 
			Oleh Maman S Mahayana
(Sastrawan Indonesia)
Apa hubungannya roket dan puisi atau sebaliknya, puisi dengan roket? Inilah akibat langsung seorang ilmuwan yang kesehariannya menggeluti selok-belok dunia kedirgantaraan, peroketan, nuklir, dan ilmu-ilmu eksakta, mencintai puisi. Ia coba memanfaatkan puisi sebagai sarana untuk mendekatkan perkara kedirgantaraan atau yang berkaitan dengan itu kepada masyarakat luas. Jika berbagai risalah, makalah atau penelitian mengenai kedirgantaraan ditujukan khusus untuk para ilmuwan yang bergelut sesuai bidangnya, lalu puisi dengan tema-tema itu, dimaksudkan untuk siapa? Untuk para ilmuwan itu atau untuk penyair, sastrawan atau masyarakat luas? Bagaimana caranya? Bukankah puisi selama ini dipahami sebagai teks yang mengandalkan metafora—berkata begini, maksudnya begitu, serta kata-kata yang bermakna konotatif dan ambigu? Apakah semangat itu terkesan memaksakan diri?
Puisi—atau sastra secara keseluruhan, tidaklah lahir dari kekosongan, tidak terbentuk seketika secara serta-merta. Ia lahir dari proses yang berkaitan dengan latar belakang, agama, ideologi, sosial-budaya, dan pendidikan yang terinternalisasi dalam diri penyairnya. Oleh karena itu, siapa pun, dengan latar belakang pendidikan, budaya atau agama apa pun, pada dasarnya dapat memanfaatkan puisi untuk menyampaikan gagasan dan kegelisahan batinnya. Jadi, ia sekadar sarana, sekadar kendaraan yang muatannya bisa apa saja.
Kelaziman yang terjadi dalam perpuisian Indonesia adalah pilihan tema yang menyangkut perkara pribadi, pemandangan atau fenomena alam, dan peristiwa sosial-budaya yang berseliweran dalam kehidupan sehari-hari: tentang rindu dendam, kecintaan dan kemarahan, keindahan alam, keterpesonaan pada laut dengan segala debur ombaknya atau kritik sosial untuk menyatakan perlawanan. Dalam sejarahnya, belum ada puisi yang mengangkat dunia kedirgantaraan secara khusus sebagai tema utamanya.
Antologi puisi yang berjudul Roket Bersarung Menjelajah Dirgantara ini, boleh dikatakan, yang pertama dan (boleh jadi) satu-satunya yang memperkenalkan ihwal dunia kedirgantaraan dan perkara roket yang belakangan menjadi berita aktual dalam perang Iran—Israel. Meski setiap hari kita dapat menonton berbagai kecanggihan dan keganasan roket dalam peperangan yang disiarkan kantor-kantor berita asing, bagi kita, masyarakat yang tak menggeluti bidang peroketan, tetap saja segalanya terasa asing. Peristiwa itu menjadi tontonan absurd. Ia laksana bidang nun jauh di sana. Seolah-olah kita memahami bidang itu, lantaran peristiwanya berada di depan mata, tetapi bagaimana proses benda itu menjelma jadi roket, kita sama sekali tidak memahami: bagaimana benda ajaib yang tampak indah itu diluncurkan dari satu negara dan kemudian terbang mirip kembang api melewati negara-negara lain, lalu bisa menjadi senjata pemusnah massal yang begitu dahsyat.
Bagaimanakah produk sains yang begitu canggih itu diterjemahkan menjadi karakteristik puisi? Bagaimana pula sejumlah perangkatnya dilesapkan ke dalam larik-larik puisi? Memang, puisi-puisi itu tidak menyajikan deskripsi, tidak bercerita tentang roket dan seterusnya. Tetapi, istilah, konsep, dan segala nama peralatan yang asing dan unik itu, berhasil menyelinap dan menjadi bagian dari larik-larik puisi. Hasilnya: sungguh mengejutkan. Penyair dengan latar belakang pendidikan sains—teknik mesin berhasil memperkenalkan konsep-konsep teknis dan memasukkan pengetahuan itu lewat larik-larik pendek yang bernama puisi. Profesinya sebagai periset di Pusat Riset Teknologi Penerbangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengandalkan ilmu-ilmu eksakta, tiba-tiba menjelma sosok metaforis dan pesan yang disampaikannya dikemas dalam bentuk puisi. Jadilah kita menghadapi puisi-puisi yang terasa sangat unik, agak aneh, tetapi justru dengan begitu, jadi memancarkan daya tarik yang penuh tanya dan tentu saja memantik serangkaian rasa penasaran.
