pinang, kapur, gobang
 
o, penjaga tanah, penjaga rimba
penjaga gunung, penjaga laut
berpihaklah pada kesucian
 
jika ada orang kampung kami
sambil lirik tanah kami dengan mata culas
bawa dia ke kubur walau belum waktunya
 
jika ada orang ke kampung kami
sambil elus tanah kami dengan doa tulus
antar dia ke pintu eden, pada waktunya
 
kami datang dari udik
mama biang iris tali pusat bumi
pakai sembilu
 
kami tahu, kami berdiri di garis tepi kesunyian
kami telungkup di halaman belakang ketertinggalan
kami sedang berjalan di jalan pincang ketidakadilan
 
kami curahkan tetes-tetes syair kampungan ini
di atas daun-daun keladi dan daun-daun salam
di bawah pohon damar dan kenanga terakhir
 
kami percaya, dari seribu anak kami yang ke kota
kelak ada satu-dua anak kembali ke kampung
mereka akan menjelma anak-anak baboso
 
di atas tanah-tanah baboso
orang kampung akan jaga isi tanah
agar pohon seho terus tumbuh ke langit
 
dari sana, orang kampung kirim rampa-rampa
padi, ubi, sayur, kelapa, gula merah, ikan, ternak
agar orang kota kenyang, bahagia, walau lupa kampung
 
dari sana, orang kampung kirim kayu ke kota
agar dibuatkan rumah kayu dan ranjang kayu
tempat orang kota tinggal bulan madu, walau lupa kampung
 
kami orang kampung
sekali udik tetap udik
orang kota sebut kami kampungan, anjay!
 
Jika dicermati, puisi ini adalah puisi terpanjang di dalam buku puisinya, meskipun pada keseluruhan puisi di dalamnya tidak ada sesuatu yang baru, secara tematik dapat kita terima sebagai buku puisi yang memiliki visi untuk mengangkat harkat dan martabat Maluku, khususnya dan mengedepankan isu kemanusiaan pada umumnya yang sejak awal memang dititik fokuskan oleh penyair, seperti kebanyakan penyair-penyair yang terdahulu. Bila peran puisi sebagai penyampai untuk mencerahkan, maka masih bisa mencerahkankah puisi-puisi yang ditulis dalam kenyataan publik puisi yang semakin menderas. Seiring dengan kemunculan penyair-penyair yang bisa menulis secara spontan, otomatik, cepat dan instan. Sebab, jika menelisik lebih jauh, Oppa Rudi Fofid tidak hanya sekadar mengenal Maluku, ia pun semakin jauh menjelajah isu-isu politik yang terjadi di sana.

Pada buku ini, penyair tak ingin hanya menulis ihwal-ihwal kecil yang sering ditemukan di sekitarnya, misalkan ikan, pasir yang menyiratkan laut atau pantai yang sering di jumpai di sana. Ia terkesan sulit untuk melepaskan diri dari realitas yang terjadi, sebuah fakta yang tidak melampaui imajinasi seperti yang sering dilakukan oleh penyair-penyair sekarang ini, mengedepankan sisi kreatif pada bahasa sehingga puisi yang tercipta menjadi imajinatif. Namun, puisi-puisinya selalu mewaspadai kenyataan, menyerap kenyataan, lalu dihamburkan kembali untuk diketahui publik, bahwa dunia imajinatif puisi semestinya membuat utuh sikap kemanusiaan yang sesungguhnya dibutuhkan dalam tatanan kehidupan sosial di dunia ini.

Realitas puisinya pun bisa kita temukan pada puisi ‘Masjid dan Gereja’ yang ditulis di Ambon.
 
bangun bangun bangun
kalau mau bangun masjid
bangun saja tinggi-tinggi
asal saja ujung kubah
tidak lukai burung-burung gereja
sebab jika darah burung tumpah
tubuh masjid akan kuyup merah
 
bangun bangun bangun
kalau mau bangun gereja
bangun saja tinggi-tinggi
asal saja ujung menara
tidak tusuk bulan dan bintang
sebab jika bulan bintang jatuh
badan gereja akan dihujani meteor
 
Jika membaca biodata penyair pada bukunya, tentu saja menulis puisi-puisi yang berdasarkan faktual memang menjadi pilihan, Oppa Rudi Fofid bekerja sebagai wartawan yang telah cukup lama aktif di dunia sastra, khususnya sastra pergerakan. Ya, keberhasilan menciptakan puisi yang berkarakter, seorang penyair tidak hanya duduk di beranda rumah, menyeruput kopi sambil menghisap rokok. Ia, batinnya harus mengucurkan deras keringat, bergerilya mengembara, dan berdarah-darah. Batinnya, meski terjun bebas dari angkasa, atau memasuki dasar palung lautan agar dapat menangkap makna kehidupan untuk diserahkan pada dunia puisi.

Namun, tantangan terberat bagi seorang penyair adalah dirinya sendiri; ia hidup dalam luka, tertawa di tengah penderitaan, menyaksikan ketidakadilan, dan lain-lain. Selain itu, dunia sastra memang keras dan kejam, badai kritik bertubi-tubi menerjang meskipun sikap masa bodoh tetap bisa menjadi pilihan. Untuk kuat, diperlukan keyakinan akan kepenyairannya. Sebab eksistensi kepenyairan tidak hanya pada buku puisi, pada redaktur puisi di koran atau sebuah komunitas sastra belaka.

Sikap keyakinan itu bisa saja kita temukan pada sosok Oppa Rudi Fofid atau pada puisi-puisinya dalam buku ini. Untuk itu, membaca kembali buku ini diperlukan agar ditemukan kemungkinan tafsir-tafsir lain, bukankah memaknai puisi bukan sekadar pada satu pandangan tertentu? Ya, membaca buku ini, seperti mendengar ‘Suara-Suara Alifuru’.

jika laut panggil nama, beta pasti berdiri
tagal mata ina ama basah di rimba alifuru
 
jika gunung panggil nama, beta pasti tengadah
tagal tali nafas ina ama putus di lembah alifuru
 
jangan ucap salam manis pada nusa ina
jika perasaan alifuru masih tertusuk duri
 
jangan kirim salam manis pada alifuru
kalau suara nusa ina masih timbul tenggelam
 
sio saudara-saudara, alifuru itu orang merdeka
jangan sampai diinjak melulu di tanah pamali
 
Januari 2022

 

Nana Sastrawan, seorang penulis yang senang membaca puisi. Ia meraih penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan Republik Indonesia 2015.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *