JADWAL UNTUK MATI
lentera-lentera telah di padamkan
kunang-kunang menyusupkan cahayanya di mantel warna abu-abu
sebaris puisi ditulis seperti ratapan penjaga mercu suar menangkap kabar celaka
: tak ada yang kembali ke dermaga itu. tak ada yang kangen pada cucu-cucunya!
langit terkesiap menatap awan yang mengeriput seperti kulit jeruk
hanya ada bayang-bayang serombongan orang memanggul koper dan goni
menyimpan kata-kata dalam kedalaman mata yang takluk pada takdir
orang-orang antri berdesak-desak tanpa sempat menitip salam
pada para perempuan yang meninggalkan dapur membiarkan uap kopi
meruap bersama harapan yang diburu waktu
“detik denyut itu telah menggocang lonceng penanda kematian berderap menjemput!”
maut seperti asap mendekat perlahan
kalimat-kalimat puisi tegak seperti pasukan berdoa
sebelum melintasi puputan terakhirnya
jembatan perang yang tak menginjinkan siapa pun kembali
perempuan dan anak-anak bertanya
“manakah yang lebih pilu: meninggalkan atau ditinggalkan?”
(ah, guru, kematian tak sesederhana itu
tak hanya cukup sekedar di riwayatkan dengan ringkas dalam kitab-kitabmu
: pengetahuanmu ternyata abai menafsir teka-teki suram itu)
ABU
sama dengan bangkai ia sekejap akan sirna mungkin melesak
dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam
atau melesat ke angkasa, menabrak dan mengguncang pepohonan
sebelum lenyap jadi butir-butir molekul seperti gerimis tipis
seperti juga sama dengan semua mayat yang tak pernah tahu dalamnya neraka
ia tak akan lagi merapal ayat-ayat. segenap mantra dan jampi-jampi kidung suci
berubah menjadi serabut-serabut yang ringkih seperti putik merambat menuju layu
“hai, tak perlu kau menoleh ke belakang untuk mengingat-ingat apapun.campakkan ingatan
bergegaslah kau telah di tunggu kereta dihela delapan lembu melenguh tanpa henti!”
maka, engkau pun berjalan sendiri dengan berdebar-debar mendengar lenguh itu.
cemas sendiri tanpa siapa-siapa, bahkan tanpa nama
PENGEMBARA
seorang pengelana tak butuh kunci rumahnya
tak perlu menghitung atau melingkari kalender
menandai kapan pulang
pengelana akan bersekutu dengan peta
yang remang-remang dan tak peduli
kuncinya hilang saat mandi di sungai
dicuri dan ditelan ikan-ikan
tanpa kunci ia berjalan seperti unta
dan sampailah di gerbang surga
: “hoii, siapa di dalam bukakan pintu
aku tak bisa melompat atau memanjat
sedang kunciku lenyap di remang-remang!”
AKHIRNYA CUMA SEKEDAR BUNGA!
Pada akhirnya: sekedar bunga. Kembang yang selalu membuat bimbang
menyisakan sekuncup doa yang tengadah dan menggigil di kulum senja
Sekedar bunga. Sekejap gemetar lunglai menahan sesuatu yang meleleh
lantas menjalar di rongga paling rahasia. Semacam rindu yang keparat
Pada akhirnya: kembang yang selalu membuat bimbang
menakar rahasia tersangkut di ranting-ranting getas
tak henti-hentinya menusuk-nusuk rahim dan dubur langit
beranak candikala dan seekor gagak yang paruhnya terbakar
Pada saatnya: hanyalah cuma sekuntum bunga yang lupa pada putiknya
seperti doa yang menggigil kehilangan tanda baca tak sanggup
menerka-nerka kedalaman rahasia
Pada akhirnya: sekedar bunga yang gagal jadi buah
kembali pada kuncup yang hanya bisa terpejam seperti malam.
Mata yang bisu, mata yang batu.
Amboi, siapa yang datang?
Sang Medusa atau malaikat-malaikat bersayap hitam mengayun-ayunkan cemeti?
Segenap suluk jadi serupa desah menyapa ajal
perlahan menggeliat lantas menggandeng tangan
beringsut pelan ke puncak hening yang kuning.
Tjahjono Widarmanto, Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Tulisannya berupa puisi, esai, artikel dan cerpen dipublikan berbagai media. Beberapa kali menerima penghargaan di bidang kesastraan, antara lain: Penghargaan Seniman dan Budayawan Berprestasi Jatim dari Pemrov. Jatim (2002), Sayembara Penulisan Buku pengayaan Tingkat Nasional dari perpusbuk (2003, 2007, 2010, 2016, 2017), Penghargaan Sutosoma, Kategori Guru Sastra Berdedikasi dari Balai bahasa Jatim (2013), Penghargaan Sastrawan Pendidik Tingkat Nasional dari Pusat Pembinaan bahasa (2013), Sayembara Buku Puisi Terbaik Nasional versi HPI 2016, dll.