Meski diakui, upaya penyair memperkenalkan berbagai istilah teknis itu, dalam beberapa hal, menyimpan pertanyaan. Misalnya: Oksidator ditanam/terbenam di propelan …. Pertanyaannya: apa yang dimaksud oksidator dan propelan? Istilah teknis yang khusus berlaku dalam perangkat roket. Di bagian “Keterangan Istilah” (hlm. 108—115), tak terdapat penjelasan tentang kedua kata itu. Ternyata, kedua kata itu sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia yang dapat kita temukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Oksidator, misalnya, dijelaskan dalam tiga makna, dua diberi keterangan sebagai berikut: (i) “Penghasil oksidasi, yaitu penggabungan suatu zat dengan oksigen, dan (ii) Pelepasan elektron dari suatu partikel (molekul). Adapun propelan dijelaskan sebagai berikut: bahan yang dapat memicu gerak, umumnya meledak dengan daya yang tinggi.
Berikut saya kutip selengkapnya puisi itu:
ROKET MELESAT
Misi, mimpi dirangkai
Oksidator ditanam
terbenam di propelan
Menembus hampa
Merobek sonik bum
Fokus ke aneka sasaran,
meninggalkan daratan,
menjauhi samudera
Informasi ukuran
yang dipunya
Tidak yang lain.
Rumpin, 13 Juni 2025
Sebagai puisi an sich, pembaca sebenarnya diizinkan untuk tidak mengejar pesan, jika di dalam puisi itu ada sejumlah kata yang tidak dapat dipahami maknanya, metaforanya atau hubungan kata yang membentuk frasa, klausa dan kalimat. Artinya, sebuah puisi bagi pembaca tidak wajib hukumnya harus dipahami. Banyak puisi yang sering kali tidak dapat kita pahami. Ya, tidak apa-apa. Dengan begitu, pembaca dibolehkan sekadar menikmati permainan kata, citraan atau persajakannya. Apa pun pesan dan maknanya adalah wilayah kebebasan menafsir pembaca. Di situlah keistimewaan puisi yang dibangun lewat larik-larik pendek dan padat. Bukankah di antara deretan larik pendek itu, tersimpan banyak peristiwa yang berada dalam asosiasi dan imajinasi pembaca. Sekadar contoh, berikut saya kutip puisi pendek Haiku yang terkenal:
Katak
Melompat
Plung!
Bukankah di balik kata-kata pendek itu, saklar imajinasi kita dibawa ke peristiwa nyemplungnya katak, entah ke kolam, sungai atau kubangan air di pesawahan. Bukankah dalam puisi yang disusun lewat tiga kata: katak/melompat/plung// tidak ada kata air, kolam, sungai, dan pesawahan? Mengapa saklar imajinasi kita yang dihidupkan seketika itu dikaitkan pula dengan dunia air? Itulah keistimewaan puisi yang mengandalkan kekuatan citraan. Lalu apa pesan puisi itu jika sekadar mengangkat peristiwa katak yang nyemplung? Ya nikmati saja tanpa harus mencari pesan moral atau pesan apa pun yang hendak disampaikan penyairnya. Bukankah dalam kehidupan ini, begitu banyak kita berjumpa dengan berbagai peristiwa yang tidak perlu kita cari maknanya. Begitulah kehidupan.
Satu contoh lagi saya kutip puisi pendek karya Sapardi Djoko Damono berikut ini:
TUAN
Tuan tuhan bukan?
Tunggu sebentar, saya sedang keluar
Bagaimana mungkin ada pertanyaan: Tuan, tuhan bukan? untuk memastikan identitas seseorang. Jika dianalisis berdasarkan logika dan akal sehat, pertanyaan itu melanggar akal sehat, seolah-olah pertanyaan itu hendak memastikan keberadaan dan identitas tuhan. Bukankah tuhan merupakan zat atau entitas atau entah apa yang mahagaib dan entah wujudnya seperti apa. Jadi, pertanyaan retoris itu paradoksal dengan hakikat hubungan manusia dengan tuhan. Dalam dimensi agama, pertanyaan itu bisa diyakini bakal mendatangkan laknat.
Pertanyaan absurd itu, lebih tidak masuk akal lagi dengan pernyataan imperatif yang terdapat pada larik kedua: Tunggu sebentar, saya sedang keluar. Lho, kan yang omong itu si aku lirik: saya. Mengapa dia bilang, saya sedang keluar, padahal dia pula yang mengajak berdialog dengan sosok yang berada di depannya. Bukankah pertanyaan itu hendak dipastikan sebagai tuhan atau bukan. Tetapi, ya itulah puisi. Meski menabrak logika, tokh kita dapat menikmatinya sebagai sesuatu yang menyenangkan, sebagai sesuatu yang menggelitik pikiran imajinatif kita.
Dalam kasus tertentu, ketika kita sendirian berada dalam keadaan sakit atau menderita atau terasing, kerap muncul perasaan was-was, cemas, khawatir, bahkan takut, menghadapi kematian. Tiba-tiba saja kita membayangkan, malaikat datang hendak mencabut nyawa kita. Dalam suasana perasaan diliputi kegalauan itulah, tanpa sadar, muncul ketakutan menghadapi kematian. Jadi, pertanyaan: tuan tuhan bukan, sebenarnya merepresentasikan ketakutan luar biasa seseorang yang membayangkan kematian dan si aku lirik merasa belum siap menghadapi maut.
Penafsiran lain, tentu saja masih dimungkinkan, sesuai pengalaman, imajinasi, dan asosiasi pembaca dalam memaknai puisi itu. Meski begitu, di luar perkara tafsir tadi, sebagai puisi, permainan bahasanya tetap terjaga. Perhatikan persamaan bunyi dalam larik pertama: tuan/tuhan/bukan//. Persajakan dalam larik yang membangun kesamaan bunyi –an (tuan-tuhan-bukan) itu menghadirkan musikalitas bunyi dan keindahan puitik. Lain ceritanya jika larik pertama disusun dengan kalimat retoris ini: Apakah tuan tuhan? Atau, apakah tuan tuhan atau bukan? Kita terganggu dengan kehadiran kata tanya: apakah yang justru tidak memperkuat persajakan dalam larik. Begitulah, uraian ringkas ini sekadar contoh kasus yang dapat kita terapkan pada puisi-puisi dalam antologi Roket Bersarung Menjelajah Dirgantara. Apalagi sebagian besar puisi dalam buku ini menghadirkan puisi-puisi pendek.
Mari kita kembali ke puisi yang berjudul “Roket Melesat”. Sebelum itu, kita tegaskan dulu pertanyaan ini: apakah penghadiran kosa kata teknis itu dimaksudkan sebagai pamer istilah, sekadar tempelan belaka atau memang mendukung tema yang hendak disampaikan, sebagaimana yang terjadi pada puisi Sapardi Djoko Damono. Jadi, pesan apakah gerangan yang dibungkus puisi itu berkaitan dengan perkara roket? Mari kita coba menelusuri pesannya. Kita mulai dari bait pertama:
Misi, mimpi dirangkai
Oksidator ditanam
terbenam di propelan
Menembus hampa
Merobek sonik bum
Judul lazimnya mengisyaratkan isi: Roket Melesat! Tetapi tidak semua isi terwakili oleh judul. Bisa saja judul tidak ada hubungannya dengan isi. Boleh-boleh saja. Meski begitu, sebagian penyair memang cenderung membuat judul yang ada kaitannya dengan isi. Oleh karena itu, judul di atas, mesti kita curigai ada kaitannya dengan isi.
Bait pertama di atas, ternyata mengungkap latar belakang, bagaimana sebuah roket dapat melesat. Larik pertama: Misi, mimpi dirangkai adalah peristiwa besar yang menuntut perlunya dibuat atau diciptakan roket. Jadi, larik pertama itu sesungguhnya bicara tentang geopolitik global, ketika negara harus menyiapkan kekuatan pertahanan dan keamanan nasional dalam menghadapi kemungkinan serangan pihak asing. Itulah misinya. Lalu, berbagai gagasan, ide-ide, harapan ideal, konsep, dan seterusnya dirumuskan, didesain, dipraktikkan, dan diwujudkan. Oleh karena itu, untuk melaksanakan berbagai strategi itu diperlukan senjata supercanggih, sebagaimana banyak negara mengembangkannya. Roket adalah salah satunya. Meskipun demikian, tidak semua roket dipersiapkan untuk senjata pemusnah. Ada banyak roket untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau untuk tujuan memajukan kehidupan manusia atau meningkatkan kualitas hidup manusia.
Oksidator ditanam/terbenam di propelan adalah proses awal pembuatan roket yang sebenarnya sangat rumit dan kompleks. Berbagai disiplin ilmu bertemu di sana, lalu bergabung untuk menghasilkan satu benda yang bernama roket! Di sini, penyair tidak mungkin mengganti istilah khas oksidator dan propelan dengan kata-kata umum, karena prosesnya memang mesti begitu. Walaupun kita tidak tahu persis, apa yang dimaksud dua larik itu: Oksidator ditanam/terbenam di propelan, setidak-tidaknya, penyair berhasil membangun persajakan dalam larik: ditanam-terbenam-propelan. Kan, beda musikalitas bunyinya jika larik kedua berbunyi: menanam oksidator, tak serasi musikalitas bunyinya dengan larik ketiga: terbenam di propelan. Lalu, larik keempat dan kelima: menembus hampa/merobek sonik bum. Artinya, terbanglah roket itu menembus ruang angkasa, menciptakan suara ledakan bum—yang sebenarnya sangat dahsyat! Dan api menyembur di ekor roket dan roket terbang meliuk-liuk bagai kembang api.
Suara ledakan bom yang dipilih penyair sebagai bum, boleh jadi merupakan konvensi para ilmuwan bidang peroketan onomatope untuk mewakili suara gelegar bom. Diksi itu tentu saja berterima mengingat gaya selingkung (house style) masing-masing bidang memang berbeda. Seperti suara letusan pistol atau senjata api: Dor! bagi orang Indonesia, ternyata berbeda dengan penyebutan orang Barat untuk suara yang keluar dari senjata yang sama, yaitu Bang! dan Pang! untuk orang Jepang. Dalam hal ini, untuk ledakan bom, penyair memilih kata bum! dan tidak gelegar, jeger atau jegur!
Bait ketiga mengulang kembali, bagaimana sebuah roket diluncurkan. Jika diparafrasakan prosesnya sebagai berikut: Memusatkan pada sasaran dengan keakuratan dan presisi yang tinggi; meluncurlah roket meninggalkan sumbunya, terbang melewati batas negara dan melesat di atas lautan, sambil terus memantau target. Begitulah proses sebuah roket diluncurkan. Tampak sederhana, tetapi dalam kenyataannya, prosesnya begitu rumit, kompleks, dan tentu saja harus supertepat dengan presisi mendekati sempurna menuju target sasaran.
Begitulah, puisi pendek itu, selain mencitrakan sebuah peristiwa besar, juga sekaligus sebagai pengenalan kepada publik tentang dunia roket. Di situlah, beberapa kata yang tidak lazim, memaksa kita membuka kamus. Bagaimanapun, pembaca yang baik adalah mereka yang tidak mau berhenti ketika ada kata atau frasa yang tidak diketahui maknanya. Pembaca yang baik adalah mereka yang rela membuka diri menerima pengetahuan lain atau informasi baru yang tentu akan membantunya memahami teks puisi yang bersangkutan.
***
Secara keseluruhan, buku antologi puisi Roket Bersarung Menjelajah Dirgantara (126 halaman) ini berisi 150 puisi yang dibagi ke dalam tiga bab, yaitu (1) Komponen Roket Meluncur di Ruang Pikir, (2) Lelana Dirgantara di Segala Rasa, dan (3) Berbukit Kabar dari Langit yang Lebar. Masing-masing bab berisi 50 puisi. Ada juga disertakan gambar roket (hlm. 28 dan 115) dan keterangan istilah serta indeks. Penyusunannya saja tampak sengaja memadukan sistematika karya (ilmiah) dengan pembagian bab dan subbab yang tak pernah digunakan dalam buku antologi puisi. Kan, bisa saja pembagian bab itu cukup ditandai dengan judul, sehingga tidak perlu juga subbab untuk menyusun urutan puisi, termasuk adanya indeks.
Demikianlah, penyusunan dan sistematika buku ini, tidak lazim sebagai buku antologi puisi. Tetapi, justru di situ kekhasan atau keunikan buku ini. Selain temanya yang memang khas mengenai dunia roket dan kedirgantaraan, juga penyusunannya yang menggunakan format karya ilmiah, seperti sengaja dilakukan begitu sebagai upaya memadukan dunia sains ke dalam buku puisi. Cara itu laksana menampilkan bentuk baju eksakta untuk membungkus isi puisi. Ia jadi unik, khas, dan sekaligus menarik. Dengan demikian, dengan segala keterbatasan kita (pembaca) mengenal dan memahami dunia kedirgantaraan dan kompleksitas perkara roket, kita masih dapat menikmati istilah-istilah teknis itu dengan riang gembira, lantaran ia tidak membuat deskripsi ilmiah dan istilah-istilah itu berhasil dilesapkan ke dalam tubuh puisi sebagai sesuatu yang seolah-olah bukan hal baru dan asing.
Boleh dikatakan, buku ini menabrak format ilmiah, lalu menegakkannya kembali dengan isi puisi. Jadilah ia buku puisi yang unik. Apakah dengan begitu, buku ini dapat dimasukkan sebagai buku antologi puisi? Ya, tentu saja! Kan di dalam buku ini tetap kita jumpai sejumlah, sekelompok atau serangkaian puisi. Dengan demikian, ia tetap dapat dikatakan sebagai buku antologi, bunga rampai, kapita selekta, kumpulan atau himpunan puisi. Yang membedakannya hanya menyangkut pembagian bab dan subbab serta adanya indeks yang dalam buku puisi biasanya tidak diperlukan. Mengapa harus ada indeks, jika ia tidak diperlukan? Ya, ini berkaitan juga dengan istilah-istilah atau konsep teknis, mengingat relatif banyak kosa kata khusus yang hanya berlaku atau digunakan dalam dunia peroketan dan bidang kedirgantaraan. Jadi, ia membantu pembaca untuk sedikit banyak mengetahui makna istilah-istilah itu.
Dari 150 puisi yang terhimpun dalam buku ini, sebagian besarnya merupakan puisi-puisi pendek (bab 1 dan bab 3), sementara bab 2 didominasi puisi yang relatif panjang. Pertanyaannya, bagaimana puisi-puisi pendek itu hendak menampilan dunia yang dalam kenyataannya begitu kompleks dan rumit? Bagaimanapun, kelebihan puisi pendek adalah keberhasilannya mengekstrak peristiwa besar dalam larik-larik yang ringkas dan padat, hemat kata, tetapi sekaligus punya kemampuan menampung berbagai peristiwa besar atau kecil. Jadi, larik-larik yang amat ringkas itu mesti potensial membangun citraan yang kuat, sekaligus memberi peluang membuka medan tafsir. Sekadar contoh, saya kutip puisi Sitor Situmorang yang terkenal, berjudul “Malam Lebaran”.
MALAM LEBARAN
Bulan di atas kuburan
Judul, selain menghadirkan musikalitas bunyi dan persajakan dalam larik dan antarlarik, juga mencitrakan potret paradoksal: Malam Lebaran yang meriah sebagai ekspresi kemenangan (setelah melewati Ramadan) dibenturkan dengan suasana kemurungan, kekalahan, dan kematian. Dengan begitu, puisi pendek tidak sekadar hemat kata-kata, kemas dan padat makna, tetapi juga potensial membangun medan tafsir, punya kekuatan mengganggu imajinasi pembaca membayangkan berbagai peristiwa yang berada di luar teks. Pembaca yang diberi ruang begitu luas untuk memasuki tubuh puisi digerakkan pikirannya untuk melakukan penafsiran dalam rangka memburu makna puisi itu.
Mari kita periksa salah satu puisi pendek dalam buku ini.
TABUNG MENDUKUNG
Tampak luar berkekar
Di dalam pun di-isolasi
Bahang dicegah datang
Melindungi asa
menembus langit
nir warna. Hm…
Rumpin, 14 Juni 2025
Judul “Tabung Mendukung” itu kontekstual. Artinya, frasa itu terikat konteks yang dihadirkan dalam puisi itu. Artinya lagi, ia akan melahirkan penafsiran lain, jika dilepaskan dari konteks bidang peroketan. Oleh karena itu, makna tabung yang dimaksud tidak mengacu pada tabung air, tabung gas, dan seterusnya, melainkan pada tabung yang membungkus segala macam peralatan roket. Perangkat dan fungsinya tentu berbeda dengan tabung biasa. Ia didesain dan dimodifikasi sesuai karakter roket. Oleh karena itu, judul “Tabung Mendukung” mesti ditafsirkan dalam kaitannya dengan perangkat roket dan sejenisnya. Dalam hal ini, tabung di sana, bukan hanya melindungi, tetapi juga fungsional, dan tentu segalanya sudah dirancang sedemikian rupa.
Perhatikan bait pertama puisi itu:
Tampak luar berkekar
Di dalam pun di-isolasi
Bahang dicegah datang
Larik pertama: Tampak luar berkekar mencitrakan sesuatu yang kuat, tegak, kekar. Ia menyisihkan bayangan pada tabung gas melon yang bulat dan kecil. Berkekar mengisyaratkan sesuatu yang tegak-kuat. Lalu, apa yang dimaksud dengan larik berikutnya: Di dalam pun diisolasi? Ya, tabung yang tegak-kekar itu, mengisolasi segala perangkat yang ada di dalamnya: sebuah perangkat yang kita bayangkan begitu rumit, jlimet, dan canggih. Salah satu tujuan mengisolasi yang dilakukan tabung itu adalah mencegah datangnya bahang—nyala api yang mengeluarkan hawa panas. Meski kita merasa asing dengan dunia roket, setidak-tidaknya, bait itu mengajak kita membayangkan api yang keluar dari pantat roket, sangat mungkin dapat melelehkan logam apa pun, jika tingkat kepanasannya tidak diatur –tidak diisolasi sedemikian rupa. Dengan begitu, larik-larik pendek dalam bait itu, sedikit banyak, memantik saklar imajinasi kita membayangkan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Demikianlah, bait itu secara langsung memaksa kita membayangkan sesuatu dan sekaligus juga mengganggu rasa penasaran kita untuk menelusuri makna kata yang membangun larik-larik di sana. Artinya, puisi itu secara tidak langsung menawarkan sebuah peristiwa tentang tabung roket (lihat gambar roket halaman 28 dan 115) dan mencari tahu makna kata-kata yang ada di sana.
Apa yang terjadi pada bait berikutnya?
Melindungi asa
menembus langit
nir warna. Hm…
Melindungi asa artinya roket itu didesain agar dapat meluncur sesuai sasaran setelah terbang menembus langit yang lengang. Nirwarna—tanpa warna boleh jadi dimaksudkan sebagai angkasa yang terang benderang. Yang jadi pertanyaan, mengapa harus ada Hm … (yang dalam beberapa puisi lain, tampaknya sengaja dimunculkan di akhir puisi). Dalam “Keterangan Istilah” suara berdehem Hm dimaknai sebagai: Perasaan yang sulit diungkapkan. Pertanyaannya: apakah perasaan yang dimaksud berkaitan dengan kenikmatan-ketakutan, kesenangan-kecemasan atau ketakjuban-kengerian? Silakan pembaca menafsirkannya sendiri.
Meskipun demikian, bagi saya, ada dua kemungkinan kesengajaan penyair menutup puisinya dengan dehem Hm. Pertama, menegaskan, bahwa dunia sains (roket dan kedirgantaraan) adalah bidang yang tidak perlu disikapi sebagai wilayah yang harus dihindari. Bukankah banyak di antara kita yang menempatkan ilmu-ilmu eksakta sebagai bidang yang bisa bikin pusing tujuh keliling? Dengan berdehem Hm, tampaknya penyair hendak menunjukkan kesantaian sikapnya dalam menghadapi bidang itu. Sebuah sikap yang mengisyaratkan keakraban penyair dengan dunia itu. Tetapi, boleh jadi juga sebagai representasi, bahwa dalam kenyataannya sebagai pengalaman pribadi, ia bisa asyik-masyuk dengan dunia yang bagi sebagian masyarakat sebagai bidang yang mengerikan, menakutkan, dan oleh karena itu, lebih baik dijauhi.
Kedua, Hm di sana sebagai ekspresi untuk mencairkan bidang yang menuntut benar-salah memasuki puisi yang sarat dengan berbagai kemungkinan makna. Jadi, kembali, penyair sengaja membangun puisi-puisinya tidak sebagai sesuatu yang ketus-kaku-beku, melainkan sebagai larik-larik yang dapat dinikmati sambil sarungan dan minum kopi: santai dan riang gembira. Oleh karena itu, ketika penyair disergap oleh perasaan yang sulit dijelaskan, cukuplah ia menyampaikannya lewat suara dehem: hem …
***
Berbeda dari Bab 1 dan Bab 3 yang sebagian besar menyajikan puisi-puisi pendek, pada Bab 2 ini, kita berjumpa dengan puisi-puisi yang relatif panjang. Di sinilah kita menghadapi problem yang berkaitan dengan istilah-istilah teknis. Perhatikan misalnya, puisi berikut ini:
ASA MEMBAKAR RASA
rasa ini buntet serasa
hidroxyl toluen poly butadiene 
teronggok jorok di meja pojok
menunggu ammonium perchlorat
jengukan garam melumur jidat
melumpur fungsi waktu, putaran
dan butir bulir-bulir kristal
mengikat lekat di kenanoan jiwa
agar yang mampet, deras mengulir
mencahaya dan membangkitkan tenaga
selaksa kerongkongan di tengah nosel
mem-bellshape-kan semburat tarikan
gaya inersia, menuju luncuran cita-cita
yang buntet mampet melayang ke antariksa
raya menjadi kenang yang hanya perlu untuk dikenang
Rumpin, 26 Februari 2009
Perhatikan bait pertama, larik kedua dan keempat. Kita berhadapan dengan istilah hidroxyl toluen poly butadiene dan ammonium perchlorate. Makhluk apakah gerangan kedua istilah itu? Oh, ternyata hidroxyl toluen poly butadiene bermakna salah satu jenis bahan bakar roket dan ammonium perchlorate sebagai oksidator bahan bakar roket (lihat keterangan istilah, hlm. 111 dan 108). Jika saja kedua istilah itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, atau setidak-tidaknya, anggap saja sudah menjadi pengetahuan umum, seperti gasoline yang lebih dikenal dengan nama bensin, solar, pertamaks atau pertalite—sebagai jenis bahan bakar minyak (BBM), maka kedua istilah yang terdapat pada bait pertama itu tidak akan menciptakan tulalit atau ingar (noise), yaitu gangguan komunikasi antara teks dan pembaca. Tetapi, lantaran kedua istilah itu masih asing dan belum menjadi pengetahuan umum, timbul pertanyaan: apa makna atau pesan yang hendak disampaikan penyair dengan memperkenalkan dua istilah teknis dalam bait itu?
Boleh jadi akan menjadi persoalan yang lain lagi, jika penyair mengganti kedua istilah itu dengan kata lain yang sudah menjadi pengetahuan umum, meskipun maknanya hampir sama, yaitu sebagai bahan bakar minyak. Jadi, misalnya, larik itu berbunyi: bahan bakar minyak (larik 2) dan oksidan bahan bakar minyak (larik 4), selain ada nuansa makna yang berbeda, karena roket punya dunianya sendiri yang khas, juga konteksnya tidak tepat. Oleh karena itu, kita memahami, penyair tidak dapat menghindar dari kedua istilah itu ketika ia berbicara tentang roket.
Nah, sekarang, kita sudah mengetahui makna kedua istilah yang terdapat pada bait pertama itu. Lalu, bagaimana pesan yang hendak disampaikan penyair?
rasa ini buntet serasa
hidroxyl toluen poly butadiene 
teronggok jorok di meja pojok
menunggu ammonium perchlorat
Jika diparafrasakan, kira-kira bait ini hendak menggambarkan: perasaan aku lirik seperti menghadapi jalan buntu, buntek, judek, butek, dan seterusnya ketika memandang bahan bakar roket berceceran (atau bertumpuk-tumpuk jika dalam sebuah bejana) di sebuah pojokan. Entah kapan bahan itu dibaurkan (dicampur, dioplos atau diolah kembali), sehingga menjadi bahan bakar roket yang siap diluncurkan. Tetapi, perasaan si aku lirik sebagai pengalaman individual ini, sesungguhnya berlaku universal. Bukankah banyak orang lazim merasakan suasana seperti itu ketika pekerjaan tak kunjung selesai, sementara kebosanan, kejemuan dan segala implikasinya mulai mengganggu pikiran dan perasaan. Jadilah suasana itu menciptakan gejala awal terjadinya stres.
Mungkin ada tafsir lain. Tetapi, gambaran personifikasi yang dihadirkan dalam bait pertama itu menciptakan suasana tak nyaman, gelisah, dan kacau.
Bait-bait berikutnya menggambarkan kerja keras yang melelahkan. Namun, pada akhirnya, berhasil juga meluncurkan benda buntet, pendek, padat yang bernama roket itu ke ruang angkasa. Itulah kenangan terindah ketika pekerjaan tuntas menghasilkan prestasi.
Pada bab 2 ini, penyair mengangkat tema yang lebih beragam, meskipun perkaitannya tidak beranjak jauh dari perkara roket dan kedirgantaraan. Memang kita laksana diceburkan ke dunia yang terasa asing. Tetapi, lambat laun, dengan pembacaan yang berulang-ulang dan coba membayangkan diri berada di tengah pusaran itu, secara perlahan, kita dapat juga melihat suasananya secara remang-remang: antara agak jelas dan agak gelap, antara ketidaktahuan dan keinginan untuk mengetahuinya. Ada perasaan penasaran dan kenikmatan estetik ketika dalam proses pembacaan itu, kita berhasil keluar dari lorong gelap. Di situlah fungsi puisi memperlihatkan dirinya.
Bagaimanapun, banyaknya istilah atau konsep yang berkaitan dengan dunia peroketan dan kedirgantaraan yang dilesapkan sebagai bagian dari puisi-puisi dalam buku ini, mesti disikapi sebagai tawaran baru yang menantang. Anggap saja keberadaan istilah-istilah itu seperti pertanyaan pada teka-teki silang. Manakala kita berhasil mengisi kotak-kotak kosong dalam teka-teki silang itu, tiba-tiba saja menyembul perasaan senang, puas, bahwa kita berhasil mengisi lengkap permainan tersebut. Itulah yang dalam psikologi seni disebut sentuh estetik, kenikmatan perasaan yang terpuaskan.
***
Sesungguhnya masih banyak hal yang menarik yang tersembunyi dalam sejumlah puisi Atik Bintoro ini. Selain lantaran adanya kosa kata baru—yang berkaitan dengan selok-belok roket dan perkara kedirgantaraan, sebagaimana yang tersirat dalam judul buku ini, caranya menghadirkan analogi dan personifikasi serta melesapkan berbagai istilah teknis dalam larik-larik puisinya seperti mendorong kita memasuki suasana yang terasa asing, unik, dan sekaligus juga menarik. Meski begitu, suasana yang terasa asing dan unik itu, justru menjadikan puisi-puisinya berada dalam keremang-remangan. Terkesan seperti mudah dipahami, tetapi perlu menyimak keterangan istilah atau membuka kamus. Lalu, begitu kita merasa tidak ada kendala lagi dalam memahami satu-dua puisinya, seketika ada perasaan plong yang membuka jalan untuk memasuki puisi-puisi berikutnya.
Begitulah jika kita menghadapi puisi-puisi yang mengangkat tema baru, unik, dan tidak lazim! Maka, menikmati puisi-puisi dalam buku ini, penyikapan kita terhadapnya perlu lebih terbuka, nyantei, dan riang gembira!
Bojonggede, 27 Juli 2025

Catatan:
Artikel ini diambil dari Ulasan Pengantar di buku kumpulan puisi Roket Bersarung Menjelajah Dirgantara





